Menuju konten utama

Tren Batik Warna Alam Punya Daya Saing di Era MEA

Kepala Seksi Konsultasi Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB), Bachtiar Totosantoso, mengatakan tren batik dengan pewarna alam masih perlu dipopulerkan karena batik motif tradisional dengan pewarna alam, bisa menjadi salah satu produk unggulan di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Tren Batik Warna Alam Punya Daya Saing di Era MEA
Perajin menyelesaikan proses pembuatan batik di industri rumahan batik di Kudus, Jawa Tengah. Antara foto/Yusuf Nugroho

tirto.id - Kepala Seksi Konsultasi Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB), Bachtiar Totosantoso, mengatakan tren batik dengan pewarna alam masih perlu dipopulerkan karena batik motif tradisional dengan pewarna alam, bisa menjadi salah satu produk unggulan di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

"Sampai sekarang belum banyak yang berani fokus memproduksi batik dengan menggunakan pewarna alam, karena prosesnya dinilai lebih rumit dan mahal," kata Bachtiar di Yogyakarta, Rabu, (23/3/2016).

Bachtiar mengatakan Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB) Yogyakarta hingga saat ini memberikan pendampingan dan pelatihan bagi perajin batik baik dalam pengembangan motif batik, efisiensi bahan baku batik, penekanan konsep daur ulang, cara meminimalkan biaya produksi, serta pemakaian zat pewarna alami.

“Zat pewarna alami, dapat berasal dari rumput laut, sari pati daun serta kayu berbagai tumbuhan. Pewarna alam lebih mendukung pengurangan limbah daripada menggunakan pewarna sintetis yang didominasi campuran bahan kimia,” kata Bachtiar.

Menurut Bachtiar memopulerkan produksi batik dengan pewarna alam akan lebih berpotensi mengangkat daya saing batik lokal di pasar domestik maupun mancanegara. Apalagi di beberapa negara di Eropa penggunaan bahan yang tidak ramah lingkungan mulai ditinggalkan.

"Lebih diminati konsumen mancanegara khususnya di Eropa, karena dinilai memiliki corak warna yang lebih halus, serta ramah lingkungan," tutur Bachtiar.

Bachtiar menambahkan dengan industri kerajinan batik alam, selain mampu mendorong daya saing produk lokal, para perajin batik juga bisa ikut berkontribusi merawat budaya sekaligus menjaga kelestarian alam.

Sementara itu, menurut Kepala Seksi Sandang dan Kulit Disperindagkop Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Ani Srimulyani, data Disperindagkop DIY tahun 2015 menunjukkan industri batik di DIY terus mengalami pertumbuhan dengan jumlah Industri Kecil dan Menengah (IKM) mencapai 8.000 IKM. Jumlah itu meningkat dari tahun 2013 yang hanya 3.000 IKM, semuanya tersebar di lima kabupaten/kota.

“Rata-rata industri kecil menengah batik mampu memproduksi 20 meter kain per hari dengan mematok harga mulai Rp 500 ribu per lembar untuk batik tulis, dan mulai Rp 150 ribu/lembar untuk batik cap,” imbuh Ani. (ANT)

Baca juga artikel terkait BACHTIAR SANTOSO atau tulisan lainnya

Reporter: Mutaya Saroh

Artikel Terkait

Mild report
Minggu, 2 Okt 2016

Batik Belanda Juga Batik Indonesia