Menuju konten utama

Usai Cukai Naik, Ada Cara Apa Lagi untuk Turunkan Jumlah Perokok?

Cukai rokok terus naik setiap tahun, tapi mengapa jumlah perokok di Indonesia tak kunjung turun?

Usai Cukai Naik, Ada Cara Apa Lagi untuk Turunkan Jumlah Perokok?
Ilustrasi - Seorang pedagang menunjukkan pita cukai rokok di Pasar Pahing, Kediri, Jawa Timur. FOTO ANTARA/Arief Priyono/ss/pd/pri.

tirto.id - Cukai hasil tembakau (CHT) kembali naik awal tahun mendatang. Kebijakan ini tentu menuai pro-kontra. Kelompok pendukung jelas berpegang pada prinsip kesehatan. Sementara itu, mereka yang menolak lagi-lagi memakai dalih tentang kesejahteraan petani dan tenaga kerja dalam rantai produksi rokok.

Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memutuskan menaikkan CHT sebesar 12 persen untuk golongan Sigaret Putih Mesin (SPM). Sementara itu, cukai golongan Sigaret Kretek Tangan (SKT) hanya naik maksimal 4,5 persen saja.

Kenaikan nilai cukai SKT lebih rendah daripada SPM karena jenis ini menyerap lebih banyak tenaga kerja dan bahan baku lokal. Kebijakan ini kabarnya diambil untuk mengendalikan konsumsi rokok, khususnya di kalangan anak dan remaja.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 memang menunjukkan jumlah perokok muda yang meningkat menjadi 9,1 persen dari sebelumnya 7,1 persen (2013). Padahal, pemerintah hampir selalu menaikkan cukai rokok setiap tahun.

Kenaikan CHT dua digit dimulai sejak 2016 sebesar 11,19 persen. Nilainya sempat turun menjadi 10,54 persen pada 2017 dan kemudian menjadi 10,4 persen pada 2018. Pada 2019, pemerintah tidak menaikkan CHT, tapi pada 2020, CHT kembali naik di angka 23,05 persen.

Dari kenaikan CHT tahun depan, pemerintah menargetkan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun dapat ditahan di angka 8,83 persen dari target 8,7 persen dalam RPJMN tahun 2024. Namun, jika dicermati, kenaikan CHT tiap tahun terlihat hampir tak berdampak pada penurunan jumlah perokok.

Sudah tepatkah strategi pemerintah dalam menurunkan jumlah perokok muda dengan strategi cukai?

Hasil riset Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) menjawab pertanyaan ini. Menurut perhitungan mereka, kenaikan cukai sebesar 10 persen berpotensi menurunkan konsumsi rokok per minggu sebanyak 1,3 batang.

Meski berkorelasi, kenaikan cukai rupanya tidak berdampak signifikan pada prevalensi perokok. Artinya, pemerintah butuh strategi tambahan jika benar berkomitmen mengurangi jumlah perokok, terutama di kalangan muda.

Strategi Kunci Turunkan Jumlah Perokok

Di saat yang hampir berbarengan dengan pengumuman kenaikan CHT, Selandia Baru dikabarkan juga berencana membatasi akses rokok. Pemerintah Selandia bahkan bakal menerapkan cara yang lebih drastis dengan mengurangi takaran nikotin pada produk rokok untuk dewasa, memangkas pengecer rokok, dan melarang konsumen muda merokok.

Pemerintah Selandia Baru memastikan penduduk kelahiran 2008 ke atas tidak bisa membeli rokok seumur hidup. Seturut pemberitaan CNBC, pemerintah Selandia Baru pertama kali mencanangkan program bebas rokok itu pada 2011. Tujuannya adalah untuk menurunkan kuantitas perokok hingga kurang dari 5 persen secara nasional pada 2025.

Pemerintah Selandia Baru bahkan punya ambisi menghilangkan kebiasaan merokok sama sekali. Saat ini, sekitar 13 persen warga dewasa Selandia Baru adalah perokok. Satu dekade lalu, persentasenya adalah 18 persen. Itu adalah capaian penurunan yang nisbi cukup besar, meski butuh waktu yang juga cukup lama.

Sama seperti Indonesia, Selandia baru juga membuat kebijakan kenaikan cukai setiap tahun. Pada 2021, cukai rokok negara ini naik 1,4 persen. Tidak besar memang, namun harga rokok di sana sudah terhitung mahal sejak awal. Di tahun sebelumnya, kenaikan cukai sebesar 10 persen membikin harga sebungkus rokok menjadi sekitar $33 atau setara Rp475 ribu.

Bandingkan dengan Indonesia yang warganya bisa mendapat sebungkus rokok dengan hanya Rp20 ribu saja, bahkan kurang.

Tidak cukup menaikkan cukai saja, harus diikuti kenaikan harga jual setidaknya 50 persen. Konsumen miskin pasti akan turun. Jadi, secara tidak langsung membantu mereka keluar dari kemiskinan,” ungkap ekonom Faisal Basri dalam diskusi pertembakauan bersama AJI Jakarta beberapa waktu lalu.

Data BPS pada 2018 memang menunjukkan bahwa rokok adalah faktor penyebab kemiskinan pada kelas ekonomi menengah ke bawah. Pengeluaran untuk rokok saja menempati urutan kedua terbesar setelah beras. Padahal, alokasi belanja rokok sejatinya bisa dialihkan ke kebutuhan lain yang lebih primer.

Peta pengurangan konsumsi rokok dengan strategi kenaikan cukai juga dilakukan negara lain, seperti Amerika. Penelitian pada responden di Amerika mengungkap kenaikan cukai dapat menurunkan jumlah perokok, meski efeknya memang tidak instan.

Manfaat kenaikan cukai ini terakumulasi dari waktu ke waktu, (lebih spesifik) dalam mencegah perokok baru,” demikian tulis studi terbitan 2018 tersebut.

Amerika butuh waktu lebih dari setengah abad (1965-2017) untuk menurunkan prevalensi perokok secara signifikan. Di kalangan perokok pria, nilainya turun dari 52 persen menjadi 15,8 persen, sementara di kalangan perempuan, turun dari 34,1 persen menjadi 12,2 persen.

Infografik Cukai Rokok

Infografik Cukai Rokok. tirto.id/Sabit

Memanipulasi Harga Rokok

Belajar dari kedua negara itu, sementara cukai dan harga jual ditingkatkan, pemerintah Indonesia perlu menutup celah lain: distribusi dan konsumsi tembakau ilegal. Di Indonesia, aksi “tingwe” tembakau alias ngelinting dewe (melinting sendiri) belakangan jadi marak di kalangan anak muda karena harganya murah.

Menurut lembaga pemeringkat Numbeo, Indonesia masuk dalam daftar 11 negara yang memiliki harga rokok termurah di dunia. Statistiknya dilihat dari harga Marlboro isi 20 batang yang dihargai hanya US$1,95 atau sekitar Rp28 ribu. Peringkat negara kita hanya beda US$0,01 dibanding Brazil yang berada di urutan ke-10 dengan harga rokok per bungkus US$1,94.

Sementara itu, Selandia Baru adalah negara kedua yang mematok harga rokok paling mahal setelah Australia, yakni masing-masing US$23,86 (setara Rp343 ribu) dan US$26,64 (setara Rp383 ribu). Amerika masuk urutan ke-18 dengan harga Marlboro US$8 atau sekitar Rp115 ribu.

Meski harga rokok di Indonesia lebih murah dibanding Selandia Baru atau Amerika, perokok Indonesia masih saja menemukan cara mengakali harga rokok supaya lebih murah lagi, yakni dengan membeli rokok ilegal atau tembakau tingwe.

Menurut Faisal, perokok linting sebenarnya bukanlah konsumen mayoritas. Persentase perokok linting dari kalangan muda besarnya kurang dari 1 persen. Mengonsumsi rokok tingwe masih dianggap merepotkan sehingga penikmatnya pun masih sedikit.

Meski begitu, celah untuk rokok tingwe dan rokok ilegal tetap harus ditutup demi totalitas memerangi dampak buruk rokok. Faisal juga menyarankan larangan penjualan rokok secara ketengan karena perokok muda umumnya mengakses rokok melalui cara itu.

Terakhir produk tembakau tidak boleh dijual di warung-warung, harus di tempat khusus sehingga aksesnya terbatas,” kata Faisal.

Poin terakhir Faisal merujuk pada Inggris yang menjual produk tembakau alternatif di apotek. Otoritas Inggris hanya mengizinkan penjualan rokok konvensional di tempat tertentu dengan menetapkan batasan umur pembeli.

Tak ada kebijakan sia-sia dari usaha menghentikan kebiasaan merokok. Yang membedakan hanya soal keseriusan dan konsistensinya saja.

Baca juga artikel terkait ROKOK atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi