Menuju konten utama
Miroso

Wangi Semerbak Pallubasa dari Jalan Serigala

Hidangan pallubasa di jalan Serigala ini pula menjadi salah satu pilihan Bondan Winarno alam buku 100 Makanan Tradisional Indonesia Mak Nyus.

Wangi Semerbak Pallubasa dari Jalan Serigala
Header Miroso Pallubasa. tirto.id/Tino

tirto.id - Kemarin, untuk kesekian kalinya saya berkesempatan mengunjungi Makassar. Saya masih ingat, awal menginjakkan kaki di tempat yang dulunya bernama Ujung Pandang ini hanya untuk transit melanjutkan perjalanan ke Maros dan Toraja.

Hidangan yang berkesan saat itu adalah pisang peppe, pisang goreng yang dicocol sambal. Makanan ini disuguhkan oleh salah satu warga di desa Salenrang, sebuah desa dengan pemandangan gugusan pegunungan karst, dan bisa ditempuh kurang lebih empat jam dari Makassar. Perjalanan ini juga perlu menggunakan sampan melalui sungai Pute, ditemani alunan suara-suara serangga dari hutan nipah di kanan kirinya.

Pisang peppe tadi digoreng dua kali; pertama saat setelah dikupas dan direndam air garam, dan digoreng kedua kali saat selesai ditumbuk sampai pipih tanpa menghancurkan tekstur pisangnya. Pisang ini lantas dihidangkan panas dengan sambal. Pisang dengan cocolan sambal saat itu cukup menjadi pengalaman baru untuk lidah Jawa saya, yang terbiasa menyecap manis dan rasa gurih.

Umumnya, Makassar terkenal dengan hidangan boga baharinya. Bahkan beberapa jenis ikan tidak bisa ditemukan di luar Makssar, seperti su’kang dan kudu-kudu. Namun, malah kuliner ikonik Sulawesi Selatan, khususnya Makassar, yang bisa dikatakan cukup terkenal di seantero Indonesia adalah coto, dan konro yang terbuat dari daging dan jerohan sapi.

Namun ada satu lagi jenis masakan berbahan sama dari daging sapi, yang sudah lama ingin saya jajal di sini: pallubasa. Nama ini diambil dari bahasa Bugis. Pallu berarti makanan, dan basa adalah basah. Bisa diartikan secara sederhana bahwa ini adalah makanan berkuah.

Saya bertanya ke beberapa teman mana tempat pallubasa yang direkomendasikan. Semua menjawab seragam: pallubasa di Jalan Serigala. Karena lokasinya, orang menyebut pallubasa ini dengan sebutan pallubasa serigala.

Hidangan pallubasa di jalan Serigala ini pula menjadi salah satu pilihan Bondan Winarno alam buku 100 Makanan Tradisional Indonesia Mak Nyus. Ini bikin saya semakin yakin untuk menjajalnya.

Meski ramai, para pramusajinya sat set. Tak ada kertas menu yang bisa dibaca di meja untuk memilih makanan atau minuman. Karena menunya memang hanya satu, pallubasa. Palingan variasinya berupa daging semua atau campur dengan jerohan. Minuman juga nyaris sama, hanya ada teh atau teh botol.

Mereka juga akan bertanya, pallubasanya mau dicampur telur atau tidak. Saya mengiyakan, dan dalam bayangan saya sebelumnya, itu adalah telur rebus layaknya tambahan dalam soto Jawa-Timuran. Namun ternyata telurnya adalah kuning telur ayam kampung mentah yang terlihat mengambang bersama irisan daging dan jeroan.

Tidak sampai lima menit dari kami memesan, hidangan sudah siap di atas meja.

Dari mangkuk kecil itu, kuning telur mentah tampak kontras dengan kuah yang berwarna gelap. Tradisi menambahkan kuning telur ayam kampung ke dalam kuah masakan yang panas di Sulawesi Selatan ini biasa disebut sebagai alas.

Aroma kelapa parut sangrai menguar semerbak. Saya menyeruput kuah dengan perlahan, terasa gurih dengan jeroan dan daging sapi yang cukup empuk saat digigit. Tekstur kelapa muncul dengan dua wajah yang berbeda di dalam satu mangkok; dalam santan encer yang sudah merasuk dengan sekian bumbunya, dan satu lagi dalam kelapa parut yang menghasilkan sensasi krenyes-krenyes di mulut.

Sementara campuran kuning telur ayam kampung mentah yang mengambang tadi, menjadi seperti setengah matang karena dimasukkan ke dalam kuah panas di dalam mangkok. Saat menekannya pelan dengan sendok cocor bebek, kuning telur tadi menjadi ambyar dan lumer, memenuhi area kuah dan menambah kepekatan kuahnya. Menjadikan kuahnya lebih creamy, tapi tidak terasa amis karena kuah kental yang panas dan berbumbu pekat tadi sudah cukup kuat menghilangkan aroma si kuning telur.

Selanjutnya, beri perasan jeruk nipis sekadarnya, jadikan ini sebagai penawar rasa bersalah dalam keriuhan kolesterol yang arogan di dalam mangkok. Kenikmatan sruputan pallubasa layaknya dosa yang terus terulang, susah untuk dihentikan.

Jika ada kekurangan, mungkin mangkok penyajiannya yang menurut saya kurang besar. Pallubasa tadi dihidangkan dengan mangkok yang biasa dipakai untuk wedang ronde. Tak aneh, beberapa dari mereka yang datang sedari awal sudah memesan dua mangkok sekaligus di atas mejanya, untuk tambahan karbonya adalah sepiring nasi yang terpisah.

Untuk kelapa sangrai atau serundengnya pun, saya melihat beberapa pengunjung juga memesan tambahan yang kemudian dihidangkan terpisah di sebuah wadah. Seperti mengingatkan soto ala Jawa Timuran ketika pengunjung request menambahkan koya.

Makanan Para Pekerja

Yusran Darmawan, dalam catatannya berjudul “Sekelumit Sejarah Pallubasa” mengungkapkan bahwa hidangan ini awalnya adalah kuliner khas jelata seperti pekerja kasar, buruh, kuli bangunan. Kenapa demikian, karena hidangan ini murah. Dan kenapa murah, karena inti dari sajian ini adalah bagian dari daging sapi (jeroan) yang tidak dibutuhkan oleh si pemilik sapi. Bagian-bagian tadi kemudian diberikan kepada si pemotong sapi sebagai jatah atau upah. Papolonga, atau si penjagal sapi tadi kemudian mengolahnya dengan bumbu dan kelapa sangrai dalam masakannya, menghasilkan kuliner otentik yang kemudian menjadi kegemaran banyak orang.

Cerita tersebut juga sekaligus mengingatkan bagaimana awal mula soto di Jawa. Fadly Rahman, dosen dan sejarawan yang mengkhususkan diri dalam studi sejarah makanan ini, menguraikan sejarah soto sebelum era kemerdekaan. Soto dulu dikenal dengan isi jeroan jenis hewan berkaki empat yang dipopulerkan kalangan Tionghoa di Semarang sekitar abad ke-19. Saat itu soto dianggap makanan kelas sudra yang dijajakan dengan dipikul, dan dimakan langsung dengan tangan kosong tanpa sendok.

Pemerintah Kolonial Belanda, menganggap bahwa jenis makanan berkuah itu tidak layak dimasukkan sebagai makanan yang layak dikonsumsi oleh kalangan ningrat Eropa. Jeroan, sebagai bahan utama soto saat itu dianggap tidak sehat.

Penggunaan jeroan sapi sebagai bahan utama soto saat itu, adalah alasan logis karena harga daging yang terlampau mahal. Kemudian bahan dan jenis isi soto mulai berkembang setelah era kemerdekaan dengan dimasukkannya resep soto dalam buku Mustika Rasa (1967), yang diprakarsai presiden Soekarno.

Senasib pula dengan sajian tengkleng di Solo dan sekitarnya, yang sekarang seperti menjadi primadona, dan banyak warung menjajakannya. Menurut Blontank Poer, tengkleng adalah sebuah mahakarya para abdi dalem di keraton Surakarta.

Mereka biasa menyiapkan sajian untuk pesta para penggede, dan salah satunya adalah menyembelih kambing untuk pesta-pesta kerajaan. Kemudian mereka menyayat daging kambing untuk dibuat sate atau tongseng hingga yang tersisa hanyalah tinggal tulang belulang dengan beberapa kerat daging yang masih menempel. Kreativitas abdi dalem tadi kemudian mencampurkan bumbu yang berbeda dengan bumbu gulai atau tongseng, dengan kuah berlimpah dan lebih bening, untuk kemudian mereka santap bersama-sama.

Kembali ke Makassar tadi, Bondan Winarno di penghujung tulisannya soal pallubasa tadi mengungkapkan, pallubasa Serigala mempunyai tandingan pallubasa Onta. Tentu bukan merujuk kepada sajian dengan daging serigala atau onta, tapi kepada penunjuk nama jalan berjenis hewan. Mungkin lain kali saat kembali mengunjungi Makassar, pallubasa jalan Onta perlu disambangi.

Baca juga artikel terkait MAKANAN atau tulisan lainnya dari Husni Efendi

tirto.id - Miroso
Penulis: Husni Efendi
Editor: Nuran Wibisono