Menuju konten utama
Miroso

Urip Mung Mampir Ngombe: Kisah Minuman Fermentasi Lokal

Nasib minuman fermentasi lokal sepertinya lebih banyak dikaitkan dengan cerita-cerita kriminal.

Urip Mung Mampir Ngombe: Kisah Minuman Fermentasi Lokal
Infografik Miroso Minuman Alkohol Tradisional. tirto.id/Tino

tirto.id - Sofyan (53) memiringkan selongsong bambu berukuran besar berisi nira aren ke sebuah gelas. Tiap tabung bambu itu, ada 12 liter nira aren. Ia lalu menyodorkan gelas berisi minuman berwarna putih susu itu ke seorang pengemudi ojek daring. Setelahnya, giliran saya.

Sofyan berjualan di seberang Istana Bogor, tepatnya di depan Samsat Kota Bogor. Sofyan berjualan setiap pukul 9 pagi hingga 5 sore. Dulu dia tidak pernah ngetem, melainkan keliling jalan kaki. Baru beberapa tahun dia memutuskan ngetem.

"Usia sudah gak muda lagi," ujarnya.

Selagi saya minum nira aren saya melihat beberapa sopir angkot yang juga turut serta minum dari dalam ruang kemudinya. Ada juga beberapa yang minta dibungkus dalam botol air mineral.

Sofyan, yang sudah 20 tahun berjualan, menyebut dulunya nira aren ini disebut tuak. Hanya saja, karena tuak identik dengan minuman untuk mabuk-mabukan, nira aren ini lantas lebih dikenal dengan bahasa Sunda: cai lahang.

Ini jenis minuman yang sudah mulai langka. Di Jakarta, saya pernah menemukan penjualnya mangkal siang hari di area taman Semanggi. Menurut Sofyan, besar kemungkinan penjual nira aren berasal dari kampung halamannya, Cigombong, sebuah daerah di perbatasan Bogor-Sukabumi.

Dalam selongsong bambu nira aren dagangannya, Sofyan mencampur es batu. Setidaknya ada dua alasan, pertama, agar minumannya jadi lebih segar. Kedua, es batu berfungsi menunda supaya nira aren tidak jadi cepat asam seperti tape. Jika dibiarkan lebih dari 3 hari, nira aren tadi bisa berubah menjadi cuka.

Di kampung saya, minuman sejenis ini disebut badek. Pembedanya hanya dari sumber pohonnya. Badek terbuat dari fermentasi nira kelapa.

Minuman Fermentasi Beralkohol di Indonesia

Ada banyak minuman fermentasi beralkohol di Indonesia. Sebut saja yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu, seperti arak dan tuak.

“Catatan tertua tentang minuman fermentasi ada di dalam beberapa prasasti dan naskah kuno Jawa, mulai dari abad ke-8 sampai abad ke-13," jelas sejarawan dari Universitas Padjajaran Bandung, Fadly Rahman, dilansir CNN Indonesia.

"Banyak minuman fermentasi yang diolah dari nira, beras, ketan, dan namanya pun bervariasi,” imbuh penulis buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016) ini.

Infografik Miroso Alkohol Lokal

Infografik Miroso Minuman Alkohol Tradisional. tirto.id/Tino

Selain arak dan tuak, ada juga minuman alkohol Nusantara seperti sopi, moke, ballo, hingga: ciu, istilah yang biasa digunakan untuk menyebut jenis arak tradisional di Indonesia, terutama yang berkembang di beberapa daerah di wilayah Jawa Tengah.

Ada sejumlah pendapat yang berbeda mengenai ciu, termasuk terkait bahan pembuatnya. Henri Saputro dalam The Counseling Way: Catatan Tentang Konsepsi dan Keterampilan Konseling (2018), misalnya, menuliskan ciu adalah minuman beralkohol dari fermentasi ketela pohon cair yang terbuang dalam proses pembuatan tape.

Ada pula yang menyebut ciu dibuat dari hasil penyulingan tetes tebu atau limbah cair yang terbuang dalam proses pembuatan gula dan sudah difermentasi, seperti yang dikutip dari Majalah Tempo (Volume 24, 1994).

Biasanya, jenis-jenis penyebutan ciu dan perbedaan bahan pembuatnya itu didasarkan pada wilayah-wilayah tertentu. Ciu sendiri merupakan istilah yang dianggap umum untuk menyebut minuman fermentasi tradisional ini.

Ciu yang terbuat dari tetes tape konon berasal dari Banyumas dan sekitarnya, seperti Sumpiuh, Purbalingga, Banjarnegara, Kroya, hingga Cilacap, atau daerah-daerah di Jawa Tengah di bagian barat. Sedangkan ciu yang berbahan tetes tebu paling terkenal dari Desa Bekonang, Sukoharjo, dekat Solo. Oleh karena itu, ciu jenis ini kerap disebut dengan nama Ciu Bekonang atau Ciu Cangkol, terkadang disebut pula sebagai arak khas Solo.

Di Solo dan sekitarnya, pada masa pemerintahan Hindia Belanda, ciu seolah menjadi minuman wajib setiap kali ada pesta rakyat atau keramaian, misalnya pertunjukan tayub, wayang, atau saat perayaan panen raya.

Stigma Minuman Fermentasi Lokal

Sejak lama, minuman fermentasi lokal masih dapat stigma sebagai minuman mabuk-mabukan. Hal ini juga bikin kita kadang kelabakan jika harus menyebut minuman fermentasi lokal yang bisa jadi representasi Nusantara.

Jepang percaya diri dengan sake-nya, Jerman identik dengan birnya, Korea sering memamerkan soju dalam berbagai kultur popnya. Minuman-minuman itu seolah menjadi identitas pengenal mereka. Sedangkan di Indonesia, minuman serupa nasibnya lebih apes: lebih banyak dikaitkan dengan hal-hal kriminal.

Padahal ada banyak diskusi adat, termasuk pemecahan masalah, melibatkan minuman alkohol sebagai penanda persahabatan.

Dalam jurnal berjudul "Sopi Maluku di Antara Cultural Capital dan Market Sphere" (PDF), dijelaskan tentang bagaimana di Teon Nilan Serua, Maluku Tengah, sopi sebagai minuman fermentasi alkohol lokal, hadir untuk menyelesaikan masalah dan konflik antar warga. Ibaratnya, ketika minuman tadi terhidang, maka itu jadi penanda rekonsiliasi tersepakati, dan artinya masalah dianggap selesai.

Menurut Raymond Michael Menot, antropolog Universitas Indonesia dan editor buku Budaya Minum di Indonesia, minuman fermentasi lokal sejak dulu sudah memberi banyak manfaat bagi masyarakat di Nusantara.

Di kawasan bersuhu dingin dan berangin, misalkan, minuman fermentasi beralkohol ini hadir, tercipta, dan terhidang sebagai salah satu bentuk pertahanan tubuh melawan udara dingin. Tidak hanya bagi warga lokal saja, minuman fermentasi beralkohol ini juga bermanfaat bagi para pelaut dari tanah jauh.

Menurut Raymond, minuman fermentasi alkohol lokal ini dianggap sebagai “kunci sukses” bangsa-bangsa pendatang mengambil rempah-rempah di Nusantara. Lagi-lagi, minuman alkohol adalah bekal penting dari para pelaut untuk menghangatkan tubuh dalam perjalanan ke kepulaun Nusantara. Lantas, saat kembali pulang ke negara asalnya, mereka sudah restock lagi dengan membawa minuman-minuman alkohol lokal sebagai bekal.

Maka tak heran kalau orang Belanda melihat minuman alkohol lokal punya potensi untuk dijadikan bisnis. Salah satu contohnya adalah minuman beralkohol yang dikenal dengan merek Batavia Arrack van Oosten.

J. David Owens dalam Indigenous Fermented Foods of Southeast Asia (2014) mengungkapkan, produksi arak Batavia dimulai di Batavia (kini Jakarta) pada 1743. Batavia Arrack van Oosten mengandung 50 persen alkohol dan menjadi terkenal pada abad ke-18 di seluruh Indonesia.

Bahkan, Batavia Arrack van Oosten ini disukai oleh orang-orang Eropa yang datang ke Hindia Belanda atau Indonesia kala itu sehingga sering dibawa pulang dan namanya cukup populer di negara-negara Barat. []

Baca juga artikel terkait ARAK atau tulisan lainnya dari Husni Efendi & Iswara N Raditya

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Husni Efendi & Iswara N Raditya
Editor: Nuran Wibisono