tirto.id - Twitter mengeluarkan sebuah kebijakan baru yang diumumkan pada Senin (19/8/2019) bahwa pihaknya tidak lagi menerima kerja sama iklan dari media berita yang dikontrol oleh pemerintah.
Langkah ini, Engadget melansir, dimulai karena media pemerintah Cina, Xinhua, membeli layanan iklan yang menampilkan video yang terindikasi menyerang demonstran di Hong Kong, yang sedang memperjuangkan demokrasi.
Hal tersebut disampaikan oleh Twitter melalui blog resminya. Akun-akun media pemerintahan masih bisa berinteraksi di Twitter seperti biasa, namun tidak dapat membeli layanan iklan untuk kepentingan apapun.
Dalam pernyataannya, Twitter juga menjelaskan apa yang diidentifikasi oleh perusahaan sebagai media pemerintah, yaitu media atau entitas yang dikontrol secara finansial maupun editorial oleh pemerintah.
Lebih lagi, tembusan informasi ini telah sampai ke akademisi dan tokoh-tokoh masyarakat dalam bidang teknologi dan informasi, seperti Indeks Kebebasan Pers, Reporters Without Borders, Freedom House, UNit Indeks Demokrasi Economic Intelligent, European Journalism Centre's Media Landscape Report, Komite Pelindung Jurnalis, dan bidang UNESCO yang mengawasi perkembangan dan independensi media.
Pihak perusahaan akan memberitahu entitas terdampak, dan mereka memiliki tenggat 30 hari sebelum aturan ini dijalankan dengan ketat. Berikutnya, tidak akan ada kampanye terselubung yang diiklankan lagi.
Dave Lee, salah seorang staf BBC menyatakan pendapatnya melalui akun Twitter-nya bahwa media-media yang bergantung pada pendanaan pemerintah dan dan tidak independen dari pemerintah bakal terdampak kebijakan ini, sehingga, menurutnya, Associated Press, British Broadcasting Corp (BBC), Public Broadcasting Service, dan National Public Radio (NPR) tidak termasuk di dalamnya.
Penetapan kebijakan ini dilakukan usai Twitter menemukan ratusan akun yang terafiliasi dengan Cina yang digunakan untuk menebarkan disinformasi politik terkait demonstrasi Hong Kong, yang selama kurang lebih 11 minggu berunjuk rasa di tempat-tempat umum untuk menolak kebijakan pemerintah pusat, yaitu Cina terhadap hak asasi mereka.
Xinhua dan Global Times (yang juga berporos pada pemerintah Cina) diduga memakai layanan iklan Twitter untuk membagikan informasi yang bersifat menyerang para demonstran di Hong Kong.
Media pemerintah acapkali menjadi sumber disinformasi, Techcrunch mewartakan, seperti halnya pada pemilu Rusia 2016 lalu, Twitter memblokir entitas media yang menyebarkan misinformasi terkait pemilu.
Pada Oktober 2017, Twitter kembali memblokir Russia Today dan Sputnik dari layanan iklan, meskipun perwakilan dari Rusia Today mengklaim bahwa Twitter meyakinkan mereka untuk menggunakan layanan iklan menjelang pemilu.
Penulis: Anggit Setiani Dayana
Editor: Ibnu Azis