tirto.id - "Membeli kucing dalam karung" adalah sebuah peribahasa. "Membeli mainan dalam cangkang telur" adalah masalah orangtua masa kini. Ini adalah era ketika anak-anak, khususnya yang mengenal internet, merengek kepada orangtuanya meminta dibelikan "telur-telur" besar berisi mainan yang mereka tak tahu pasti isinya.
Kok bisa anak-anak menginginkan mainan yang tak mereka tahu isinya secara persis? Pemicunya adalah video "unboxing" mainan.
“Aku punya sesuatu dan ini sangat menarik Rena. Aku ingin membukanya bersamamu.”
“Wah, menarik sekali. Silakan duduk. Apakah ini baju baru?”
“Mm, tidak juga, tapi di dalamnya ada bajunya,”
“Ha? Di dalamnya ada bajunya? Apa, sih? Ayo dong, Mel, tunjukkan!”
Percakapan di atas adalah penggalan cerita pada sebuah video berjudul “Buka LOL Jelly Layer, Bonekanya Hilang!!” yang ditayangkan di saluran Youtube GoDuplo TV. Percakapan itu dilakukan oleh dua boneka. Usai obrolan itu, tiba-tiba sebuah tabung bertuliskan L.O.L Surprise! muncul di atas meja.
Video membuka L.O.L. Surprise! tak hanya diunggah oleh GoDuplo TV saja. Akun Youtube CookieSwirlC juga sering memunculkan adegan serupa.
Dengan suara yang renyah dan menyenangkan, seorang perempuan membuka beragam kemasan bertulisan L.O.L Surprise!. Saat bungkusan terbuka, suara dari perempuan di balik gambar tersebut menyiratkan bahwa dia bahagia dan terkejut melihat rupa-rupa boneka yang menggemaskan.
Video berdurasi 13 menit 30 detik itu pun mampu menyedot perhatian 12.927.647 penonton (hingga 24 Februari 2019 pukul 06.00). Anda mungkin berpikir tayangan itu aneh, sebab kita telah mengetahui kemasan itu berisi mainan, tapi sang pengisi suara merasa takjub.
Mainan apa ini? L.O.L Surprise! adalah boneka dengan kemasan berbentuk telur. Isinya boneka. Saat dibeli, konsumen hanya tahu jenis serinya saja. Isinya? Surprise! Bisa si rambut ungu, si rambut jambon, si kepang dua, si kacamata hitam, dan seterusnya. Tak jarang konsumen membeli dua "telur" dan mendapat mainan yang sama. Namun, L.O.L Surprise! tetap diburu.
Kepada Washington Post, Isaac Larian Pendiri dan Kepala Eksekutif MGA Entertainment—perusahaan yang juga memproduksi Bratz, Lalaloopsy, dan Little Tikes—mengakui bahwa ide mainan itu muncul saat melihat berkembangnya video unboxing di Youtube.
“Terus terang, kami melihat video-video ini di mana-mana dan berpikir, mengapa tidak memberikan mainan unboxing untuk anak-anak,” ujar Isaac Larian, seperti dikutip Washington Post.
Rachel Barr dalam wawancara bersama The Atlanticmengatakan bahwa komersialisasi tren unboxing itu dilakukan karena mereka tahu anak-anak suka dengan keterkejutan, tapi mereka tak suka hal yang menakutkan. Saat membuka L.O.L, sebenarnya anak-anak tahu bahwa kotak itu berisi mainan-mainan yang menggemaskan, tapi mereka tak tahu isi persisnya.
“Anak-anak tidak benar-benar mampu memahami dan mengantisipasi yang akan terjadi nantinya hingga mereka berusia sekitar 4 sampai 5 tahun,” kata Rachel Barr.
Tak hanya itu saja, rupa-rupa bentuk mainan yang mungkin berbeda di setiap kemasan memantik obsesi pada anak-anak. Mereka akan terus ingin membeli hingga memiliki satu seri lengkap.
Candu Bagi Anak, Racun Bagi Orangtua
Dr. Dawn DeCunha, seorang psikolog industri di Markham, Kanada mengatakan bahwa produsen yang mengomersialisasi unboxing itu melakukan promosi melalui video yang merangsang otak anak.
“Setiap indera dilibatkan, mulai dari musik yang ceria dan membangkitkan semangat untuk merangsang sistem pendengaran, hingga warna-warna cerah yang melibatkan sistem visual,” ujar Dawn DeCunha kepada The Star.
Video ini pun dibikin untuk menyasar anak usia empat hingga tujuh tahun. Pada usia tersebut, anak-anak telah memiliki fokus atas suatu hal, meski belum bisa disuguhi materi yang kompleks.
Menurut DeCunha, sebenarnya mainan ini cukup baik bagi pengembangan otak anak. Bagaimanapun membuka kemasan membutuhkan koordinasi motorik dan keterampilan dalam memecahkan masalah.
Produsen pun pandai memanfaatkan tren unboxing dengan memasukkan nada-nada yang bisa meningkatkan suasana hati seorang anak, sehingga ketika menonton, mereka akan menginginkan produk tersebut dan akhirnya keranjingan.
Di Amerika Serikat dan Inggris, Washington Post memberitakan bahwa produsen menyediakan stan L.O.L. Surprise! beserta alat perekam yang bisa digunakan oleh pembeli untuk membuat video unboxing produk agar mereka bisa menebarkan “virus” ke orang lain.
Dalam promosi mainan ini, produsen menyajikan kegembiraan lebih pada anak saat membuka bungkusnya, bukan bermain dengan boneka di dalamnya. Maka, tak heran popularitas mainan itu menjadi meningkat dan mainan itu digemari di berbagai negara.
Masalahnya, "candu" ini tak murah. Untuk produk asli, L.O.L. dijual di kisaran harga Rp300 ribu. Belum lagi seri khusus; harganya bisa lebih dari sejuta rupiah.
Bagaimana Mengendalikan Permintaan Anak?
Orangtua tentu harus bisa membatasi keinginan anak. Selain bisa menjadi masalah finansial keluarga—bagi keluarga kelas menengah ke bawah—mainan ini juga layak diperhatikan karena anak-anak tak lagi meminta mainan demi bermain, tapi demi pengalaman yang didapatnya saat membuka cangkang telur.
Dalam wawancara khusus dengan The Atlantic, Marsha Richins, profesor pemasaran dari University of Missori’s Trulaske College of Business, membeberkan bahwa perilaku materialistis itu mulai muncul pada masa kanak-kanak dan meningkat seiring bertambahnya usia. Menurutnya, dinamika sosial bisa mengarahkan anak-anak untuk ingin memiliki sesuatu, baik melalui film, TV, internet, media, iklan, atau kebiasaan orangtua.
Dalam mengembangkan sikap konsumtifnya, Richins melanjutkan, faktor yang paling berpengaruh adalah orangtua. Mereka melihat hal-hal yang dilakukan oleh orangtua. Namun, pergaulan buah hati juga tak bisa diabaikan, karena mereka bisa mempengaruhi pola konsumsi anak-anak.
Untuk membatasi keinginan anak untuk membeli hal-hal tak mendesak seperti permainan, orangtua bisa menggunakan sistem reward (and punishment). Caranya? Mereka harus "membayar" keinginan mereka dengan sebuah prestasi. Tak ada prestasi, berarti tak ada hadiah.
Cara yang disampaikan Richins bisa dilakukan. Dengan sistem reward, anak-anak tak dibiasakan begitu saja mendapat sesuatu yang diinginkannya. Ada proses mengasah diri untuk meraih prestasi, juga melatih kesabaran anak saat menunggu keinginannya terwujud. Tapi, tunggu dulu. Richins melakukan penelitian lebih dari dua dekade lalu.
Apa yang bisa dilakukan di tengah gencarnya promosi lewat video unboxing? Sederhana jawabannya, tetapi agak tricky pelaksanaannya. Mulailah membatasi jam internet—khususnya jam menonton Youtube—untuk buah hati Anda.
Editor: Maulida Sri Handayani