Menuju konten utama

Turbulensi Tanpa Henti Malaysia Airlines

Tahun 2014, adalah mimpi paling buruk bagi Malaysia Airlines. Dua kecelakaan yang menghantam penerbangan internasionalnya memperparah kondisi finansial Malaysia Airlines yang memang sudah mulai sakit sejak 2005. Kini, saat maskapai kebanggaan Malaysia itu ingin membalik keadaan, Sang CEO yang tadinya diandalkan bersiap angkat kaki.

Turbulensi Tanpa Henti Malaysia Airlines
Pesawat Malaysia Airline Boeing 777 dengan nomor pendaftaran 9M-MRO terbang di langit Polandia dalam arsip foto 5 Ferbuari 2014. ANTARA FOTO/REUTERS/Tomasz Bartkowiak

tirto.id - Dini hari 8 Maret 2014, pesawat Boeing 777 milik Malaysia Airline System Bhd (MAS) terbang dari Kuala Lumpur menuju Beijing, Cina. Setengah jam setelah lepas landas, pesawat masih baik-baik saja dan berada di rute yang seharusnya.

Pukul 1.19 dini hari, pesawat dengan nomor penerbangan MH 370 itu masih mengirim pesan ke menara pengawas. “Good night, Malaysian three seven zero,” ujar salah satu pilot. Dua menit berselang, pesawat berhenti mengirim sinyal ke menara, lalu mengubah arah, berbelok tajam ke kiri.

Radar di menara sempat mendeteksi pesawat bergerak ke Barat, kemudian berbelok lagi, tetapi tak jelas, ke Utara atau ke Selatan. Pesawat yang membawa 239 orang termasuk pilot dan awak kabin itu hilang.

Pencarian atas hilangnya pesawat ini berlangsung selama berbulan-bulan. Penyisiran dilakukan hingga ke lautan di sebelah Barat Australia. Tak tanggung-tanggung, perusahaan swasta ikut disewa untuk menyisir dasar laut seluas 55 ribu kilometer persegi. Hasilnya? Nihil.

Belum lagi misteri atas hilangnya MH 370 terjawab, Malaysia Airlines kembali kehilangan Boeing 777-nya pada Juli di tahun yang sama. Pesawat dengan nomor penerbangan MH 17 itu ditemukan jatuh di Ukraina saat terbang dari Amsterdam menuju Kuala Lumpur. Sebanyak 280 penumpang beserta 15 kru tewas. Setelah investigasi dilakukan, ditemukan fakta bahwa pesawat naas itu ditembak rudal milik Rusia.

Dua kecelakaan beruntun ini membuat Malaysia Airlines kehilangan kepercayaan dari konsumennya. Ini tentu memperparah kondisi finansial maskapai yang sudah terseok sejak 2005. Tahun 2005, MAS terkena dampak krisis ekonomi Asia. Sepanjang tahun itu, kerugian yang diderita mencapai 1,3 miliar ringgit atau sekitar Rp4 triliun. Itu adalah kerugian terbesar sepanjang sejarah perusahaan.

Agar kerugian tak kian dalam, MAS merancang Business Turnaround Plan pada Februari 2006. Dalam istilah bisnis, ini adalah langkah yang diambil ketika manajemen gagal membesarkan perusahaan sehingga perusahaan mengalami krisis berkepanjangan. Dengan Business Turnaround Plan, pemilik dan manajemen berusaha keras memutar arah organisasi. Rencana ini berhasil.

Tahun 2007, MAS mencatat laba senilai 851 juta ringgit. Sayangnya, efek obat itu tak bertahan lama. Tahun-tahun setelah 2007, kerugian kembali menjangkiti maskapai itu. Puncaknya adalah ketika dua kecelakaan itu, yang sialnya terjadi di tahun yang sama.

Akibat kecelakaan pertama di 2014, MAS mencatatkan kerugian hingga 443,4 juta ringgit pada kuartal pertama tahun itu. Pemberitaan bahwa sejumlah penerbangan MAS sepi penumpang, ramai di media massa dan media sosial. Dalam 12 tahun terakhir, total kerugian yang ditanggung mencapai 8,4 miliar ringgit atau sekitar Rp27,3 triliun.

Dililit utang, MAS melakukan restrukturisasi. Dalam proposal perdamaian yang ditawarkan, Induknya, Khazanah Nasional Berhad menawarkan membeli seluruh saham minoritas. Khazanah Nasional Berhad adalah induk dari MAS yang merupakan perusahaan investasi milik pemerintah Malaysia. Atas pembelian saham itu, MAS tak lagi melantai di bursa saham Malaysia sejak 31 Desember 2014.

Ganti Nama, Ganti CEO

Pada 1 September 2015, MAS berganti nama menjadi Malaysia Airlines Berhad. Branding yang dipakai pun bukan lagi MAS, tetapi MH—singkatan dari Malaysia Hospitality. Dalam promosinya, sisi keamanan begitu ditonjolkan sebab poin itu yang membuat maskapai ini kehilangan begitu banyak konsumennya.

Bukan cuma berganti nama, Christoph Mueller pun diangkat sebagai CEO. Mueller disebut-sebut sebagai pakar pemulih perusahaan penerbangan. Pada tahun 2009, Mueller pernah menjadi CEO maskapai Irlandia bernama Aer Lingus. Ia berhasil mengembalikan posisi perusahaan dari kondisi rugi besar menjadi mampu bersaing dengan maskapai bertarif murah.

“Saya ingin menekankan bahwa kami bukan lagi MAS yang sangat bermasalah. Kami adalah benar-benar baru, dengan visi yang juga baru,” kata Mueller saat penggantian CEO itu diumumkan. Ia juga menjanjikan, di bawah komandonya, Malaysia Airlines akan mencapai titik break even pada 2018.

Atas nama efisiensi, MAS memberhentikan 6.000 atau 30 persen dari total karyawannya. Pengurangan karyawan ini adalah salah satu dari rencana recovery. Rencana lainnnya adalah menargetkan untuk kembali melantai di bursa pada tiga hingga lima tahun setelah delisting. Mueller juga menargetkan perusahaan sudah bisa meraup keuntungan pada 2017 mendatang.

Belum lagi target-target itu tercapai, April lalu, Mueller mengumumkan pengunduran dirinya. Tak ada penjelasan yang pasti atas pengunduran diri ini. Ini tentu kabar buruk bagi Malaysia Airlines. Para analis menilai ini akan mengganggu proses pemulihan perusahaan. Padahal, beberapa rencana pemulihan telah berjalan lancar.

Mueller akan resmi angkat kaki dari maskapai yang sakit itu. Sampai saat ini, belum ada kabar siapa yang akan menggantikan posisinya. Di tangan Mueller, untuk pertama kalinya Malaysia Airlines meraup keuntungan bulanan pada Februari lalu. Daniel Wong, Analis HLIB Research menilai agak sulit mencari calon pengganti yang lebih layak dari Mueller.

Bagaimana nasib Malaysia Airlines setelah kepergian Mueller pada September nanti belum dapat dipastikan. Ini tentu tergantung pada siapa yang akan menggantikan posisinya. Yang jelas, ini akan sedikit menghambat proses pemulihan perusahaan. Ibarat pepatah, Malaysia Airlines ini sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Baca juga artikel terkait BISNIS atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti