Menuju konten utama
Advertorial

Travelling, Travellin

Masalah keterlambatan dan pembatalan penerbangan merupakan faktor potensial penghambat pengembangan industri perjalanan dan pariwisata

Travelling, Travellin
Ilustrasi Travel. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Benarkah pepatah “time is money” sudah usang?

Pada 2013, Armin Bell (38 tahun) dan istrinya mesti menghadiri wisuda seorang kerabat mereka di Yogyakarta. Dari Ruteng, ia mesti menempuh empat jam perjalanan darat ke Labuan Bajo. Pesawat dari maskapai Lion Air akan menerbangkan mereka dari Labuan Bajo ke Yogyakarta lewat Bali.

Dari Labuan, 30-an menit delay. Saya tidak tahu yang Bali-Jogja,” ujarnya. Pengalaman keterlambatan, meski hanya 30 menit, nyatanya membuat orang-orang seperti Armin yang harus menghadiri peristiwa-peristiwa penting jadi waswas.

Keterlambatan keberangkatan penerbangan merupakan hal yang dianggap lumrah oleh orang-orang seperti Armin, dan sering kali tidak diperkarakan. Namun, tidak semua konsumen demikian. Rolas Budiman Sitinjak dan David Tobing memilih memperkarakan masalah penerbangan yang mereka alami. Pada 2012, Rolas Budiman Sitinjak menggugat PT Lion Air karena penerbangannya dibatalkan secara sepihak.

David Tobing malah lebih dari sekali menuntut haknya sebagai konsumen lewat meja pengadilan. Seperti pernah diberitakan Tirto, Ketua Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) itu melaporkan PT Garuda Indonesia Tbk ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mendapatkan kompensasi berupa makanan ringan. Mundur ke tahun 2007, David pernah memperkarakan penundaan penerbangan pesawat Wings Air.

Kasus Armin, David dan Rolas bukanlah hal yang jarang terjadi. Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengungkapkan, selama tujuh tahun terakhir, keluhan konsumen pengguna jasa transportasi udara cukup tinggi, khususnya tentang keterlambatan penerbangan dan pengembalian tiket pesawat.

Maraknya kasus keterlambatan dan pembatalan penerbangan membuat sejumlah maskapai penerbangan dianggap sebagai “maskapai delay”. Keluhan-keluhan itu tentu saja kontraproduktif terhadap tujuan peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sektor perjalanan dan pariwisata yang trennya menanjak di tingkat global.

Infografik Delay Bukan Untuk dimaklumi

Infografik Delay Bukan Untuk dimaklumi. tirto.id/Mojo

Laporan Akuntabilitas Kinerja Kementerian Pariwisata Tahun 2016 memproyeksikan bahwa di tahun 2019, sektor pariwisata menjadi penghasil devisa terbesar, dengan 24 miliar dolar AS, melampaui sektor Migas, Batubara dan Minyak Kelapa Sawit. Pada 2016 saja, menurut laporan yang sama, sektor pariwisata berkontribusi 4,03% terhadap PDB nasional. Sektor dengan pendapatan devisa tahun 2016 sebesar 176-184 triliun rupiah tersebut mampu menyerap hingga 12 juta tenaga kerja.

Rencana pemerintah menggenjot pendapatan devisa dari sektor pariwisata adalah hal yang masuk akal. Secara global, menurut World Travel and Tourism Council, kontribusi langsung sektor perjalanan dan pariwisata terhadap PDB pada 2017 adalah sebesar 10,4% dari total PDB. Dari jumlah tersebut, pengeluaran untuk waktu luang (leisure spending) memberi kontribusi 77,5%. Sisanya adalah pengeluaran untuk urusan bisnis (business spending) sebesar 22,5%. Pada tahun yang sama, sektor ini juga secara langsung berkontribusi terhadap 111.454.000 pekerjaan atau 3,8% dari total lapangan kerja. Masih berdasarkan laporan tersebut, di tingkat global, wisatawan domestik menyumbang 72,7% PDB dari total PDB sektor tersebut pada tahun 2017.

Di Indonesia sendiri, setidaknya berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Republik Indonesia pada 2018, penumpang domestik yang datang sepanjang tahun berjumlah 12.205.944, dan jumlah penumpang berangkat sebesar 12.269.222. Artinya, di sektor domestik, rata-rata lebih dari satu juta orang setiap bulan melakukan perjalanan sepanjang tahun 2018. Jumlah ini meningkat dari tahun 2017 yang masing-masing berjumlah 10.229.964 untuk kedatangan dan 10.365.822 untuk keberangkatan.

Masalah keterlambatan dan pembatalan penerbangan merupakan faktor potensial penghambat pengembangan industri perjalanan dan pariwisata, terutama yang diakibatkan oleh penurunan tingkat kepercayaan wisatawan pengguna moda udara. Memiliki asuransi wisata bisa menjadi solusi untuk menanggulangi hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang terjadi dalam kasus Armin, Rolas dan David. Keterlambatan dan pembatalan penerbangan tidak hanya merugikan secara finansial, melainkan juga melenyapkan kenyamanan dan merampas momen berharga.

Travellin, penyedia jasa asuransi wisata yang bisa diandalkan, menawarkan pemberian santunan langsung untuk keterlambatan atau pembatalan penerbangan. Dengan premi asuransi yang sangat terjangkau, mulai dari Rp10 ribu/hari untuk perjalanan domestik dan Rp16 ribu/hari untuk perjalanan internasional, kenyamanan berwisata dan melakukan perjalanan dapat lebih terasa. Besaran ganti rugi tergantung pada paket yang dipilih.

Paket Domestic Gold, salah satu paket yang diajukan Travellin, misalnya, menawarkan jumlah ganti rugi hingga Rp5.000.000 untuk pembatalan penerbangan akibat kejadian-kejadian yang dijamin dalam polis. Penumpang dengan masalah keterlambatan penerbangan pun dapat disantuni hingga Rp900 ribu.

“Time is money,” dalam contoh-contoh di atas, adalah pepatah yang kontekstual. Namun, tentu saja, waktu juga menawarkan hal-hal yang lebih berharga dari uang. Hilangnya kenyamanan dan momen berharga, misalnya, adalah hal-hal yang tak bisa digantikan oleh uang. Ketimbang menyesal kemudian, bukankah lebih bijak menangkap kesempatan yang ada di depan mata?

Baca juga artikel terkait TRAVELING atau tulisan lainnya dari Advertorial

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Advertorial
Editor: Advertorial