tirto.id - Dua dari 108 situs pembajak yang diblokir itu dimiliki oleh Solan. Solan tentu bukan nama sebenarnya. Ia menolak bercerita jika namanya disebutkan. Dua situs milik Solan menyediakan film-film bajakan.
Mengelola situs pembajak film tentu bukan pekerjaan utama Solan. Ia punya pekerjaan lain dan situs pembajak itu hanyalah sampingan.
Modal membuat situs pembajak, kata Solan, terbilang murah. Ia hanya perlu membayar $100 atau sekitar Rp1,3 juta per tahun. Itu untuk biaya domain dan hosting. Selebihnya, hanya biaya operasional untuk internet.
Dari bisnis itu, Solan bisa mendapat $100 per hari. Dalam sebulan, penghasilannya dari situs pembajak yang dikelolanya menyentuh angka Rp39 juta. Itu karena Solan menjadikan bisnis itu hanya sampingan. Kalau ia fokus hanya mengerjakan itu, yang didapatnya bisa dua kali lipat.
Uang sebanyak itu didapatnya murni dari iklan dan Google adsense. Solan memang menyediakan film bajakan yang gratis untuk diunduh. Jadi dia tak mendapat uang apa-apa dari para pengunduh. Para pengunduh dan pecinta film bajakan ini hanya memberinya traffic kunjungan yang tinggi.
Kata Solan, modal awal dan pendapatan tiap situs tidaklah sama. Ia tergantung pada seberapa besar situs yang ia bangun. “Kalau pemain besar ya bisa dapat puluhan juta per hari,” teman Solan menimpali. Temannya ini juga ikut membantu Solan dalam mengurusi situs pembajak.
Sejak tahun lalu, Solan dan pengelola situs sejenis di Indonesia mulai tak tenang. Pada Agustus 2015, Kementerian Hukum dan HAM bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir situs-situs pembajak.
Awalnya, sebanyak 22 situs pembajak film diblokir. Tiga bulan kemudian, 22 situs pembajak musik dan lagu juga ikut diblokir. Sampai saat ini, ada 108 situs pelanggar hak cipta yang diblokir.
Jangan kira Solan dan kawan-kawannya hanya berdiam diri menghadapi pemblokiran itu. Ada banyak cara yang bisa ditempuh untuk mengelabui. Selain membuat situs bayangan atau yang biasa disebut “mirror”, bisa juga dengan mengganti domain.
“Saya pakai proxy. Misalnya buka 'semprot.com' pasti kena internet positif. Coba buka pakai '46.166.167.16' di browser. Pasti bisa. Intinya promoin proxynya web itu,” papar Solan.
Menurut pantauan tirto.id, dari 108 situs yang diblokir, sebanyak 56 situs telah mengganti domainnya dan masih bisa diakses. Pembajakan film tetap bisa dilakukan dengan sangat mudah.
Antisipasi pemerintah terhadap gonta-ganti domain ini sebenarnya sudah ditanyakan sejumlah wartawan pada konferensi pers yang digelar pada hari pemblokiran itu.
"Kalau mereka ganti domain, kami akan blokir lagi," jawab Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara santai.
Pertanyaan yang bisa muncul kemudian adalah: sampai kapan?
Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asiri) menyebutkan setiap harinya, ada sekitar 6 juta pengunduhan lagu dilakukan lewat situs-situs pembajak itu. Totok Widjojo, perwakilan dari Asiri mengatakan kerugian industri rekaman akibat pembajakan itu mencapai Rp6,6 miliar per bulan.
Dalam kesempatan yang berbeda, sekretaris Jendral Asosiasi Produser Film Indonesai (Aprofi) Fauzan Zidni mengatakan sejak maraknya pembajakan, produser film hanya menggantungkan pendapatannya pada bioskop. "Kalau dulu kami bisa jual CD/DVD ketika film sudah tidak tayang di bioskop, sekarang siapa yang mau beli?" ungkapnya.
Fauzan menjelaskan, beberapa produser juga mencoba mencari keuntungan lewat streaming. Tetapi maraknya situs pembajak film di dunia maya membuat penonton enggan membayar apa-apa yang bisa mereka peroleh dengan cuma-cuma.
Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah berkata begini, "Menonton di bioskop itu mahal, makanya banyak masyarakat Indonesia yang memilih membeli bajakan."
Pernyataan JK tampaknya ingin menjawab akar persoalan tentang mengapa orang-orang lebih memilih menonton film bajakan dibandingkan nonton di bioskop?
Di Jakarta saja, untuk menonton film di bioskop, kita harus merogoh kocek paling sedikit Rp30.000. Itu harga tiket di hari-hari kerja. Jika ingin menonton di akhir pekan, penonton harus rela membayar Rp50.000 untuk satu film.
"Masih banyak buruh yang penghasilannya mungkin Rp50.000 per hari. Tidak mungkin mereka bisa nonton di bioskop, jadilah mereka membeli film bajakan yang Rp7.000 saja," kata JK.
Dia juga mengkritik penyebaran bioskop yang hanya di kota-kota besar. Sementara sasaran penonton juga ada di seluruh pelosok negeri. "Mereka yang di kotanya tidak punya bioskop mau menonton di mana? Pilihan mereka ya hanya membeli film bajakan," ungkapnya.
Ucapan Jusuf Kalla cukup realistis dan masuk akal. Menutup situs-situs pembajak film akan jadi pekerjaan melelahkan yang sia-sia. Pemangku kebijakan—barang tentu wakil presiden termasuk di dalamnya - dan pelaku industri harus bersiasat agar persoalan ini selesai hingga ke akar.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti