tirto.id - Polisi menangkap seorang perempuan muda karena tuduhan telah membunuh sahabatnya di Indonesia. Untuk membuktikan tuduhan tersebut, polisi Australia diminta "membongkar laci" data-data terkait tindak tanduk si tersangka selama tinggal di Negeri Kanguru tersebut.
Beberapa catatan kriminal perempuan muda itu dibuka di depan publik pada sebuah persidangan yang jadi sorotan masyarakat. Ini merupakan salah satu perjalanan proses hukum Jessica Kumala Wongso yang berliku. Jessica terbukti membunuh sahabatnya, Wayan Mirna Salihin dengan racun sianida.
Kasus Jessica memang fenomenal, tapi setidaknya membuka mata publik bahwa negara seperti Australia sangat rapi menyimpan data-data kejahatan warganya. Terry Thomas, dalam bukunya berjudul Criminal Records: A Database for the Criminal Justice System and Beyond mengungkapkan bahwa awal mula catatan kejahatan terdokumentasi atau dikumpulkan dalam suatu database terjadi di masa Ratu Victoria berkuasa atas Kerajaan Inggris.
Awalnya, penguasa kala itu memulai dengan sistem database registrasi nasional atau sistem kependudukan. Lalu dimulai pada 1869, sistem tersebut dikembangkan untuk mengumpulkan catatan kejahatan atau kriminal dalam suatu database. Tentu, di masa itu, teknologi komputer canggih seperti yang sekarang kita kenal, belum tersedia. Database kejahatan kala itu merupakan arsip kejahatan yang disusun rapi secara manual.
Lebih jauh dari itu, sesuatu yang mirip dengan database kejahatan oleh publik sudah ada setidaknya pada 1751. Henry Fielding, seorang penulis fiksi berjudul “Tom Jones” dan karya non-fiksinya berjudul “An Enquiry into the Causes of the Late Increase in Robbers”, kala itu di wilayah Bow Street, ia mengoleksi kumpulan informasi kejahatan.
Kini, catatan kejahatan merupakan sesuatu yang lazim ditemui. Polisi atau otoritas yang berwenang, mengumpulkan segala informasi kriminal atas warganya untuk berbagai keperluan. Catatan kriminal, dikumpulkan pada suatu database yang dibuat khusus. Menggunakan teknik pengarsipan yang disusun rapi, jelas bukan pilihan yang baik manakala teknologi yang canggih seperti saat ini, telah tersedia. Terutama untuk negara seperti Amerika Serikat dan berbagai negara-negara maju lainnya.
Di Eropa, terdapat sistem komputer bernama ECRIS atau European Criminal Recode Information System. Sistem tersebut, dibangun pada 2012 yang dapat dimanfaatkan untuk pertukaran informasi bagi negara-negara anggota Uni Eropa. ECRIS merupakan sistem bertipe desentralisasi. Artinya, masing-masing negara anggota, memiliki database bagi warganya sendiri. Jika salah satu negara anggota membutuhkan informasi dari negara lainnya, negara tersebut harus mengajukan permintaan terlebih dahulu, dan barulah memperoleh akses untuk meraih informasi.
Di Amerika Serikat, mereka memiliki suatu program bernama The Uniform Crime Reporting atau UCR. Program tersebut, lebih bisa disebut sebagai database kejahatan dengan berbagai tujuan. Program UCR dimulai pada 1929 yang pada mulanya, ditujukan untuk membuat statistik kriminal secara nasional. Kemudian pada 1930, FBI melalui program tersebut, melakukan pengumpulan data, publikasi, pengarsipan, hingga publikasi media. Database kejahatan seperti yang dimiliki Amerika Serikat, memanfaatkan suatu sistem database yang cukup canggih.
Selain itu, bagi Amerika Serikat, salah satu indikasi bahwa catatan kejahatan kini menggunakan database yang dibangun dengan sistem komputer yang cukup canggih, setidaknya bisa dilihat melalui bagaimana FBI atau Biro Intelijen Federal Amerika Serikat yang membuat sebuah mesin pencari atas dokumen-dokumen yang buah dari pekerjaan FBI selama hampir 5 dekade. Mesin pencarian tersebut, membuat 930.000 dokumen dengan lebih dari 12 juta halaman bisa diakses dengan mudah secara online.
Diketahui bahwa FBI, sejak 2001 telah menggunakan sebuah sistem komputer yang memiliki fitur “full-text searchable” yang diberi nama CREST atau CIA Record Search Tool. Sistem komputer tersebut, ditempatkan oleh CIA di salah satu markas mereka di Maryland.
Selain itu, karena semakin kompleksnya informasi pribadi, seperti informasi biometri juga memanfaatkan teknologi untuk mencatat berbagai informasi kependudukan termasuk di dalamnya juga termuat perihal catatan kriminal.
Center for Privacy & Technology, Georgetown University Law School, diwartakan Wired, melaporkan bahwa otoritas Amerika Serikat, dalam hal ini kepolisian, memiliki data pengenal wajah warga negaranya. Laporan tersebut, mengklaim bahwa terdapat 117 juta warga Amerika Serikat yang terdata dalam database tersebut. Angka tersebut, sama dengan setengah populasi warga negara usia dewasa Amerika Serikat. Database pengenal wajah tersebut, bisa dicocokan dengan database foto yang tercatat dalam surat izin mengemudi.
Alvaro Bedoya, direktur eksekutif Center for Privacy & Technology mengungkapkan teknologi rekaman wajah dapat membuat polisi bisa mengidentifikasi kamu dari jarak jauh dan dengan diam-diam, bahkan tanpa perlu bertemu dengan orangnya langsung.
Database pengenal wajah, digunakan oleh otoritas kepolisian untuk berbagai permasalahan kasus kriminal. Misalnya mencari seseorang yang diduga telah berbuat kejahatan seperti pembunuhan, perampokan atau kejahatan-kejahatan lainnya.
Amerika Serikat, seperti dalam film Jason Bourne, juga memiliki teknologi “real-time facial recognition”. Artinya, kepolisian di negeri yang dipimpin Donald Trump tersebut, bisa melacak siapapun, khususnya penjahat, melalui video live-feed seperti webcam atau CCTV. Laporan dari Center for Privacy & Technology menyebut, teknologi tersebut telah digunakan di lima departemen kepolisian di kota-kota besar seperti Los Angeles.
Selain itu, diketahui pula bahwa militer Amerika Serikat, memiliki database jutaan warga Irak selepas negeri adikuasa tersebut, mengendalikan negeri tersebut. Amerika Serikat, memiliki database biometri seperti sidik jari, retina, dan data biometri lainnya.
Bagaimana teknis database kejahatan tersebut? Sesungguhnya, tidak ada informasi pasti sistem komputer seperti apa yang dipergunakan sebagai wadah bagi database kejahatan. Tapi, database kejahatan mirip seperti database lainnya. Kecuali masalah pengamanan database itu sendiri.
Perusahaan-perusahaan teknologi raksasa seperti Google, juga memiliki database yang memuat informasi-informasi penggunanya. Google, menggunakan suatu database yang diberi nama Spanner. Spanner merupakan database global. Yang dimaksud database global adalah database yang dirancang untuk menyimpan (dan juga menampilkan) database dengan memanfaatkan jutaan mesin dari berbagai data center yang berada di banyak negara. Spanner milik Google, menjadi basis kekuatan bagi layanan-layanan milik Google seperti Search, Gmail, Maps, dan berbagai layanan lainnya.
Database Spanner milik Google, dirancang untuk dapat beroperasi dengan baik, meskipun terdapat banyak mesin yang ditempatkan di data center yang berjauhan. Mesin yang berjauhan, terutama lintas benua, akan mengganggu singkronitas antara mesin-mesin tersebut.
Untuk membuat database Spanner berjalan mulus, Google membuat API atau Aplication Programming Interface, atau dalam bahasa sederhana, API merupakan sistem yang menggarisbawahi bagaimana sebuah perangkat lunak berinteraksi, bernama TrueTime. TrueTime, memanfaatkan jam atom dan GPS untuk mensinkronisasi antarmesin Spanner yang ada di berbagai belahan dunia. Dengan hal demikian, sistem yang berjalan mulus bisa dicapai.
Pada akhirnya, dengan kemampuan database yang canggih tersebut, pengguna internet bisa melakukan berbagai hal di layanan milik Google dengan mulus. Data dari Internet Live Stats mencatat, terdapat 3,5 miliar pencarian per hari atau 1,2 triliun pencarian per tahun pada layanan Google Search. Hal tersebut bisa dicapai karena keandalan database yang dimiliki Google.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra