Menuju konten utama
Decode

Urgensi Edukasi Tepat Sasaran agar Gen Z Melek Keuangan

Dari program literasi dan edukasi keuangan yang ada saat ini, materi serta metode penyampaiannya kurang sesuai dengan kebutuhan anak muda di Indonesia.

Urgensi Edukasi Tepat Sasaran agar Gen Z Melek Keuangan
PERIKSA DATA DECODE Literasi Keuangan Gen Z Rendah, Tanggung Jawab Semua Pihak. tirto.id/Fuad

tirto.id - Kaum muda, terutama Generasi Z (kelahiran 1997 hingga 2012) mendominasi populasi Indonesia saat ini, sebesar 26,46 persen. Stereotip dan sentilan yang kerap diasosiasikan kepada demografi ini adalah generasi yang "malas". Namun, pada kenyataannya apakah "kemalasan" ini juga dibentuk oleh sistem-sistem yang tidak memahami dan mengakomodasi kebutuhan khas mereka? Di sektor keuangan misalnya, kaum muda memiliki keterbatasan akses ke layanan dan produk keuangan. Mengutip laporan Youth Finsights 2.0, pada tahun 2020, tercatat 61,8 persen populasi penduduk muda punya rekening di lembaga keuangan formal, termasuk bank. Namun, survei lanjutan menunjukkan kalau tingkat transaksi yang dilakukan masih rendah, sementara penggunaan layanan di luar rekening tabungan juga masih terbatas.

Survei Youth Finsights 2.0 ini, yang melibatkan 2.182 orang anak muda usia antara 15-29 tahun, juga menunjukkan bahwa meskipun 89 persen anak muda punya rekening bank, yang rutin menabung hanya 73,7 persen.

Lebih jauh, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dalam dokumen Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (SNLIK) 2021-2025, juga menunjukkan adanya kesenjangan literasi keuangan antar kelompok umur. Berdasarkan SNLIK 2019, indeks literasi keuangan kelompok usia 15-17 tahun hanya mencapai 15,92 persen, sementara kelompok 18-25 tahun sebesar 44,04 persen dan 26-35 tahun sebesar 47,98 persen.

Meskipun angka tersebut menunjukkan peningkatan dibandingkan periode SNLIK 2016, indeks literasi keuangan kelompok usia muda secara keseluruhan masih tergolong rendah.

Lebih jauh lagi, Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLKI) yang dilakukan OJK pada tahun 2022, juga menunjukkan indeks literasi dan inklusi keuangan pelajar masing-masing sebesar 47,56 persen dan 77,80 persen. Angka ini jauh di bawah indeks literasi dan inklusi keuangan secara nasional, yaitu sebesar 49,68 persen dan 85,10 persen.

Hal ini menandakan bahwa banyak pelajar yang menggunakan produk keuangan tetapi belum memahami produk tersebut. Akibatnya, mereka rentan terjebak dalam layanan keuangan ilegal atau menggunakan layanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan keuangan mereka.

Hadi, misalnya, seorang mahasiswa tingkat akhir di salah satu universitas kenamaan di Jawa Barat, pernah terjebak pinjaman online (pinjol). Tergiur dengan kemudahan mendapatkan uang cepat dari aplikasi, pria berusia 21 tahun ini mengajukan pinjaman online senilai ratusan ribu hingga Rp2 juta dalam kurun waktu November 2022 hingga Juli 2023.

“Awalnya iseng-iseng, lalu saat merasakan kemudahan dapat uangnya. Nah, pas kondisi bokek banget, jadi terpikir ke situ. Mulai dari situ lah jadi gak sehatnya, karena ketergantungan,” katanya kepada Tirto, Rabu (12/6/2024).

Celakanya, ia mengaku uang yang dia dapat kebanyakan dihabiskan untuk hal-hal bersifat impulsif seperti untuk nongkrong dan bermain. Tunggakan pinjaman yang akhirnya harus ditanggungnya membuatnya kapok, katanya.

Kasus seperti Hadi juga bukan kasus unik. Data Statistik Fintech Lending Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memaparkan, pengguna jasa pinjaman online kebanyakan datang dari kelompok anak muda, khususnya usia 19-34 tahun, yang mencakup sebagian Milenial (lahir 1981-1996) dan Gen Z (lahir 1997-2012).

Per Maret 2024, terdapat lebih dari 9,1 juta rekening penerima pinjaman aktif dari kelompok usia 19-34 tahun dengan total pinjaman mencapai Rp28,8 triliun.

Meskipun jumlahnya cenderung kecil, pengguna pinjol dari kelompok usia di bawah 19 tahun juga menunjukkan peningkatan. Pada Maret 2023, tercatat ada sekitar 70 ribu rekening penerima pinjaman pinjol dari kelompok usia muda ini, dengan total pinjaman Rp132 miliar. Jumlahnya naik menjadi lebih dari 90 ribu rekening peminjam ke Maret 2024, dengan total pinjaman Rp211 miliar.

Keunikan Gen Z dan Pentingnya Literasi Keuangan untuk Mereka

Kondisi ini menunjukkan adanya urgensi untuk mendorong literasi keuangan di kalangan anak muda. Bagaimana tidak, berdasar hasil Sensus Penduduk 2020, Gen Z dan Milenial menjadi dua kelompok usia yang paling dominan.

Dari 270,2 juta jiwa warga Indonesia yang tercatat dalam Sensus, sekitar 71,5 juta di antaranya adalah Gen Z. Jumlah ini setara dengan 26,46 persen komposisi penduduk Indonesia. Di bawahnya ada kelompok Milenial dengan jumlah 69,7 juta jiwa, setara dengan 25,8 persen populasi.

Vitasari Anggraeni, Direktur untuk Kebijakan Asia Tenggara Women’s World Banking (WWB), juga menekankan pentingnya peran Gen Z dalam menggerakkan ekonomi. Karenanya, ada urgensi peningkatan literasi dan inklusi keuangan di segmen ini.

“Segmen anak muda ini penting karena bagaimanapun mereka generasi yang akan menjadi (dan sudah ada juga) yang menjadi angkatan kerja yang produktif. Kemudian juga mereka jadi mayoritas jumlah penduduk di Indonesia yang akan menggerakan ekonomi, jadi penting meningkatkan literasi dan inklusi keuangan di kalangan anak muda,” tutur Vita saat wawancara dengan Tirto, Rabu (12/6/2024).

Merujuk ke data BPS Soal Angkatan Kerja di Indonesia, per Februari 2024, terdapat 5,8 juta angkatan kerja dari kelompok umur 15-19 tahun dan 16,2 juta angkatan kerja dari kelompok usia 20-24 tahun. Dengan total angkatan kerja sebesar 149,4 juta, artinya sekitar 14,75 persen angkatan kerja di Indonesia adalah Gen Z (belum termasuk mereka yang berusia 25-27 tahun pada tahun 2024 dan masuk kelompok usia ini).

Di sisi lain BPS juga merilis data terkait penduduk usia muda (15-24 tahun), yang masuk kategori Gen Z, yang berstatus tanpa kegiatan (Not in Employment, Education, and Training/NEET) alias menganggur. Menurut laporan BPS, pada tahun 2023 jumlahnya mencapai 9,89 juta atau setara dengan 22,25 persen dari 44,47 juta penduduk di kisaran usia 15-24 tahun.

Sementara itu, Gen Z yang sudah memasuki dunia kerja pun tak lepas dari masalah finansial. Dalam Indonesia Gen Z Report 2024 yang diterbitkan IDN Research Institute, terpotret spektrum keuangan yang lebar menyangkut pendapatan kelompok usia muda ini. Survei yang melibatkan sekitar 600 responden dari 10 kota besar di Indonesia itu menunjukkan adanya kesenjangan pendapatan yang mencolok di kelompok Gen Z.

Mayoritas Gen Z, atau 56 persen dari responden survei, mengaku pendapatan bulanan mereka di bawah Rp 2,5 juta. Sementara 26 persen melaporkan pendapatan mereka antara Rp2,5 juta hingga Rp5 juta/bulan. Hanya ada 3 persen yang melaporkan pendapatan di kisaran Rp10 juta hingga Rp30 juta per bulan.

Temuan ini juga sejalan dengan data BPS yang menunjukkan rata-rata gaji pekerja di sektor formal sekitar Rp3,2 juta dari berbagai sektor. Kelompok umur 15-19 tahun dan 20-24 tahun, yang merupakan Gen Z, rata-rata gaji bersihnya dalam sebulan sekitar Rp1,8 juta dan Rp2,4 juta.

Dengan jumlah gaji ini, Indonesia Gen Z Report 2024 juga merekam, mayoritas Gen Z di Indonesia menghabiskan pendapatannya untuk kebutuhan dasar. Kebanyakan responden hanya bisa menyisihkan kurang dari 10 persen untuk biaya kesehatan dan asuransi. Sama halnya dengan pengembangan diri dan rekreasi, sekitar 40 persen responden mengaku hanya bisa menyisihkan kurang dari 10 persen pendapatan mereka untuk hal-hal tersebut.

Kabar baiknya, kebanyakan Gen Z masih menabung untuk pendidikan mereka, membangun bisnis, dan membeli rumah. Tren ini mencerminkan kesadaran Gen Z akan pentingnya pendidikan tinggi dalam upaya meningkatkan karier. Hal ini terkait dengan ketatnya persaingan pasar kerja akibat pandemi dan teknologi yang terus berkembang.

Laporan tersebut juga menyoroti penggunaan layanan Paylater yang kian umum di kalangan Gen Z. Terkait hal ini, Tirto juga sempat melakukan survei mandiri bersama Jakpat, yang menunjukkan bahwa sekitar 2 dari 3 responden setidaknya pernah memakai layanan ini. Jumlahnya pun cenderung seimbang antargenerasi.

Laporan ini juga menyebut adanya ketertarikan kuat Gen Z terhadap influencer yang memiliki kemiripan ketertarikan dan usia dengan mereka. Influencer ini yang kemudian mempengaruhi preferensi Gen Z dalam memilih produk ataupun membuat keputusan finansial lainnya.

Data dan temuan tersebut bisa menunjukkan keunikan serta kondisi finansial Gen Z di Indonesia. Terlihat dalam beberapa aspek, memang masih sangat penting untuk mendorong peningkatan kemampuan tata kelola keuangan mereka. Pengenalan produk keuangan sejak dini akan membantu kaum muda mencapai tujuan-tujuan hidup utama, seperti menyelesaikan pendidikan, mendapatkan pekerjaan, melanjutkan karier, memulai bisnis, menikah, dan berkeluarga.

Pendekatan Tingkatkan Inklusi dan Literasi Keuangan Gen Z Belum Pas

Menurut Vita dari WWB, sebenarnya sudah banyak program literasi dan edukasi keuangan yang diinisiasi oleh lembaga pemerintahan, lembaga masyarakat, maupun oleh lembaga keuangan dan perbankan. Namun, menurut dia materi serta metode penyampaiannya kurang sesuai dengan kebutuhan anak muda di Indonesia.

“Pertama-tama, kita perlu bertanya, apakah literasi dan edukasi keuangan telah dirancang dan disesuaikan dengan kebutuhan dan perilaku anak muda? Kedua, bagaimana peran lembaga keuangan untuk membangun literasi dan edukasi anak muda? Bahan ajar baik berupa buku maupun kelas-kelas pelatihan sebenarnya sudah banyak, namun agar lebih efektif, kita perlu mencari dan menguji cara-cara baru yang tepat untuk menyasar anak muda. Ini mencakup sisi penyampaian, konten, saluran, siapa yang kiranya tepat untuk menyampaikan pesan-pesan ini,” katanya.

Dia menambahkan bahwa penggunaan perangkat digital juga bisa efektif untuk menjangkau kelompok muda yang interaksi kesehariannya memang sudah dekat dengan teknologi.

Dari sisi pemerintah, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, mengungkap bahwa sedari awal lembaganya menempatkan generasi muda sebagai salah satu kelompok sasaran prioritas dalam Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (SNLKI) 2021.

Senada, dengan apa yang diungkap Vita dari WWB, Friderica menyinggung, bahwa generasi muda saat ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan generasi sebelumnya, salah satunya adalah familiaritas Gen Z dengan teknologi.

Atas dasar hal tersebut, OJK sendiri menyiapkan beberapa strategi khusus yang menyesuaikan dengan karakteristik generasi muda dalam meningkatkan literasi dan keterampilan keuangan, salah satunya dengan meluncurkan Learning Management System Edukasi Keuangan (LMSKU) yang berbasis online sebagai sarana edukasi keuangan bagi generasi muda.

Untuk diketahui, LMSKU merupakan sistem pembelajaran daring berbasis Massive Open Online Course (MOOC) dengan berbagai materi literasi keuangan yang dikemas secara menarik dan dapat diakses masyarakat Indonesia secara gratis.

“LMSKU memuat 11 modul level basic dan 4 modul level intermediate termasuk lima modul yang ramah disabilitas,” kata Friderica kepada Tirto, Rabu (12/6/2024).

Sampai dengan 31 Mei 2024, LMSKU telah diakses oleh 50.253 pengguna yang mayoritas berasal dari segmen pelajar dan mahasiswa dan telah menerbitkan 44.848 sertifikat kelulusan.

Selain melakukan strategi edukasi keuangan dengan pendekatan berbasis teknologi daring, OJK juga terus menggalakkan edukasi keuangan kepada generasi muda secara luring/offline, terutama melalui institusi pendidikan.

Salah satu strategi yang dilakukan adalah dengan cara berkolaborasi dengan sejumlah pemangku kepentingan terkait seperti kementerian/lembaga, pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) dan institusi pendidikan dalam membuat materi edukasi keuangan mulai dari tingkat PAUD hingga Perguruan Tinggi.

Sebelumnya, sebagai upaya peningkatan literasi dan inklusi keuangan bagi kelompok pelajar, OJK juga telah menginisiasi Program Satu Rekening Satu Pelajar (KEJAR) yang mendorong kepemilikan rekening bank oleh pelajar di Indonesia.

Melalui program ini, berbagai strategi dilakukan untuk mengakselerasi kepemilikan rekening pelajar di antaranya adalah Digitalisasi Tabungan Anak, yaitu pembukaan rekening segmentasi anak secara digital. Per triwulan I 2024, sebanyak 527 bank telah berpartisipasi di program ini, sementara ada 57,05 juta pelajar yang tercatat telah memiliki rekening, dari 64,72 juta di seluruh Indonesia.

Upaya untuk meningkatkan literasi dan keterampilan keuangan kelompok muda, juga dilakukan oleh Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH). Diketahui, edukasi dan literasi keuangan merupakan salah satu pilar dari asosiasi yang berperan sebagai wadah bagi penyelenggara fintech di Indonesia tersebut, sejak pendiriannya tahun 2016 lalu.

Berbeda dengan OJK yang menggunakan strategi pendekatan berbasis daring, AFTECH sendiri memiliki strategi khusus untuk lebih menjangkau kelompok muda dalam hal peningkatan literasi dan inklusi keuangan, yaitu dengan cara pembentukan komunitas fintech yang disebut dengan Indonesian Fintech Youth Community (INFINITY).

Komunitas yang sedari awal fokus menyasar kalangan kelompok Gen Z dan Milenial muda tersebut, bertujuan untuk meningkatkan pemahaman akan manfaat dan risiko dari layanan keuangan digital serta mempersiapkan mereka sebagai talenta digital di industri fintech Indonesia.

Saat ini, AFTECH sendiri telah bermitra dengan civitas akademika dan kelompok mahasiswa di sejumlah kampus, termasuk Universitas Indonesia (UI), Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Prasetya Mulya dan Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) untuk menjalankan program INFINITY.

Dalam hal peningkatan literasi dan inklusi keuangan di kalangan Gen Z, AFTECH juga berpendapat bahwa kerja bersama dari sejumlah pihak seperti pelaku industri, asosiasi, dan regulator, amat dibutuhkan untuk menjangkau target audiens lebih luas.

Khusus bagi industri, AFTECH menilai peran industri keuangan harus lebih adaptif dalam merespons kebutuhan layanan keuangan digital dari kelompok muda, serta melakukan pendekatan yang sesuai dengan tren di kelompok mereka.

Saat ini, salah satu bentuk kolaborasi yang dilakukan pemerintah, penyedia layanan jasa keuangan dan organisasi masyarakat dalam hal meningkatkan literasi dan keterampilan keuangan kaum muda adalah dengan pembentukan Hub Advokasi Inklusi Keuangan Digital Keuangan Perempuan (IKDP) .

Hub yang diinisiasi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Women’s World Banking (WWB) ini merupakan sebuah platform yang bertujuan untuk mendorong inklusi keuangan indonesia secara keseluruhan termasuk inklusi keuangan bagi perempuan dan generasi muda.

Vita dari WWB mengungkap, Hub ini berperan sebagai wadah untuk mengumpulkan beragam isu literasi dan inklusi keuangan dari kalangan perempuan dan anak muda termasuk Gen Z. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dalam Hub tersebut juga terdapat sejumlah pemegang kepentingan seperti penyedia jasa keuangan yang dapat mengadvokasi langsung masukan dan saran.

Secara teknis, ia menjelaskan bahwa salah satu kegiatan dari Hub itu adalah memberi hibah ke organisasi masyarakat sipil yang menyasar pemuda untuk memberikan akses terkait advokasi kebijakan dan praktik inklusi keuangan digital. Lembaga masyarakat tersebut nantinya akan menciptakan tools yang dapat digunakan untuk melakukan edukasi keuangan ke kalangan muda.

“Organisasi masyarakat sipil ini bisa menjaring suara dan aspirasi kaum muda terkait literasi keuangan dan memberikan pelatihan yang sesuai untuk mereka. Organisasi ini juga tergabung dalam Hub Advokasi yang juga beranggotakan lembaga keuangan, baik bank maupun fintech. Di wadah inilah, isu keuangan anak muda bisa langsung dibahas dan dicari solusi konkretnya, misalnya melalui kolaborasi kegiatan pelatihan,” tutup Vita.

==

Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.

Baca juga artikel terkait DECODE atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar & Alfons Yoshio Hartanto

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Alfitra Akbar & Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Farida Susanty