tirto.id - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia telah mewajibkan dan menggratiskan vaksin human papillomavirus (HPV) untuk anak perempuan kelas 5 dan 6 Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI)/sederajat.
Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI), Tofan Widya Utami bahwa vaksin HPV itu sangat penting.
“Sangat penting. Ini salah satu strategi pencegahan dalam rangka eliminasi kanker serviks di tahun 2030,” kata Tofan kepada Tirto yang dikutip Jumat (22/4/2022).
Dia menuturkan pada prinsipnya, vaksinasi HPV ini lebih efektif pada kelompok naive cervix, yaitu serviks atau leher rahim yang belum pernah terpapar HPV — ini pada populasi yang belum pernah melakukan hubungan seksual.
World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia telah mencanangkan triple intervention untuk eliminasi kanker serviks di tahun 2030, yaitu dengan target 90-70-90.
“Ini mencakup pencegahan primer, sekunder, tersier, di mana WHO menetapkan cakupan vaksinasi HPV adalah 90 persen pada anak perempuan kurang dari usia 15 tahun,” terang Tofan.
Wakil Ketua Bidang Penyusunan Panduan Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Kanker Ginekologi ini menyebut untuk melakukan eliminasi kanker serviks, pencegahan primer (vaksinasi HPV, promosi, edukasi) dan pencegahan sekunder (deteksi dini: skrining dan diagnosis dini) adalah 2 pilar yang tidak terpisahkan, di mana saling melengkapi satu sama lain.
Terkait batasan rentang usia terbaik untuk dilakukan vaksinasi HPV, tutur Widya, memang bervariasi antarpedoman. Pedoman Eropa menyatakan 9-26 tahun, sedangkan pedoman Amerika 10-26 tahun.
Dia mengatakan bahwa imunogenisitas relatif lebih baik pada kelompok usia 10-26 tahun, apalagi yang belum pernah melakukan hubungan seksual.
Lanjut Tofan, HOGI sudah menetapkan rentang usia yang dapat dilakukannya vaksinasi HPV, yaitu 10-55 tahun dengan maksud memperluas cakupan vaksinasi HPV pada perempuan Indonesia yang memang sebagian besar belum pernah dilakukan deteksi dini.
Lalu terkait penentuan usia vaksinasi HPV dalam rangka program nasional yang dibiayai pemerintah untuk sementara ini di usia 11-12 tahun, dikaitkan dengan kelayakan dan kesiapan dari berbagai aspek termasuk anggaran, ketersediaan vaksin, teknis pelaksanaan, dan sebagainya.
“Bagaimanapun Indonesia memiliki populasi yang luar biasa, sehingga angka absolutnya pun akan menjadi besar, dibandingkan negara-negara dengan jumlah penduduk yang lebih rendah. Jadi sebenarnya ini merupakan suatu prestasi, karena melalui perjuangan yang cukup panjang,” ujar Staf Pengajar dan Staf Medis Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) / Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Tofan menyarankan agar Indonesia segera melakukan revolusi untuk mempertajam strategi pencegahan kanker serviks yang agresif dan masif, karena situasi kanker serviks di Tanah Air tidak menunjukkan perbaikan.
“Hal ini tentu menjadi keprihatinan kita, oleh karena itu kita harus segera bangkit dalam rangka akseleresi implementasi strategi pencegahan kanker serviks di Indonesia,” kata dia.
Adapun Tofan menerangkan bahwa insiden kanker serviks di Indonesia berada di angka 23,4 per 100.000 perempuan. Ini merupakan suatu angka yang sangat tinggi bahkan lebih tinggi daripada angka global. Hampir separuh penderita kanker serviks mengalami kematian.
“Kematian ini sebagian terjadi pada perempuan berusia produktif yang merupakan pendidik generasi bangsa,” tutur dia.
Di samping itu, Tofan mengatakan vaksin HPV sudah cukup lama penelitiannya dan sudah jelas berbagai potensial efek sampingnya. Secara umum, vaksin tersebut tidak ada efek samping yang signifikan apalagi yang fatal. Efek samping yang paling sering dilaporkan adalah rasa nyeri ringan pada tempat suntikan.
“Jadi program nasional vaksinasi HPV ini justru harus dipandang sebagai investasi bangsa, bukan beban negara. Karena pembiayaan pengobatan terhadap seorang penderita kanker serviks adalah sangat jauh lebih tinggi dibandingkan harga sebuah vaksin dan deteksi dini,” ujar dia.
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Restu Diantina Putri