tirto.id - PT Pertamina (Persero) resmi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM/bensin) nonsubsidi, seperti Pertamax Series dan Dex Series, serta Biosolar Non Public Service Obligation (PSO) mulai Rabu (10/10/2018). Keputusan ini diambil sebagai konsekuensi dari tren harga minyak mentah dunia yang naik dan dolar AS yang terus menguat hingga di atas level Rp15 ribu.
Vice President Corporate Communication Pertamina, Adiatma Sardjito mengatakan kurs rupiah yang melemah menekan keuangan perseroan saat harga minyak mentah dunia menembus level 80 dolar AS per barel. Angka itu sudah jauh melampaui patokan harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) dalam APBN sebesar 48 dolar AS.
Oleh karena itu, berdasarkan Permen ESDM Nomor 34 Tahun 2018 tentang Perubahan Kelima Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran BBM, Pertamina menetapkan penyesuaian harga untuk BBM nonsubsidi dan penugasan.
Kenaikan harganya bervariasi di sejumlah daerah. Sekadar contoh, di DKI Jakarta, misalnya, harga Pertamax naik menjadi Rp10.400/liter (sebelumnya Rp9.500 per liter). Sementara harga Pertamax Turbo naik menjadi Rp12.250 per liter (semula Rp10.700 per liter).
Daftar lengkap rincian harga BBM terbaru berdasar data resmi Pertamina bisa dilihat di sini.
Meski demikian, perusahaan pelat merah itu tidak menaikkan harga bensin jenis Pertalite dan Premium. Alasannya, berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 disebutkan, dalam rangka penyediaan dan pendistribusian BBM jenis tertentu, Menteri ESDM menetapkan harga dasar dan harga jual eceran BBM.
"Ada Perpres Nomor 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, Harga Jual Eceran BBM, maka yang menetapkan harga itu pemerintah, jadi kami menunggu keputusan dari pemerintah," kata Adiatma kepada Titro, Rabu (10/10/2018).
Adiatma mengatakan, kenaikan harga bensin jenis Premium bukan kesepakatan, tapi keputusan bulat dari pemerintah. Pertamina sebagai perusahaan BUMN sifatnya hanya melaksanakan keputusan harga yang ditetapkan pemerintah.
Pada Rabu sore (10/10/2018), pemerintah melalui Menteri ESDM Ignasius Jonan sebenarnya sudah mengumumkan kenaikan harga BBM jenis Premium sekitar 7 persen. Misalnya, untuk wilayah Jamali (Jawa, Madura, Bali), harga Premium naik dari Rp6.550 per liter menjadi Rp7.000. Sedangkan untuk di luar Jamali dari Rp6.450 per liter menjadi Rp6.900.
Akan tetapi, berselang sekitar sejam setelah Jonan berbicara kepada media, pengumuman tentang harga baru Premium itu diralat. Melalui pesan singkatnya kepada wartawan, Staf Khusus Menteri ESDM Hadi Juraid menyatakan kenaikan harga Premium ditunda. Menurut Hadi, rencana itu akan dibahas ulang sembari menunggu kesiapan Pertamina.
Setelah itu, pada Rabu malam, Kementerian BUMN memastikan harga premium batal naik per 10 Oktober. Pembatalan itu disampaikan Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno. Ia mengaku mendapat tugas dari Menteri BUMN Rini Soemarno untuk menyampaikan pembatalan itu.
Bagaimana dengan Keuangan Pertamina?
Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan harga bensin saat dolar terus menguat dan minyak dunia menunjukkan tren naik, memang cukup berisiko. Ini mengingat kebutuhan konsumsi bensin dalam negeri lebih dari separuhnya dipenuhi dari impor yang berpengaruh pada defisit neraca perdagangan migas.
Berdasarkan data BP Statistical Review of World Energy 2018, konsumsi minyak dalam negeri meningkat tajam, dari 1,56 juta barel per hari (bph) pada 2015 menjadi 1,65 juta bph pada 2017. Sementara produksi minyak dalam negeri berdasarkan data SKK Migas, tercatat hanya 786 ribu bph pada 2015 menjadi 801 rubu bph di tahun 2017.
Artinya, saat rupiah terdepresiasi (melemah) di tengah harga minyak mentah dunia yang tinggi, maka keuangan Pertamina akan terbebani. Hal ini pernah diakui Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada 6 September 2018.
"Di semester I/2018 enggak sampai Rp5 triliun [laba bersih], jadi jauhlah dengan prognosanya. Ini kan berubah terus ICP [acuan harga minyak mentah Indonesia], kursnya juga berubah," kata Fajar.
Harga minyak mentah dunia yang tinggi, kata Fajar, menjadi salah satu faktor penyebab laba Pertamina sangat tipis di semester I/2018. Akan tetapi, kata Fajar, ada kemungkinan perubahan laba Pertamina dalam RKAP 2018 dengan memasukkan tambahan subsidi BBM jenis Solar kepada Pertamina maksimal Rp2 ribu per liter.
Namun demikian, Adiatma mengklaim, Pertamina bisa menyiasati dampak dari menguatnya dolar di tengah harga minyak mentah dunia yang menunjukkan tren naik. Salah satunya, kata Adiatma, dengan produksi minyak mentah yang dihasilkan kilang Pertamina.
Selain itu, kata Adiatma, Pertamina juga telah menaikkan harga BBM nonsubsidi, seperti Pertamax Series dan Dex Series, serta Biosolar Non-PSO. Sementara, terkait harga BBM jenis solar yang merupakan BBM subsidi, pemerintah telah menaikkan subsidinya pada Juli lalu, dari Rp1.500 per liter menjadi Rp2 ribu per liter.
"Dolar naik kan enggak langsung terdampak, karena pembelian minyak impor itu oleh Pertamina rata-rata 3 bulan, jadi kami wait and see-lah situasinya. Balance-nya, saya belum punya angka hitungannya," kata Adiatma.
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmi Radhi mengatakan kenaikan harga minyak dunia dan pelemahan rupiah sudah pasti memberatkan keuangan Pertamina karena impor BBM semakin besar.
"Beban itu menyebabkan potential loss semakin besar, sehingga menggerogoti laba Pertamina, tapi tidak menyebabkan Pertamina rugi, apalagi bangkrut. Pada Semester I/2018 Pertamina masih mencatatkan laba," kata Fahmi kepada Tirto, kemarin.
Fahmi mengatakan sesungguhnya potensi kerugian yang ditanggung Pertamina hanya dari bensin jenis Premium dan Solar. "Sedangkan Pertalite, Pertamax dan Pertamina Dex, harganya ditetapkan berdasarkan mekanisme pasar, yang Pertamina bisa menaikkan harganya," kata dia.
Keuntungan dari bensin nonsubsidi itu, kata Fahmi, bisa digunakan untuk menutup potential loss dari Premium dan Solar. "Apalagi, pemerintah telah menambah subsidi Solar hingga Rp2 ribu per liter, yang sangat dapat membantu Pertamina untuk mengurangi potential loss," kata Fahmi.
Selain itu, keuntungan dapat diperoleh Pertamina dari proyek hulu, seperti Blok Mahakam dan blok-blok potensial lainnya. "Dengan demikian, kondisi keuangan Pertamina masih sangat kuat kalau hanya menanggung potential loss dan membiayai BBM Satu Harga," kata dia.
Sementara itu, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abdul Manan mengatakan pemerintah memiliki dua opsi untuk menolong Pertamina dari beban finansial, yaitu menaikkan harga bensin atau menambah subsidi.
"Jika pada akhirnya harus memilih, pemerintah akan mengambil opsi kedua [menambah subsidi] karena pemerintah dapat mengalokasikan penerimaan tambahan lewat kenaikan harga ICP," kata Manan kepada Tirto.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz