tirto.id - Per 1 Juli kemarin, berdasarkan data Dinas Kesehatan Jawa Timur, nyaris 1.000 warga Pacitan mengidap Hepatitis A. Penyebaran penyakit yang menyerang organ hati dan dapat menular melalui makanan dan minuman ini sangat cepat karena kasusnya baru pertama kali diketahui pada 28 Mei. Pemerintah lantas menetapkan kasus ini sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono menduga ada dua sumber penularan: makanan yang terkontaminasi virus dan sumber air yang tercemar. Sebagaimana dugaan, kata Anung, perlu dilakukan "analisis epidemiologi" lebih lanjut.
"Ini baru dugaan saja. Karena setelah diselidiki penyebaran kasus, warga terjangkit hepatitis usai makan es cincau," kata Anung usai konferensi pers di kantor Kemenkes, Jakarta Selatan, Senin (1/7/2019). Dia memastikan tim kesehatan dari kabupaten dan provinsi masih melakukan penyelidikan.
Sementara Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pacitan Eko Budiono mengatakan salah satu penyebab lain kenapa penyakit ini cepat menyebar adalah karena di wilayah itu tengah dilanda kekeringan selama beberapa bulan terakhir.
"Kekeringan telah menyebabkan pasokan air bersih berkurang," katanya.
Yang Dilakukan Dinas
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, Kohar Hari Santoso, menjelaskan beberapa hal yang tengah mereka lakukan agar penyakit tak semakin menyebar, selain merawat para pasien. Pasien Hepatitis A kini ditangani di sembilan puskesmas, yaitu puskesmas di Sudimoro, Sukorejo, Ngadirojo, Wonokarto, Tulakan, Bubakan, Tegalombo, Arjosari, dan Ketrowonojoyo.
Salah satu upaya yang dimaksud adalah berkoordinasi dengan lembaga terkait.
"Pak Bupati (Indartato) sudah mengkoordinasikan unit terkait untuk sama-sama memperhatikan kebersihan lingkungan, kesiapan air, dan perbaikan sektor infrastruktur," kata Kohar kepada reporter Tirto, Rabu (3/6/2019).
Koordinasi dibutuhkan karena menurutnya titik mula penyakit itu dari sungai--yang sebenarnya bukan ranah kerja Dinas Kesehatan. Di aliran sungai dekat pemukiman warga terdampak ditemukan konsentrasi E. coli tinggi, kata Kohar, dan itu berasal dari feses manusia.
"Jadi kami melakukan pemeriksaan pada beberapa tempat. Kami mendapati ada kontaminasi dari sungai itu. Bukan pencemaran langsung dari virusnya, tapi ada penanda bahwa itu tercemar dari buangan air besarnya masyarakat."
Kohar bilang ada juga kemungkinan sumber penyakit berasal dari cincau, sebagaimana yang diungkap Kemenkes. Dia lantas mengatakan pemerintah akan mendorong agar para penjual lebih memperhatikan masalah kebersihan.
Dia juga mengatakan aparat akan mendorong masyarakat menerapkan pola hidup sehat, termasuk buang air besar pada jamban yang sehat, cuci tangan sebelum makan, dan memperhatikan tempat pembuangan sampah.
Bersamaan dengan itu, dinas juga membagikan desinfektan--bahan kimia pencegah infeksi dan pencemaran bakteri dan virus--ke warga di wilayah terdampak.
Kohar mengatakan dengan cara-cara tersebut saat ini keadaan sudah mulai bisa dikendalikan. Satu contoh: meski jumlah pasien terus bertambah, namun peningkatannya tidak signifikan.
"Kalau [status] KLB masih, tapi penambahannya [pasien] tidak signifikan, tidak seperti kemarin yang sekaligus 100, 50. Sekarang tambahnya cuma 10, tapi sudah ada kecenderungan untuk tidak ada penambahan lagi," akunya.
Tak Patuh
Peneliti dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Eva Rosita mengatakan jika benar medium penyebaran penyakit adalah makanan, maka itu bukti bahwa memang Pemkab Pacitan kerap abai terhadap masalah ini.
"Menelusuri pedagang saja sulit, bagaimana menelusuri kebenaran pencemaran penyakit?" kata Eva kepada reporter Tirto, Rabu (3/7/2019). "Padahal sudah ada regulasi yang mengatur higienitas jajanan yaitu di Kepmenkes 942/MENKES/SK/VII/2003 [PDF]," tegasnya.
Semestinya, kata Eva, pemerintah daerah bisa membuat mekanisme kontrol terhadap makanan atau minuman yang beredar. Ini bisa dilakukan dengan mendata pedagang, lalu memberi mereka stiker atau sejenisnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino