tirto.id - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengatakan tahun 2016 merupakan tahun bencana ekologis terbesar yang pernah terjadi di Indonesia.
"Di tahun 2016 berdasarkan data-data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana, bencana lingkungan terbesar terjadi tahun 2016. Jadi dari tahun sebelumnya, 2016 itu menunjukan semakin meningkatnya bencana-bencana yang sebagian besar akibat kerusakan lingkungan," ucap Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Yaya Nur Hidayati di kantor Walhi Tegal Parang, Selasa (21/3/2017).
Menurut Yaya, selama ini pembangunan yang dilakukan pemerintah hanya mementingkan sektor bisnis namun abai terhadap kondisi lingkungan.
"Model pemberian izin pembangunan saat ini sebagian besar sembrono. Cenderung ugal-ugalan. Ada peraturan yang dengan sengaja dilanggar. Konsultasi publik sejak tahun 1997 dalam UU mengenai lingkungan hidup kita itu sudah diakui, ditrabas," ujar dia.
Untuk mengurangi dampak kerusakan ekosistem, Yaya mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) perlu hadir untuk menertibkan jajaran pemerintah di bawahnya.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa di Indonesia terdapat 43 titik reklamasi baik yang masih dalam tahap perencanaan maupun yang sedang dalam proses reklamasi.
"Kalau kita lihat dampaknya saat ini diberbagai wilayah yang dilaksanakan, semua menuai protes dan dilakukan tanpa proses yang benar juga. Ini saatnya kita menunggu leadership dari Jokowi untuk menertibkan jajaran pemerintah di bawahnya," tutur dia.
Lebih lanjut, dia mengatakan selama ini Walhi tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan maupun dalam pengajian analisis dampak lingkungan (Amdal).
"Kalau dibaca di media katanya untuk memperbaiki Teluk Jakarta, apakah satu satunya dengan reklamasi? Kita belum melihat opsi lainnya bagaimana kita melakukan perbaikan di Teluk Jakarta. Jangan kita mengamini keterlanjuran yang salah," kata Yaya menegaskan.
Terkait pembangunan reklamasi yang sudah terlanjur, ia berujar pemberhentian reklamasi tidak akan mengurangi investor. Di negara-negara maju, lanjut dia, seluruh peraturan lingkungan hidupnya lebih ketat, dan melakukan konsultasi publik, namun tidak mengurangi investor.
Yaya mengatakan, ketika reklamasi dihentikan setidaknya nelayan bisa kembali melanjutkan proses mata pencahariannya dan aktivitas ekonomi lainnya.
"Kalau seperti sekarang banyak masyarakat yang diusir secara paksa dan harus kehilangan mata pencahariannya, ini justru semakin menambah kemiskinan, yang justru bertolak belakang dengan tujuan pemerintah dengan tujuan pembangunan itu sendiri," kata dia.
Penulis: Chusnul Chotimah
Editor: Alexander Haryanto