tirto.id - Universitas Teknokrat Indonesia (UTI) yang terletak di Bandar Lampung menskors dan mengeluarkan (drop out/DO) sembilan mahasiswa jurusan Teknik Sipil lantaran diduga mencemarkan nama baik kampus. Keputusan keluar pada 17 Februari 2021.
Mahasiswa yang dikeluarkan ialah Ulil Absor Abdalah, Vernanda Ade Vamula, dan Agung Fernando Habeahan. Sementara yang menjadi korban skors ialah M Iqbal Surya Putra, Ahmad Mu’fatus Sifa’I, Abdullah Azzam, Handri Kusuma, Afran Rasyid, dan Rahmad Wijaya.
Kepada reporter Tirto, Selasa (4/5/2021), M Iqbal Surya Putra mengisahkan pangkal kejadian ini adalah peristiwa tahun 2018, yaitu ketika ia dan kawan-kawan sejurusan meminta kampus menyediakan ruangan sekretariat untuk aktivitas himpunan. Pengajuan tersebut ditolak dengan dalil kampus bahkan kekurangan ruang belajar.
“Kami selaku pengurus himpunan ikut dalam pengajuan tersebut dan dapat kami pastikan proses pengajuan tersebut tetap pada regulasi, kondusif, dan menaati aturan yang ditetapkan oleh kampus,” ujar Iqbal.
Setelah mengadakan rapat internal, mereka memutuskan untuk memanfaatkan sebidang tanah di lingkungan kampus sebagai ruang sekretariat. Menurut mereka, lahan kosong tersebut bukan fasiitas umum dan pihak kampus tidak pernah merencanakan membangun apa pun di atasnya.
Beragam aktivitas pun kini dapat dilakukan, mulai dari belajar atau sekadar mencari hiburan. Karena pernah mendapat teguran dari Babinkamtibmas lantaran suara yang terlampau kencang saat malam, mereka sepakat untuk membatasi kegiatan.
Mereka menjamin tidak pernah memanfaatkan ruangan tersebut untuk melakukan tindakan asusila, membawa minuman keras dan narkotika, atau pun hal-hal yang bertentangan dengan hukum dan norma.
Dalam proses kaderisasi, mereka menjamin pula menghindari cara-cara premanisme atau menanamkan pemahaman ekstrem dan radikal.
“Tidak pernah adanya peringatan, kebijakan, peraturan resmi, tertulis/lisan yang diberikan kepada kami bahwa tiap mahasiswa yang menggunakan tempat tersebut akan drop out,” ujar Iqbal.
Awal 2021, kegiatan Hima Teknik Sipil dituding mengganggu ketertiban. Pihak kampus memutuskan menggusur bangunan.
“Inilah yang menjadi awal mula masalah. Dikaitkan dengan kegiatan kami yang dianggap berisik--memang kami sesekali bermain gitar dan menyanyi. Dan perlu diingat juga inilah yang kemudian menjadi alasan kami di-DO bahkan ketika kami sepakat membongkar tempat tersebut,” ujar Iqbal.
Pihak kampus mengatakan keputusan skors dan DO karena pertimbangan nilai, bukan sekadar aktivitas mereka di sekretariat swadaya. Menurut Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer Auliya Rahman Isnain, UTI mewajibkan mahasiswa yang memasuki semester akhir untuk mendapatkan IPK di atas dua selama tiga semester berturut-turut. Jika tidak akan dikenakan maka akan di-DO. Syarat itulah yang tidak terpenuhi.
Namun Auliya tak menampik bahwa kegiatan Hima Teknik Sipil memang “melanggar kode etik UTI dengan mencemarkan nama baik UTI.” “Aktivitas mereka berkumpul di gang itu yang menyebabkan pihak kampus dipanggil RT dan kelurahan, sehingga ini menimbulkan citra buruk bagi Teknokrat,” ujar Auliya kepada wartawan.
Menurut Auliya, lahan yang dijadikan sekretariat itu milik negara dan akses menuju taman Masjid Asmaul Yusuf UTI. Penutupan pun atas keputusan pihak Kelurahan Kedaton bukan pihak kampus.
Ia membenarkan bahwa pihak kampus tidak pernah memberikan surat peringatan secara resmi, hanya teguran langsung melalui RT, kelurahan, satpam, rektor, hingga Babinkamtibmas. “Enggak harus teguran secara tertulis, teguran lisan juga masuk peringkat keras. Sudah dari tahun 2019 anak-anak ini sudah sering sekali dipanggil dan diperingatkan secara langsung.”
Kuasa hukum mahasiswa Kepala Divisi Advokasi LBH Lampung Kodri Ubaidillah membantah alasan tersebut. “Perihal nilai, mahasiswa mengklaim tidak pernah mendapatkan IPK di bawah standar seperti apa yang dituduhkan oleh pihak kampus. Bahkan di antara mahasiswa tersebut justru pernah menjadi finalis dalam beberapa ajang perlombaan akademik di tingkat nasional,” ujar Kodri.
Pada 29 April, pihak kampus mendatangi LBH Bandar Lampung. Namun mereka tetap teguh mempertahankan SK rektor tersebut.
LBH Bandar Lampung menilai keputusan skors dan DO cacat prosedur. Bahkan penyampaian kabar tersebut hanya melalui WhatsApp dan sangat tidak etis.
Sebagai upaya selanjutnya, para mahasiswa akan menggugat kampus lewat jalur hukum formal alias pengadilan.
“Respons yang disampaikan semakin menguatkan bahwa kampus Sang Juara memanglah kampus yang anti terhadap kebebasan akademik dan kemerdekaan mahasiswanya,” ujar Kodri.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino