Menuju konten utama

Undang-Undang Pemilu Harus Fasilitasi Difabel dan Perempuan

Heppy mengatakan bahwa UU Pemilu sebelumnya sudah secara tegas mengatakan pentingnya alat bantu bagi disabilitas, namun sayangnya, selama ini alat bantu tersebut belum secara menyeluruh diberikan kepada penyandang disabilitas, tetapi baru sekadar disabilitas tunanetra.

Undang-Undang Pemilu Harus Fasilitasi Difabel dan Perempuan
Sejumlah penyandang disabilitas mengikuti sosialisasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kepada kelompok difabel di Meulaboh, Aceh Barat, Aceh, Rabu (25/1). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas.

tirto.id - Ketua Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA Penca) Heppy Sebayang menyatakan ada beberapa hal yang masih perlu dikritisi dalam UU Pemilu, beberapa di antaranya yakni terkait pengaturan tentang persyaratan-persyaratan sebagai penyelenggara atau persyaratan pemilu. Ia berharap, UU Pemilu ke depan akan lebih baik dari UU pemilu sebelumnya.

Heppy mengatakan bahwa UU Pemilu sebelumnya sudah secara tegas mengatakan pentingnya alat bantu bagi disabilitas, namun sayangnya, selama ini alat bantu tersebut belum secara menyeluruh diberikan kepada penyandang disabilitas, tetapi baru sekadar disabilitas tunanetra.

“Kami ingin ada alat bantu untuk sosialisasi pemilu agar dapat juga dipahami (oleh penyendang disabilitas secara keseluruhan). Sehingga alat bantu yang kami usulkan adalah alat bantu yang sesuai dengan kebutuhan pemilih disabilitas dan hambatan-hambatan lain,” kata Heppy di kawasan Halimun, Jakarta Selatan, Jumat (19/5/2017).

Untuk itu, dia mengusulkan agar alat bantu tersebut masuk dalam penganggaran RUU Pemilu selanjutnya. Selama ini, kata dia, penyelanggara pemilu mengalami kesulitan untuk melakukan penganggaran terhadap kaum penyandang disabilitas sebab tidak memiliki data yang valid terkait jumlah penyandang disabilitas.

Salah satu kesulitan itu, kata dia, misalnya untuk percetakan alat coblos bagi tunanetra. Menurutnya, kesulitan tersebut disebabkan karena tidak adanya data yang lengkap, sehingga sulit pula untuk mereka mempertanggungjawabkan dan takut jika nantinya dana tersebut akan dikorupsi.

“Mereka kesulitan karena tidak ada data pendukung. Bahkan di daerah karena terkait dukungn anggaran daerah hampir tidak ada. Kami mengusulkan semacam pasal yang menegaskan bahwa kebutuhan-kebutuhan kelompok tertentu dianggarkan. Jadi secara spesifik tertuang di pasal termasuk kelompok-kelompok (yang memiliki) kebutuhan spesifik sehingga KPU tidak kesulitan menganggarkan,” tambah dia.

Selebihnya, ia mengusulkan agar Pansus memperjelas frase-frase yang multitafsir dalam peraturan pemilu seperti frase sehat jasmani dan rohani. Frase-frase tersebut, alangkah baiknya untuk ditambah dengan penjeasan yang lebih rinci sehingga bisa diterima oleh semua pihak.

Keterwakilan Perempuan

Selain penyandang disabilitas yang belum terakomodir, kehadiran perempuan juga dinilai sulit untuk masuk dalam UU Pemilu. Koordinator Aliansi Masyarakat Sipil untuk Perempuan Politik (Ansipol), Yuda Irlang mengatakan keterwakilan perempuan selalu sulit masuk dalam UU Pemilu.

Sebagai upaya penguatan keterwakilan perempuan di Pemilu 2019, Yuda mengaku sudah berulangkali meminta porsi sebanyak 30 persen perempuan di kursi nomor satu di seluruh daerah pemilihan (dapil).

Lebih lanjut, Yuda juga mengatakan bahwa selama ini syarat pemilih dalam penyelenggaraan pemilu melegitimasi anak perempuan di bawah umur untuk putus sekolah dan mendukung mereka untuk lekas berumah tangga.

Dalam undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Pasal 7 menyebutkan, Warga Negara Indonesia (WNI) yang pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 tahun atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih. Kemudian, pada Undang-Undang No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah Pasal 19 ayat 1 disebutkan warga negara Indoensia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.

Ia mengatakan aturan tersebut merupakan upaya legalisasi secara tidak langsung dan diskriminasi terhadap perempuan untuk putus sekolah, untuk menikmati hak dari negara mengenai pendidikan. Dan hal tersebut, lanjut dia, disepakati oleh UU pemilu.

Permasalahannya, lanjut dia, syarat pemilihan dalam UU Pemilu saling berbenturan dengan UU yang lain seperti UU Perlindungan Anak dan UU Perkawinan. Di UU Perkawinan, batas diperbolehkan kawin yakni pada usia 16 tahun, di KTP batasnya berusia 17 tahun, sedangkan di UU Perlindungan anak batasannya 18 tahun.

“Dalam UU Pemilu harus 17 tahun tanpa embel-embel sudah kawin atau pernah kawin,” ungkapnya.

Baca juga artikel terkait RUU PEMILU atau tulisan lainnya dari Chusnul Chotimah

tirto.id - Hukum
Reporter: Chusnul Chotimah
Penulis: Chusnul Chotimah
Editor: Alexander Haryanto