tirto.id - Selama 10 tahun menjabat sebagai presiden, Susilo Bambang Yudhoyono menaikkan harga BBM empat kali—tiga kali ketika bersama Jusuf Kalla (2004-2009) dan satu kali ketika bersama Boediono (2009-2014). Sejurus dengan itu, tingkat popularitasnya menurun.
Lembaga Survei Indonesia menyebut ketika SBY menaikkan BBM pada 1 Maret 2005, popularitasnya turun jadi 65 persen, padahal angkanya masih 69 persen pada Desember 2004. Pada kenaikan harga bensin yang kedua, 24 Mei 2008, tingkat popularitas SBY kian turun jadi 45 persen pada Juni 2008, padahal tiga bulan sebelumnya masih terjaga di angka 53 persen. Tingkat popularitas tersebut jadi yang terendah selama SBY menjabat presiden pada periode pertama.
Pada 2013, ketika harga bensin dinaikkan untuk ketiga kalinya, Lingkaran Survei Indonesia menyebut 44,52 persen responden menyalahkan SBY, meski sebetulnya dia tak banyak tampil kala itu. Sementara yang menyalahkan DPR, lembaga yang sebetulnya memutus harga bensin naik atau tidak, cuma 26,03 persen.
Dari contoh tersebut, tak heran kalau Jokowi juga dianggap sedang menjaga popularitas ketika menjaga harga bensin tetap sama.
Rabu (10/10/2018) kemarin, pemerintah melalui Menteri ESDM Ignasius Jonan sebenarnya sudah mengumumkan kenaikan harga BBM jenis premium sekitar 7 persen. Untuk wilayah Jawa, Madura, dan Bali, harga premium naik dari Rp6.550 per liter menjadi Rp7.000. Sedangkan di luar itu dari Rp6.450 per liter menjadi Rp6.900.
Akan tetapi, hanya berselang beberapa jam, Kementerian BUMN memastikan harga premium batal naik. Pembatalan itu disampaikan Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno. Ia mengaku diminta menyampaikan itu oleh Menteri BUMN Rini Soemarno.
Peneliti politik dari The Political Literacy Adi Prayitno mengatakan Jokowi mengambil langkah yang tepat dengan menunda kenaikan harga jual premium, meski akhirnya dikritik karena dianggap tidak tegas dan tak mampu mengkoordinasi bawahannya.
"Tidak apa-apa dikritik mis-koordinasi, dikritik tidak sejalan dengan menterinya. Itu jauh lebih sedikit mudaratnya daripada berdiam diri. Kalau dinaikkan repot," kata Adi kepada Tirto, Kamis (11/10/2018).
Adi menilai Jokowi khawatir menaikkan premium karena beberapa hal, terutama jika itu jadi "peluru" bagi oposisi.
Saat ini sudah terdapat sejumlah isu yang dipakai oposisi untuk menyerang Jokowi: pertemuan tahunan IMF-World Bank yang dianggap memboroskan anggaran negara dan melemahnya rupiah hingga di angka lebih dari Rp15 ribu per dolar AS.
"Ini akan menjadi 'gorengan' yang maknyus dan mengandung banyak kolesterol," ucap Adi. "Memang tidak bisa dipungkiri ini ada alasan politis juga."
"Ini bisa menjadi kebijakan yang tidak populis," tegas Adi lagi.
Mengorbankan Pertamina
Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan harga bensin saat dolar AS terus menguat dan minyak dunia menunjukkan tren naik sebetulnya cukup berisiko. Ini mengingat kebutuhan konsumsi bensin dalam negeri lebih dari separuhnya dipenuhi dari impor yang berpengaruh pada defisit neraca perdagangan migas.
Saat rupiah terdepresiasi (melemah) di tengah harga minyak mentah dunia yang tinggi, maka keuangan Pertamina akan terbebani. Dugaan ini mendekati kenyataan, lantaran faktanya capaian laba bersih PT Pertamina (Persero) pada Semester I tahun ini juga masih jauh dari target.
Laba bersih Pertamina pada semester I/2018 tidak sampai Rp5 triliun, padahal Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2018 menargetkan laba bersih sebesar Rp32 triliun pada tahun ini.
Anggota Komisi VII DPR RI yang membidangi masalah ESDM Ramson Siagian mengatakan Jokowi tahu soal ini. Namun lagi-lagi, masalahnya adalah citra dan lebih memilih mengorbankan Pertamina.
"Presiden Jokowi ragu-ragu. Dia mestinya mau menaikkan harga premium, tapi mungkin khawatir terganggu pencitraannya, akhirnya dalam waktu dua jam dibatalkan kenaikannya," kata Ramson kepada Tirto.
Pendapat berbeda disampaikan Sekretaris Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf Amin Hasto Kristiyanto. Ia mengatakan keputusan Jokowi sudah tepat. Baginya, Jokowi lebih mengutamakan rakyat kecil dalam membuat keputusan tersebut.
"Premium bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak. Berbeda dengan pertamax yang lebih dikonsumsi oleh [pengguna] mobil-mobil mewah," tulis Hasto melalui keterangan tertulisnya.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino