tirto.id - Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Wakapolri) Komjen Pol Syafruddin menyayangkan masih ada masyarakat atau netizen yang berkomentar miring terhadap Presiden, Menteri maupun pejabat lain. Ia menyatakan, sudah sepatutnya masyarakat menghormati Kepala Negara.
"Menyimak dengan adanya beberapa hal yang tidak enak dibaca dan didengar dari masyarakat cukup memprihatinkan. Demokrasi seperti sudah kebablasan. Mereka sepertinya lupa bahwa Kepala negara atau Menteri juga harus dihormati," jelas Wakapolri, Komjen Pol Syafruddin di Hotel Santika Priemier Bintaro, Banten, Senin (27/2/2017).
Syafruddin juga menyesalkan ada pihak-pihak yang menyalahkan Polri saat ingin menindak netizen yang menghina Presiden. Bahkan tak jarang dari mereka yang menyatakan dirinya dikriminalisasikan oleh Polri.
"Kalau menyebarkan berita hoax, beragumen parah terhadap Presiden semuanya enggak memperhatikan apa istilahnya 'unggah-ungguh'. Kalau ditangkap langsung menyalahkan Polisi dengan apriori kriminalisasi," jelas Syafruddin.
Untuk itu, kata dia, Polri akan bersikap tegas terhadap netizen maupun masyarakat yang tidak menghormati Kepala Negara maupun Menterinya agar diproses ke ranah hukum. Dilakukannya hal tersebut, kata dia, agar masyarakat bisa lebih bijaksana dalam melontarkan kritik tanpa merendahkan martabat seseorang.
"Ya saya rasa memang harus diproses. Sampai merendahkan Presiden. Kami ini kan perangkat dan eksekutor aturan. Jadi kami melihat jika adanya demokrasi kebablasan maka kami akan menindaknya," tutur Syafruddin.
Wakapolri juga menyatakan bahwa masyarakat atau netizen yang menghina Presiden, Wakil Presiden atau Menteri bisa dikenakan Undang-undang ITE.
"Ya logika saja kita saja dihina enggak mau. Masa Presiden tidak. Makanya saya menghimbau masih ada UU ITE untuk memperkarakan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil atau pejabat publik lainnya," tutup Syafruddin.
Untuk diketahui, ada tiga pasal yang telah dihapuskan mengenai penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, yaitu 134, 136, dan 137 KUHP telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan MK dengan nomor 013 dan 022/PUU-IV/2006 yang disahkan oleh Jimly Asshiddiqie yang menyatakan bahwa adanya inkonsistensi dan mengaminkan permohonan dari pihak Pemohon yaitu Eggi Soejana. MK membatalkan ketiga pasal yang akrab disebut sebagai Pasal Karet ini karena tidak memberi kepastian hukum sebagaimana yang diharuskan oleh Pasal 28 D Ayat (1) UUD NRI 1945.
Mahkamah Konstitusi juga menganggap ketiga Pasal itu bertolak belakang dengan Pasal 28 dan Pasal 28 E Ayat (2) dan Ayat (3) Undang-Undang NRI 1945. Bahkan, menurut Mahkamah Konstitusi, ketiga Pasal Karet itu tidak singkron dengan Ketentuan Pasal 7A Undang-Undang Dasar NRI, Presiden juga bisa dimakzulkan jika melanggar pelanggaran hukum berupa penyuapan, korupsi, pengkhianatan terhadap negara, melakukan tindak pidana berat, dan pembuatan tercela.
Sementara itu, Pakar Hukum IT dari Universitas Indonesia, Edmon Makarim menilai seseorang yang menghina Presiden bisa dikenakan jeratan pidana atas pelanggaran Pasal 27 ayat (3) UU ITE dengan aturan induk di Pasal 310 dan 311 KUHP.
"Tetap masih dijerat kan ada pasal mengenai penghinaan orang biasa 310 dan 311 dengan juncto Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Meskipun pasal yang disebut Pasal karet tidak ada. Tapi sebagai bangsa yang bermartabat tentu saja tidak boleh menghina Simbol Negara," jelas Edmon Makarim kepada Tirto.
Menurut Edmon, hal tersebut juga telah diatur Mahkamah Konstitusi dalam putusan Perkara No. 50/PUU-VI/2008 atas judicial review paasal 27 ayat (3) UU ITE terhadap UUD 1945. MK menyimpulkan bahwa nama baik dan kehormatan seseorang patut dilindungi oleh hukum yang berlaku.
"Maka Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak melanggar nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia dan prinsip negara hukum. Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah konstitusi. Logika dasarnya adanya HAM juga mengatur bahwa kebebasan kita pun tidak boleh melanggar ham orang lain. Ada batasannya dalam Universal Declaration of Human Rights dan UUD 1945" jelas Edmon Makarim.
Penulis: Dimeitry Marilyn
Editor: Alexander Haryanto