tirto.id - Tsunami yang menghantam pantai Selat Sunda pada Sabtu (22/12/2018) malam sekitar pukul 21.30 tidak ada pra-peringatan yang diberikan dalam rangka antisipasi.
Hal ini dibenarkan Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menulis dalam akun twitternya.
"Tidak ada peringatan dini tsunami di Selat Sunda pada 22/12/2018 malam. Tidak adanya peralatan sistem peringatan dini menyebabkan potensi tsunami tidak terdeteksi sebelumnya. Tidak terpantau tanda-tanda akan datangnya tsunami sehingga masyarakat tidak memiliki waktu evakuasi," tulisnya.
Dr Simon Boxall dari National Oceanography Centre dan Universitas Southampton seperti dikutip The Guardian, memberikan kritik mengapa sistem peringatan dini tersebut tidak muncul.
Di perairan dangkal, energi tsunami dengan cepat tersebar sehingga gelombang tidak bergerak jauh dari sumber. Badan bencana setidaknya membutuhkan ribuan alat pelampung jaringan untuk deteksi dan memiliki sensor yang cukup untuk memperingatkan semua kemungkinan.
Sementara, tragedi mendadak ini bukan yang pertama, sebelumnya di bulan September, tsunami Palu yang menewaskan sekitar 2.000 orang juga serupa.
Tsunami ini diperkirakan disebabkan oleh aktivitas dan letusan gunung berapi Anak Krakatau. Prof. Dougal Jerram ahli geologi dari Universitas Oslo menjelaskan, tidak seperti tsunami yang disebabkan oleh gempa bumi, tsunami yang disebabkan oleh gunung berapi mungkin tidak memicu sistem peringatan yang dirancang untuk membuat alarm setelah gempa besar.
Sehingga hanya sedikit saja memberi peringatan, kecuali diamati secara langsung atau dipasang perangkat sistem peringatan pelampung gelombang (pelampung tsunami) sehingga bisa terdeteksi. Alat ini penting dipasang terutama saat gunung berapi seperti Anak Krakatau menampilkan aktivitas yang sangat aktif sehingga letusannya bukan peristiwa baru.
Seperti diketahui pada tahun 1883 Gunung Krakatau mengalami letusan dahsyat yang menewaskan sekitar 30.000 orang. Sementara itu, Anak Krakatau hidup kembali dan dalam proses pertumbuhannya menyebakan letusan-letusan yang memicu tsunami.
Tragedi ini menunjukkan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mengembangkan sistem peringatan tanggap bencana. Menurut Dr. Ilan Kelman dari Intitute for Risk and Disaster Reduction di University College London ini adalah proses berkesinambungan dari berbagai pihak yang terkait untuk menentuan kemungkinan ancaman bencana di masa depan. Juga seberapa cepat setiap orang dapat diinformasikan dan bertindak ketika bencana itu menunjukkan gejalanya.
“Kita memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan dengan mereka yang terkena dampak langsung, untuk meningkatkan sistem peringatan menyelamatkan jiwa,” ujarnya seperti dilansir The Guardian.
Baca juga:
Editor: Yulaika Ramadhani