tirto.id - Kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) yang dinilai merugikan negara sekitar Rp3,7 triliun terjadi karena penyimpangan pelaksanaan kebijakan.
Hal itu disampaikan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla untuk menguatkan anggapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta media dan masyarakat untuk membedakan antara kebijakan dan pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 yang menjadi dasar penerbitan SKL.
"Benar yang dikatakan Presiden, ini kan dua hal aturan yang dibikin dalam Perpres dan macam-macam, pasti ada yang berbeda dengan aturan dan pelaksanaan, tapi yang salah bukan pengaturannya, tapi pelaksanaannya," kata Jusuf Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (2/5/2017).
Sebelumnya, pada Selasa (25/4), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi mengumumkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada konglomerat Sjamsul Nursalim.
JK menilai, bahwa pihak yang paling bertanggung jawab apabila terjadi penyimpangan adalah pelaksana dari aturan itu sendiri.
"Orang itu dianggap selesai, dikeluarkan dari daftar, padahal, dia belum lunas, kalau sudah bayar, ya diputihkan. Jadi bukan aturannya yang salah, tapi pelaksanaannya," lanjut dia.
JK mengatakan bahwa kasus korupsi BLBI hanyalah contoh dari penyimpangan pelaksanaan kebijakan dari aturan yang diterbitkan pemerintah, karena saat itu juga ada mekanisme blanket guarantee yang menjamin likuiditas perbankan.
"Ini terjadi di tahun pada pemerintahan Pak Habibie, Gus Dur, Mega, tapi itu semua hanya membikin kebijakannya saja saat itu, dan dimulai dari Pak Harto, BLBI ini hanya satu hal, adanya Blanket Guarantee," kata dia.
"Itu awalnya sehingga terjadi kebocoran yang luar biasa akibat blanket guarantee itu, dan sekarang kita tanggung semuanya," pungkas JK.
SKL diterbitkan berdasarkan Inpres dikeluarkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati atas masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djati, dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
Penerbitan SKL memungkinkan debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meskipun baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto