tirto.id - Sidang dugaan penistaan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memasuki babak akhir. Majelis hakim akan menentukan nasib sang Gubernur DKI Jakarta tentang pidatonya di Kepulauan Seribu, Jakarta tahun 2016 lalu. Para pelapor maupun penasihat hukum menanti vonis sidang dugaan penistaan agama yang akan mempertaruhkan rasa keadilan bagi semua pihak, Selasa (9/5/2017).
Saksi pelapor sidang dugaan penistaan agama Pedri Kasman mengaku mempercayakan putusan sidang kepada Majelis hakim.
"Di tangan hakimlah rasa keadilan masyarakat dititipkan, pada ketukan palu hakimlah hukum akan dipertaruhkan. Karenanya nurani dan keyakinan hakim harus betul-betul memperhatikan keadilan publik," kata Pedri dalam keterangan tertulis kepada Tirto, Senin (8/5/2017).
Sekalipun tuntutan JPU sangat lemah, Pedri yakin hakim dengan kewenangannya sangat mungkin dan dibolehkan secara hukum untuk memutus lebih berat.
Menurut pria yang juga Sekjen Pemuda PP Muhammadiyah ini, pasal penodaan agama, pasal 156a huruf a KUHP yang sudah dihilangkan JPU dalam tuntutan bisa saja dihidupkan kembali oleh Majelis Hakim. Dirinya beralasan hakim punya kemerdekaan dalam menentukan putusan. Dalam prakteknya, hakim boleh melakukan Ultra Petitum yaitu penjatuhan putusan melebihi tuntutan JPU.
"Jadi publik pencari keadilan sangat mengharapkan Majelis Hakim agar Ahok divonis maksimal berdasar pasal 156a huruf a KUHP. Karena Majelis Hakim tidak terikat dengan tuntutan Jaksa," kata Pedri.
"Vonis Hakim juga sangat berarti bagi keberagaman bangsa dan keberlangsungan harmonisasi umat beragama. Sekaligus sebagai dasar pijakan bagi peradilan yang terkait dengan perkara Penodaan agama. Jangan sampai kasus Ahok ini jadi preseden buruk di masa depan. Penista agama dihukum ringan. Itu sangat berbahaya bagi negeri ini," lanjut Pedri.
Pedri menegaskan, pendapat MUI, Muhammadiyah dan NU bahwa Ahok telah menodai agama dan menghinakan ulama agar menjadi pertimbangan penting bagi Keputusan Hakim dalam perkara ini. Ia mengacu pada peran MUI, Muhammadiyah dan NU yang selalu menjadi rujukan dalam perkara yang berkaitan dengan agama.
"Jangan sampai pada kasus Ahok terkesan ada pengecualian," tegas Pedri.
Hakim wajib menjaga kemandirian peradilan, yakni bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis. Selain independensi, hakim harus juga memiliki akuntabilitas, sehingga dapat menjalankan peradilan yang bersih, dipercaya oleh masyarakat dan menjadi kekuasaan kehakiman yang berwibawa.
"Semoga melalui kasus Ahok ini memperlihatkan hukum kita memang berwibawa dan berdaulat. Bukan sebaliknya," kata Pedri.
Sedangkan menurut penasihat hukum Basuki Tjahaja Purnama, I Wayan Sidarta, mengaku tim tidak mempunyai persiapan khusus dalam persidangan. Mereka hanya menunggu keputusan hakim.
"Nggak ada persiapan. Kita tunggu bagaimana majelis memutuskan secara adil," kata Wayan saat dihubungi Tirto, Senin (8/5/2017).
Wayan enggan menanggapi kemungkinan Ahok akan divonis sesuai tuntutan jaksa maupun hukuman lebih berat daripada tuntutan oleh hakim. Ia mengaku timnya belum berpikir untuk mengajukan banding apabila vonis tidak sesuai ekspektasi. Mereka optimis bahwa hakim akan memutus bebas.
"Kita nggak mau berandai-andai dulu. Kita belum pernah membicarakan itu dan kita yakin bahwa Ahok itu bebas," kata Wayan.
Wayan yakin hakim akan adil dalam persidangan dengan memutus Ahok bebas. Saat disinggung hakim akan menggunakan yurisprudensi tentang perkara dugaan penistaan agama, ia enggan menanggapi materi tersebut.
"Kita belum sempat memikirkan itu," kata Wayan.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri