Menuju konten utama

Transaksi Nontunai Dinilai Tak Melanggar UU Mata Uang

Pakar menyebutkan, sejauh transaksi nontunai masih menggunakan rupiah, maka tidak ada poin pada UU Mata Uang yang dilanggar.

Transaksi Nontunai Dinilai Tak Melanggar UU Mata Uang
Petugas Jasa Marga membantu pengendara melakukan transaksi nontunai menggunakan e-toll di Gerbang Tol Citeureup 2, Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (22/9/2017). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

tirto.id - Ahli tata negara sekaligus advokat Irmanputra Sidin menilai transaksi nontunai tidak melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Dalam UU tersebut, Irman berpendapat bahwa yang diatur ada dua hal, yakni macam mata uang yang terdiri dari uang logam dan uang kertas serta mata uang rupiah.

“Intinya kan tidak boleh menolak rupiah sebagai mata uang. Tetapi untuk macamnya, bukan itu yang dilarang,” ujar Irman kepada Tirto melalui sambungan telepon pada Selasa (26/9/2017).

Adapun Irman mengatakan sejauh transaksi masih menggunakan rupiah, maka tidak ada poin pada UU Mata Uang yang dilanggar.

“Itu kan hanya variannya saja. Untuk top up sendiri perlu pakai uang logam atau kertas, dan mata uang rupiah. Sejauh tidak menolak rupiah sebagai mata uang tidak masalah,” kata Irman.

Lebih lanjut, Irman mengaku tidak melihat adanya celah pelanggaran yang bisa dilakukan dalam perpindahan dari transaksi tunai ke nontunai. Menurut Irman, regulasi yang perlu disorot malah cenderung terkait dengan perlindungan konsumen.

“Seperti biaya tambahan isi ulang, biaya apa sih itu? Komponennya apa saja?” ucap Irman lagi.

Oleh karena itu, Irman mengindikasikan perlu adanya penjelasan lebih lanjut oleh Bank Indonesia terkait potongan saldo yang diperuntukkan sebagai biaya isi ulang uang elektronik. “Kalau untuk transaksinya, tidak ada [celah pelanggaran]. Tapi memang lebih ke perlindungan konsumen itu,” ungkap Irman.

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) secara resmi telah menetapkan biaya pengisian saldo uang elektronik.

BI mengatur dua hal dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/10/PADG/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional/National Payment Gateway yang terbit pada 20 September 2017.

Untuk pengisian saldo lintas kanal (Top Up Off Us), BI mengatur tarif yang dikenakan maksimal sebesar Rp1.500,00. Sementara untuk pengisian saldo yang dilakukan melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu (Top Up On Us), pengenaan biaya sebesar Rp750,00 akan dikenakan kepada konsumen yang mengisi saldo di atas Rp200.000,00.

Terkait tudingan BI yang melanggar UU Mata Uang, Gubernur BI Agus Martowardojo sempat memberikan komentarnya.

“Yang paling utama, pembayaran dalam rupiah. Dimungkinkan secara tunai maupun nontunai. Tentu nanti kita akan berikan penjelasan yang baik,” jelas Agus di Jakarta Convention Center, Jakarta pada Selasa (19/9/2017).

Pada mulanya, wacana adanya dugaan pelanggaran BI terhadap UU Mata Uang dilontarkan oleh pengacara David Maruhum Tobing.

Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) periode 2013-2016 tersebut melaporkan BI ke Ombudsman Republik Indonesia atas dugaan maladministrasi dan melanggar UU Mata Uang.

Dalam keterangannya di Kantor Ombudsman, Jakarta pada Senin (18/9/2017), David menduga ada pelanggaran hak konsumen untuk melakukan pembayaran dengan mata uang rupiah kertas maupun logam sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2), 23 ayat (1), 33 ayat (2) UU Mata Uang.

“Tolonglah konsumen diberikan pilihan. Dia mau bayar tunai atau uang elektronik, tapi ada pilihannya. Selama UU Mata Uang masih mengatur uang logam dan uang kertas, tidak boleh menolak uang tersebut,” ujar David.

Sementara itu, sejumlah pihak rupanya cukup menyayangkan dengan terbitnya regulasi dari BI tersebut. Salah satunya datang dari ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira.

Menurut Bhima, kebijakan tersebut malah bersifat disinsentif menjelang penerapan elektronifikasi 100 persen pembayaran jasa tol pada 31 Oktober 2017 mendatang. “Harusnya dengan keuntungan dari penjualan kartu perdana uang elektronik tidak perlu lagi memungut biaya isi saldo, meskipun hanya Rp1.000,00 sekali transaksi,” tutur Bhima di Jakarta pada Kamis (21/9/2017), seperti dikutip Antara.

Senada dengan Bhima, Kepala Bidang Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sularsi berpendapat seharusnya BI bisa lebih fokus terhadap perpindahan transaksi dari tunai ke nontunai.

Dengan adanya polemik semacam ini, Sularsi menilai fokus BI pada upaya peningkatan literasi keuangan dan sosialisasi kepada masyarakat di luar Jakarta berpotensi terganggu.

“Jadi yang sebetulnya harus dilakukan lebih kepada menumbuhkan kesadaran untuk bertransaksi nontunai, itu lebih penting. Bukannya langsung dikenakan biaya seperti ini,” kata Sularsi kepada Tirto pada Kamis (21/9/2017) lalu.

Baca juga artikel terkait TRANSAKSI NONTUNAI atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Yuliana Ratnasari