tirto.id - Anda lelah tinggal di bumi yang kerap dihadapkan pada berbagai macam konflik dan setumpuk persoalan ekologi? Bergabunglah bersama Asgardia.
Asgardia adalah negara yang pada 12 Oktober 2016 silam diajukan legalitasnya kepada Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menjadi negara yang utuh dan berdaulat di luar angkasa. Nama resminya Negara Antariksa Asgardia. Dengan motto “Satu Kemanusiaan, Satu Persatuan”, Anda dijanjikan kehidupan yang damai dan lebih mengedepankan keutuhan komunitas alih-alih perbedaan yang berujung perpecahan.
Setidaknya demikian visi pokok yang tertulis di website resmi mereka. Lebih rinci lagi, pertama, Asgardia akan menjamin penggunaan antariksa secara damai. Kedua, melindungi planet bumi dari marabahaya mulai dari asteroid dan komet, sampah buatan manusia yang menumpuk di orbit bumi, radiasi kosmik dari reaksi nuklir di supernova, hingga kemungkinan infeksi yang dibawa mikroorganisme dari meteor atau makhluk lain.
Ketiga, Asgardia adalah basis pengetahuan luar angkasa yang bebas dan tak memiliki campur tangan militer (demiliterisasi) sehingga bisa diakses secara gratis oleh siapapun, terutama orang di negara berkembang yang tak punya akses ke luar angkasa. “Asgardia” sendiri diambil dari nama salah satu dari sembilan dunia mitologi Norwegia dan menjadi rumah bagi para dewa yang berasal dari suku Æsir.
Proyek super besar ini bukan lelucon. Kurang dari dua hari sejak Asgardia diumumkan ke publik, jumlah pendaftarnya mencapai lebih dari 100.000 orang. Tiga minggu kemudian jumlahnya sudah menembus angka 500.000. Usai verifikasi pendaftaran dibikin lebih serius (diduga para pendaftar di awal pengumuman hanya sedang bercanda), pendaftarnya pada Juni 2017 tercacat berjumlah kurang lebih 210.000.
Per 27 Juli 2017, jumlah pendaftarnya bertambah menjadi 278.441. Mereka berasa dari hampir semua negara, termasuk dari Indonesia yang mencapai 8.446 orang (83 persen laki-laki, 17 persen perempuan). Pendaftar terbanyak berasal dari Turki (41.513), lalu diikuti oleh Cina (39.347), Amerika Serikat (34.100), Brazil (11.332), Inggris (10.869), Italia (10.018), Meksiko (9096), baru Indonesia di urutan ke-8.
Sosok di balik Asgradia adalah Dr. Igor Ashurbyli. Peneliti keturunan Azerbaijan-Rusia yang lahir pada 9 September 1963 itu dikenal sebagai Penemu Pusat Penelitian Kedirgantaraan Internasional dan Ketua Komite Ruang Angkasa UNESCO. Dia yang pada Oktober tahun lalu mengumumkan Asgardia ke dunia, dan kini menjabat sebagai Kepala Negara Antariksa Asgardia.
Langkah pertama untuk mewujudkan Asgardia diumumkan Igo di Hong Kong pada Selasa (13/6/2017), yakni dengan peluncuran satelit pertamanya, Asgardia-1, ke luar angkasa pada September 2017 mendatang, dikutip dari Cnet.
Satelit yang akan diluncurkan oleh perusahaan NanoRacks itu akan turut membawa informasi terkait konstitusi, bendera, dan data diri dari 1,5 juta warga Negara Antariksa Asgardia. Satelit kedua dijadwalkan untuk meluncur pada tahun depan.
Asgardia nantinya akan didesain seperti stasiun ruang angka permanen di mana para warganya memiliki peraturan sendiri, layaknya negara di bumi, dan mereka dapat bekerja dan hidup secara normal. Konstitusi negara telah tersedia di website resmi dan para pendaftar tingga memilih untuk menyetujuinya ataupun tidak.
Terkendala Modal, Waktu Pengerjaan, hingga Legalitas
Proyek yang maha besar ini tentu saja membutuhkan dana yang maha banyak juga. Hingga kini segala pengeluarannya masih berasal dari kantong Igor. Meski NanoRacks, perusahaan Igor, tak merilis berapa dana yang dikeluarkan untuk peluncuran satelitnya, namun proyek serupa diperkirakan perlu dana sebesar $700.000.
Itu baru satelit, belum pesawat luar angkasa raksasa sebagai koloni permanen di orbit bumi. Dalam catatan Bussines Insider, pembangunan Stasiun Antariksa Internasional (ISS) saja berbiaya $100 miliar. Penerbangan ke stasiun tersebut menyedot biaya hingga lebih dari $40 juta dalam sekali peluncuran.
Asgardia dinilai seambisius proyek Mars One yang ingin menempatkan koloni permanen di Mars. Keduanya memang mungkin untuk terwujud, namun selain kendala dana, ada juga kendala waktu pengerjaan. Kedua proyek ini tak akan selesai dalam beberapa dekade ke depan, atau bahkan lebih lama lagi. Orang-orang yang mendaftar sekarang kemungkinan besar sudah meninggal saat proyeknya telah rampung.
Frans von der Dunk yang mempelajari hukum antariksa di Unversitas Nebraska AS, menganggap mimpi Asgardia utopis dari segi legalitas sebuah negara. Negara dalam pandangan klasik, katanya kepada Popular Science, pertama-tama mesti memiliki teritori dan porsi penduduk yang jelas di wilayah tersebut.
“Selama tidak ada yang pergi ke luar angkasa, Anda bisa mengakui wilayah yang Anda jamah sebanyak mungkin sebagai kepuanyaan Anda, tapi itu tetap bukan sebuah negara,” katanya.
Joane Gabrynowich, ahli hukum antariksa dan profesor di Sekolah Hukum Institut Teknologi Beijing berkata pada CNN bahwa sebuah negara mesti memenuhi karakteristik seperti populasi permanen, wilayah yang ditentukan, pemerintahan yang sah, dan kapasitas untuk melakukan hubungan dengan negara-negara lain—dengan kata lain mesti ada pengakuan dari negara-negara lain itu.
“Oleh karena itu presmis bahwa Asgardia sebagai negara masih diperdebatkan,” imbuhnya.
Sekedar deklarasi, katanya kepada Cnet, tidaklah cukup. Ada banyak entitas di bumi yang statusnya menjadi negata merdeka setelah mengalami perselisihan dalam jangka waktu yang lama dengan negara lain. Masuk akal untuk menduga bahwa status dari sebuah objek yang tak berpenghuni (stasiun koloni Asgardia) yang tak ada di bumi juga akan menimbulkan perselisihan.
Christopher Newman, ahli hukum antariksa di Universitas Sunderland, Inggris, berkata pada The Guardian bahwa proyek Asgardia merefleksikan fakta bahwa lanskap geopolitik di ruang angkasa belum berubah sejak Perjanjian Luar Angkasa yang digagas pada era 1960-an.
Ia belum terlalu memahami bagaimana Asgardia akan cocok di dalam regulasi internasional di tengah keraguan atas status legal Asgardia di hadapan PBB hingga isu terkait apakah nanti stasiun koloni mereka benar-benar layak ditinggali. Di dalam Perjanjian Luar Angkasa disebutkan bahwa negara yang mengirim misi ke luar angkasa bertanggung jawab atas segala kerusakan yang terjadi.
“Perkembangan dari wacana Asgardia memang menggairahkan dalam banyak hal sebab menarik dilihat ke depan seperti apa. Tetapi ada hambatan berat menyangkut hukum internasional untuk mereka atasi. Apa yang sebenarnya mereka advokasi adalah peninjaun lengkap dari kerangka hukum antariksa yang ada saat ini,” jelasnya.
Setidaknya ada satu kisah lain tentang klaim negeri di luar angkasa yang berakhir tak jelas akibat teknologi yang belum mendukung. Pada 1949 James Mangan mengajukan dokumen ke Cook County, Illionis, AS, berisi klaim yang menyatakan bahwa semua ruang di luar bumi sebagai “Nation of Celestial Space” atau “Celestia” di mana Mangan berstatus sebagai pendiri dan perwakilan resmi.
Mangan memiliki visi yang serupa dengan Asgardia yakni mewujudkan perdamaian di luar angkasa. Ia mempertahankan klaimnya dengan segera dan memberi tahu pemerintah AS, Uni Soviet, dan beberapa negara lain yang mendapat larangan percobaan nuklir di atmosfernya. Di masa awal perang dingin ia juga mengirim keberatannya pada AS dan Rusia yang dianggap telah memasuki “wilayah kedaulatannya” secara sewenang-wenang lewat perlombaan berbagai senjata baru.
Saat itu masyarakat dunia, termasuk PBB, mengabaikan klaim Mangan dengan cukup sopan meski Mangan terus menerus meminta pengakuan resmi. Perjuangannya berlangsung selama beberapa dekade hingga ia meninggal pada tahun 1970. Sejak saat itu pula Celestia tak terdengar lagi kabarnya—apalagi benar-benar terwujud sebagaimana keinginan pencetusnya.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Zen RS