tirto.id - “Pencuri merupakan orang-orang yang arogan, mereka tidak berpikir akan tertangkap, dan mereka sama sekali tidak khawatir tetangga bisa melihat aksi mereka dengan cukup baik dan menceritakan kepada polisi.”
Walter Thiel Shaw atau Walter ‘Thief’ Shaw merupakan pencuri permata papan atas di Amerika Serikat. Salah satu catatan terbaik di dunia pencurian dilakukannya dengan membawa kabur permata dengan nilai yang ditaksir mencapai $70 juta dari orang-orang yang tinggal di Long Island, New York.
Atas tingkah lakunya mengambil harta yang bukan menjadi haknya itu, Shaw dipenjara selama 11 tahun. Pada 2008, Shaw kemudian merilis sebuah buku autobiografi berjudul A License to Steal. Alih-alih menceritakan kisah hidupnya melanglangbuana dalam dunia pencurian, ia lebih banyak menceritakan kisah hidup ayahnya, Walter L. Shaw, Sr.
Ayah kandung dari sosok pencuri permata terbesar itu merupakan seorang penemu dan teknisi kelahiran Vineland, New Jersey pada 1917 yang patut diperhitungkan dunia. Temuan-temuan Shaw dilakukan antara tahun 1964-1971, alias pertengahan abad ke-20.
Walter L. Shaw, Sr. tidak seterkenal Alexander Graham Bell ataupun Nikola Tesla. Namun, temuan-temuan yang diraih Shaw tidak bisa dianggap sebelah mata. Karya intelektualnya itu sanggup membawa para penggunanya memasuki abad ke-21.
Hingga akhir hayatnya, ia menggenggam 39 paten (Google Patent hanya mencatat 5, diduga paten lainnya dimiliki atas nama Bell Company) di dunia teknologi. Hands-free speaker phone, tone generator, call forwarding, conference calling, dan voice print recognition, adalah beberapa temuannya. Itu adalah temuan-temuan yang berguna hingga hari ini.
Sayangnya, meskipun Shaw berjasa besar di dunia teknologi komunikasi, kisah hidupnya tak terlalu menggembirakan. Pada suatu waktu, ia bahkan diblokir untuk menggunakan layanan dari perusahaan yang turut dibesarkannya. Ia pun pernah dijebloskan ke penjara oleh negara.
AT&T
Shaw bekerja pada Bell Telecom Company, atau kemudian dipanggil AT&T, sejak tahun 1935. Secara lebih tepat, ia berada di divisi Engineer Research and Development, Bell Laboratories. Semenjak tahun 1925, Bell Laboratories merupakan instansi “kesayangan Departemen Pertahanan Amerika Serikat.”
Di perusahaan yang pernah didaulat raksasa telekomunikasi itu, Shaw bukanlah pekerja biasa. Pada 1948, di masa ia bekerja di perusahaan yang didirikan Alexander Graham Bell itu, Shaw menelurkan inovasi pertamanya bertajuk Automatic Loud Speaking Telephone-Hand Free, atau yang populer disebut Speakerphone.
Namun, inovasi yang berbuah paten pertamanya baru terjadi pada tahun 1951. Melalui Bell Labs, Shaw membuat karya intelektual bertajuk Feedback Neutralization.
Namun, meskipun Shaw terasa bersinar, timbal balik perusahaan tak memihaknya. Dalam tayangan dokumenter bertajuk “Genius on Hold”, dokumenter yang mengungkap kisah hidup Shaw, ia dikatakan menerima upah dari Bell berdasarkan berapa jauh sambungan telepon yang bisa ia kerjakan. Secara sederhana, gaji Shaw berbanding lurus dengan langkah kakinya di perusahaan itu. Bukan atas pencapaian karya-karyanya.
Linda Shaw, anak perempuan Shaw, dalam dokumenter itu mengatakan bahwa apa yang diperbuat ayahnya bekerja di Bell bagaikan “memanjat tiang.”
“Pada tahun 1948 ayah mendemonstrasikan prototipe speakerphone yang ia ciptakan di garasi, AT&T suka temuan itu. Mereka kemudian membuatkan selembar kontrak yang menerangkan bahwa ayah setuju atas ciptaan masa lalu, kini, dan kemudian (untuk dimiliki mereka) dan memintanya untuk menandatangani kontrak itu. Ayah bilang tidak,” ungkah Shaw junior kepada Venture Beat.
Dan selepas 14 tahun bekerja, Shaw kemudian mengundurkan diri dari perusahaan itu. Ia mengundurkan diri setelah menyadari Bell Company tak memberikan kompensasi berarti atas temuan-temuannya di perusahaan itu.
Pada 1954, Shaw kemudian bekerja untuk Presiden Eisenhower. Ia diperintahkan untuk membuat sistem komunikasi bernama Red Phone. Red Phone merupakan sistem komunikasi yang menghubungkan Gedung Putih dengan Kremlin, menjadi sambungan dua negeri yang sedang bertikai dalam kerangka perang dingin.
Red Phone, secara administratif, dikerjakan oleh Globular Communication Control Center Installation. Shaw bekerja sebagai supervisor di instansi itu. Ia memegang kendali atas 40 prajurit yang mengerjakan segala hal terkait Red Phone.
Shaw memang jenius. Sayangnya, ia kurang beruntung soal keuangan. Usai bekerja pada presiden dan tak lagi berstatus pegawai Bell Company, meskipun memiliki penemuan-penemuan penting di bidang komunikasi, Shaw tidak bisa mengkonversi temuannya menjadi uang. Monopoli Bell Company menjadi penyebabnya.
Dalam dokumenter Genius on Hold, Linda mengungkapkan bahwa keluarganya sempat berada di titik terendah keadaan ekonomi. Mereka hidup dengan kupon makanan yang dibagikan pemerintah.
Untuk menghidupi keluarganya, Shaw kemudian menciptakan Black Box, perangkat yang memungkinkan penggunanya melakukan panggilan tanpa biaya sepeser pun. Selain itu, Black Box juga dirancang Shaw agar tak terdeteksi, bahkan oleh FBI. Atas kemampuannya itu, Black Box kemudian populer terutama di kalangan kriminal. Shaw bahkan kemudian memperoleh hadiah mobil Cadilac dari Cosa Nostra, salah satu mafia di AS.
Atas ciptaannya itu, pada 1961 Shaw kemudian ditangkap oleh otoritas New York. Ia didakwa atas pelanggaran “sistem panggilan bebas biaya.” Pada 1965, Shaw diwajibkan membayar denda $500 atas pelanggaran yang sama. Pada 1976, dalam suatu komite investigasi yang dipimpin Robert F. Kennedy, Shaw yang didakwa atas 8 tuduhan itu kemudian dijebloskan ke penjara.
Uniknya, dalam menciptakan sistem panggilan bebas biaya, Shaw memanfaatkan infrastruktur Bell Company, tempatnya dulu bekerja. Bell Company kemudian memblokir Shaw atas penggunaan layanan yang mereka tawarkan.
Ketika ayahnya dinyatakan bersalah, Walter T. Shaw junior masih berusia 12 tahun. Carlo Gambino, salah satu bos mafia di New York, menemani Shaw menyaksikan putusan ayahnya itu. Dengan berbisik, Gambino mengatakan pada Shaw: “Satu-satunya perbedaan antara kita dengan politisi, hakim dan senator itu ialah mereka memiliki izin untuk mencuri dan kita tidak.”
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Maulida Sri Handayani