tirto.id - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyentil sejumlah pemerintah daerah yang sengaja menurunkan performa testing COVID-19. Pernyataan ini menunjukkan bahwa testing masih menjadi masalah yang belum juga teratasi sejak awal masa pandemi, Maret tahun lalu.
“Banyak Forkopimda (forum komunikasi pimpinan daerah), karena mengejar hijau, [lantas] testing disedikitkan,” kata Budi, Selasa (18/5/2021).
Mantan Wakil Menteri BUMN itu memperingatkan sengaja menurunkan angka testing berbahaya terutama karena sejumlah varian virus SARS‑CoV‑2 yang lebih berbahaya sudah masuk ke Indonesia. Per Selasa 18 Mei 2021, sudah ada 10 sampel yang teridentifikasi terinfeksi varian B1617--yang mengganas di India. Selain itu, varian B117 yang mengganas di Inggris terdeteksi di 13 sampel warga negara Indonesia, varian B1525 terdeteksi sejak Januari lalu di Batam, dan varian B.1.351 terdeteksi di satu sampel warga asal Bali.
Budi memberikan gambaran bahwa satu orang terinfeksi virus SARS‑CoV‑2 varian Wuhan rata-rata hanya menulari 4 orang, tetapi satu orang yang terinfeksi varian baru bisa menulari hingga 50 orang.
Alih-alih mengejar status zona hijau, Budi menekankan tak masalah jika kasus tinggi akibat testing yang juga banyak. “Lebih baik kita lihat angkanya seperti apa, dan kita bisa lakukan perbaikan yang baik daripada nanti lengah, tidak terkontrol sehingga banyak rakyat kita yang wafat.”
Persoalan ini sudah disampaikan ke Presiden Joko Widodo dan jajaran kabinet. Ia berpesan agar daerah yang positivity rate-nya tinggi ditegur sebab artinya tes tidak berjalan dan banyak individu terinfeksi yang berkeliaran sehingga berpotensi menularkan virus ke orang lain.
Penelantaran Testing
Ketua Tim Mitigasi PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi sebetulnya telah mengungkap ada daerah yang bertindak demikian pada September tahun lalu. Pernyataan Budi membuktikan alih-alih membaik, “masalah testing ini sudah ditelantarkan dari skala prioritas penanganan wabah di daerah,” kata inisiator Pandemic Talks Kamil Mohammad kepada reporter Tirto, Selasa (18/5/2021).
Menurutnya rendahnya angka kasus yang dinikmati hari ini memang diakibatkan rendahnya tes di banyak daerah, hal itu terlihat dari positivity rate yang masih tinggi.
Di sisi lain, infrastruktur tes semestinya tak lagi jadi alasan daerah kedodoran mengejar target. Pasalnya, Kementerian Kesehatan sudah membolehkan penggunaan tes rapid antigen untuk diagnosis COVID-19 menggantikan PCR, terutama jika di daerah itu tak terdapat fasilitas pemeriksaan PCR.
Karenanya, harus didalami motif utama pemerintah daerah berlaku culas dengan mengakali kemampuan tes. Apakah sekadar untuk menghindari disemprot oleh Kementerian Dalam Negeri karena 'terbukti' bisa mengatasi pandemi dengan berstatus zona hijau, atau agar tak diwajibkan menjalankan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dari Kementerian Perekonomian, atau agar destinasi wisata bisa tetap dibuka sehingga ekonomi lokal bergerak.
“Kita sebagai bagian dari warga masyarakat harus memberi tekanan dan tuntutan yang tinggi justru kepada dinkes/pemda setempat karena selama ini selalu luput seolah terbeli dengan trik-trik zona hijau dan isu-isu di pusat atau daerah lain.”
Ada dua aspek yang harus diperhatikan untuk mendapat gambaran pandemi secara utuh di suatu wilayah. Pertama, tes harus dilakukan minimal terhadap 1 per 1.000 orang penduduk dalam kurun waktu satu minggu. Ketentuan ini telah dijadikan standar oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Artinya, Indonesia mestinya melakukan tes minimal terhadap 267 ribu penduduk dalam seminggu secara proporsional di seluruh wilayah.
Kedua adalah positivity rate atau rasio antara tes dengan jumlah kasus positif. WHO mengatakan ambang batas maksimalnya adalah 5 persen.
Epidemiolog asal Indonesia di Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan Indonesia tak pernah bisa memenuhi dua hal itu. Berdasarkan data Satgas Penanganan COVID-19, seminggu kemarin (10/5/2021-16/5/2021) Indonesia sudah melakukan tes PCR dan tes antigen terhadap 203.510 orang, masih di bawah standar WHO. Dari situ, Indonesia mendapati 26.066. kasus positif sehingga positivity rate seminggu terakhir adalah 12,8 persen atau lebih besar dari dua kali lipat dari batas maksimal WHO.
Masalah mengenai tes tak berhenti di sana. Jumlah tes COVID-19 di Indonesia masih didominasi oleh Jakarta. Pada 10-16 Mei 2021, Indonesia membukukan 203.510 tes dan 61.891 (30,4 persen) berasal dari Jakarta. Dengan demikian, jika angka nasional dikurangi angka dari Jakarta, maka positivity rate 33 provinsi lainnya adalah 15,89 persen atau melejit 3 persen.
Demikian pun pada seminggu sebelumnya. Sepanjang 3-9 Mei 2021, Indonesia membukukan 310.136 tes dan mendapati 36.410 kasus. Namun, dari jumlah tes tersebut, 95.295 (30,7 persen) berasal dari Jakarta. Jika angka tes dan kasus dari Jakarta disingkirkan dari rekapitulasi nasional, maka Indonesia mencatatkan positivity rate 14,5 persen atau hampir 3 kali lipat dari ambang batas WHO.
Berdasarkan situation report WHO, dalam 3 minggu sejak pertengahan April hingga awal Mei, hanya ada 3 daerah yang konsisten memenuhi standar tes 1 per 1.000 penduduk, antara lain DKI Jakarta, Yogyakarta, dan Sumatera Barat. Wilayah lainnya masih tak mampu memenuhi target itu kendati pandemi sudah berlangsung setahun dan pemerintah telah membolehkan penggunaan tes antigen untuk diagnosis COVID-19 menggantikan PCR jika di wilayah tersebut tidak ada laboratorium PCR.
Bahkan Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatera Selatan gagal memenuhi setengah standar tersebut. Di Sumatera Selatan, positivity rate bahkan mencapai 35 -55 persen, sementara di Jawa Barat positivity rate mencapai 20-30 persen akibat rendahnya angka tes, di Jawa Tengah masih fluktuatif antara 15-20 persen.
“Jadi yang terjadi di Indonesia dua-duanya enggak terpenuhi, secara skala penduduk dan secara eskalasi pandemi tidak terpenuhi, tapi tiba-tiba ditetapkan jadi zona hijau. Jadi salah kaprah dan tidak tepat,” katanya.
Ulah kepala daerah yang sengaja mengerem tes demi mendapat status zona hijau ibarat menggali lobang kubur sendiri. Di satu sisi, status zona hijau akan mendorong masyarakat abai pada pembatasan sosial dan pemerintah pun akan mulai mengambil langkah pengenduran. Padahal kenyataannya penurunan itu semu; penyebaran masih masif terjadi di tengah masyarakat.
Awalnya penularan terjadi di rumah-rumah. Lama kelamaan tingkat okupansi rumah sakit dan kematian meledak dan saat itu pemerintah baru sadar apa yang terjadi. Kondisi seperti itu yang terus terjadi setahun ini. Karenanya Indonesia tidak pernah bisa mengendalikan pandemi, bahkan jika negara lain sempat mengalami penurunan kasus, Indonesia tidak pernah beranjak dari gelombang pertama.
“Kita menggali kuburan sendiri, karena semakin banyak kasus terinfeksi semakin banyak tidak bisa ditemukan, maka pandeminya semakin tidak terkendali. Dan ini akan berkontribusi pada tingkat nasional juga. Pandemi, situasi krisis ini, tidak akan selesai-selesai dan malah siap meledak,” kata Dicky.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino