tirto.id - Tidak meratanya akses ke air bersih membuat konsumsi air minum dalam kemasan (AMDK) meningkat di masyarakat. Kondisi ini membuat perlindungan terhadap konsumsi AMDK menjadi urgen. Perlindungan itu termasuk jaminan atas kontaminasi plastik—bahan yang umum dipakai sebagai kemasan air minum.
Cakupan ketersediaan air bersih atau air minum perpipaan di Indonesia baru mencapai 20,69 persen (2021) dari total penduduk. Masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap air bersih akhirnya beralih mencari alternatif air bersih lainnya, termasuk ke AMDK. Namun selama ini, standar kualitas dan keamanan AMDK di Indonesia belum sempurna.
Standar kemasan dan pelabelan AMDK hingga saat ini belum mengatur level penanda bebas BPA atau bisfenol A pada kemasan plastik polikarbonat (PC). Di Indonesia, persyaratan batas maksimal migrasi bisfenol A pada kemasan plastik PC ditetapkan sebesar 0,6 bpj (bagian per juta) dalam Peraturan Badan POM Nomor 20/2019 tentang Kemasan Pangan.
Namun, hasil pengawasan BPOM pada kemasan galon pada periode 2021-2022 di sarana produksi maupun peredaran menemukan 3,4 persen sampel tidak memenuhi syarat batas maksimal migrasi BPA. Lain itu, terdapat hasil uji migrasi BPA dengan kadar mengkhawatirkan (berada di level 0,05-0,6 bpj) sebesar 46,97 persen di sarana peredaran dan 30,91 persen di sarana produksi.
“Sementara hasil pengawasan kandungan BPA pada produk AMDK dengan kandungan BPA di atas 0,01 bpjdi sarana produksisebesar 5 persen sampel galon baru, dan di sarana peredaran sebesar 8,67 persen,” terang Kepala BPOM Penny K. Lukito dalam keterangan di situs resmi BPOM.
Berdasar temuan ini, BPOM akhirnya berencana melakukan pengaturan label AMDK pada kemasan plastik. Mereka akan merevisi Peraturan Badan POM Nomor 31/2018 tentang Label Pangan Olahan. Peraturan ini mewajibkan produsen mencantumkan tulisan cara penyimpanan pada label AMDK.
Contoh pelabelan yang dimaksud BPOM antara lain, “Simpan di tempat bersih dan sejuk, hindarkan dari matahari langsung, dan benda-benda berbau tajam” atau “Berpotensi Mengandung BPA” pada labelproduk AMDK yang menggunakan kemasan plastik PC.
Namun, label “Berpotensi Mengandung BPA” tidak perlu dicantumkan pada produk AMDK dengan hasil analisis BPA tidak terdeteksi atau dengan nilai Limit of Detection (LoD) ≤0,01 bpj. Migrasi BPA dari kemasan plastik polikarbonat tersebut harus memenuhi ketentuan perundang-undangan.
“Kami tidak melarang penggunaan kemasan galon PC. Regulasi ini juga cuma berlaku untuk AMDK dengan mempunyai ijin edar, sehingga tidak berlaku untuk depot air minum isi ulang. Dipastikan tidak ada potensi kerugian ekonomi bagi pelaku usaha,” kata Penny.
Apa Pentingnya Pelabelan BPA?
Masalah risiko kontaminasi BPA dalam kemasan pangan bukan cuma jadi perhatian Indonesia saja, tapi juga dunia. Sejak 2018, Uni Eropa menurunkan batas migrasi BPA dari semula 0,6 bpj menjadi 0,05 bpj. Sementara itu, beberapa negara, diantaranya Prancis, Brazil, Negara Bagian Vermont, dan Distrik Columbia (Amerika Serikat), lebih keras lagi melarang penggunaan BPA pada kemasan pangan, termasuk AMDK.
Di Negara Bagian California (Amerika Serikat), BPA masuk dalam salah satu senyawa yang diatur dalam daftar Proposition 65 (Peraturan Negara Bagian California). Artinya produk yang berisiko terdapat migrasi BPA harus mencantumkan peringatan pada label kemasan dan pada ritel atau rak penjualan.
Sebagian dari Anda mungkin bertanya-tanya, mengapa kemasan makanan dan minuman itu mesti mencantumkan label penanda bebas BPA. Senyawa ini mesti dihindari karena berisiko menyebabkan masalah kesehatan. BPA merupakan bahan untuk mengeraskan plastik sehingga banyak terdapat di perangkat medis, botol air, cakram padat, sealant gigi, lapisan makanan, dan minuman kaleng.
“Pada kondisi tertentu BPA dapat bermigrasi dari kemasan plastik PC ke dalam air yang dikemasnya,” kata Penny.
Pada 2008, pemberitaan masif tentang BPA membikin penjualan botol minum bebas BPA selalu ludes di pasaran. Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika (FDA) menyatakan beberapa efek negatif BPA, termasuk gangguan hormon. Sejauh ini, penelitian tentang BPA masih seputar uji coba terhadap hewan.
Namun, peneliti menyimpulkan bahan kimia tersebut dapat bertindak menyerupai hormon estrogen sehingga dapat mengganggu kadar hormon normal, menghambat otak, perilaku, serta perkembangan janin, bayi, dan anak-anak. Kelompok tersebut merupakan objek paling rentan terkena paparan BPA karena tubuh mereka masih berkembang dan belum bisa maksimal menghilangkan zat asing dari sistem tubuh.
“Kanker, penyakit jantung, obesitas, diabetes, ADHD disinyalir menjadi risiko lain yang perlu diwaspadai dari BPA,” tulis laman WebMD.
Studi biomonitoring The Environmental Working Group (EWG) terhadap bayi baru lahir menemukan BPA pada 9 dari 10 sampel. Artinya bayi bisa jadi terpapar BPA saat berada di dalam kandungan. Sementara itu, tes pada hewan mendapati pengaruh BPA dapat membikin sistem reproduksi tidak normal, kapasitas intelektual berkurang, pubertas dini, resistensi kemoterapi, gangguan asma, dan sistem kardiovaskular.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi