tirto.id - Ketika tragedi malam Halloween di Itaewon terjadi pada 29 Oktober 2022, seorang pengguna Twitter mengunggah sebuah gambar ilustrasi: anak-anak yang berjatuhan dan menumpuk satu sama lain.
"Gambar ini pas sekali dalam menggambarkan insiden desak-desakan kemarin malam," tulisnya.
Dalam gambar itu, ada teks berbahasa Korea yang jika diterjemahkan artinya kurang lebih:
Jika seseorang jatuh di depanmu, kalian akan jatuh seperti domino. Tidak peduli sebanyak apapun kamu berteriak agar mereka tidak mendorongmu, orang-orang di belakang akan terus mendorong, jadi belasan orang di bagian depan akan remuk karena tertimpa berat yang teramat sangat dalam waktu instan. Sehingga mustahil bisa bernapas, dan tak bisa pula kamu berteriak untuk minta tolong. Hal ini bisa menyebabkan kematian karena tak bisa bernapas ketika tergencet atau karena gagal ginjal yang disebabkan pecahnya organ dalam tubuh.
Gambar yang diunggah itu, sayangnya, bukan sekadar ilustrasi. Itu adalah kejadian nyata yang disebut sebagai Tragedi Victoria Hall.
Sabtu Sore yang Penuh Tangis
Hari itu kota Sunderland sedang menikmati musim panas yang hangat dan diguyur matahari. Almanak menunjukkan 16 Juni 1883. Hari itu ada sekitar 1.000 anak yang dadanya membuncah menunggu penampilan The Fays, sebuah kelompok hiburan, di Victoria Hall, gedung dari era 1872 yang berada di ujung persimpangan jalan Toward Road dan Laura Street.
Alexander Fay, pimpinan The Fays, adalah seorang pesulap keliling, ventrilokuis, sudah sejak beberapa lama mengadakan tur keliling sekolah. Animonya besar. Sebab hiburan yang mereka sajikan lengkap. Dari sulap, boneka yang bisa hidup, hingga trik yang disebut Grand Ghost Illusion.
Selain itu, mereka juga menggunakan trik marketing yang cerdas. Para guru bisa dapat tiket gratis jika murid-murid mereka menonton The Fays. Maka para guru mendorong para murid untuk membeli tiket yang harganya memang terjangkau: 1 penny per orang.
Apalagi, mereka juga menjanjikan hadiah bagi semua anak yang datang. Di poster acara, dituliskan:
“Every child will stand the chance of receiving a handsome present, book, toys &c."
Tak mengherankan kalau lebih dari 2.000 anak datang ke Victoria Hall untuk menonton The Fays. Di dalam gedung, tempat duduk dibagi jadi tiga bagian, dan bisa menampung sekitar 2.500 penonton. Dalam catatan The Fays: Tragedy and Trials (2017), Dean Arnolds mencatat tak banyak orang dewasa yang hadir di sana selain para guru yang dapat tiket gratis dan para kru The Fays.
"Sebagian besar adalah anak-anak yang tak didampingi orang dewasa, sebagian dari mereka umurnya masih tiga tahun," tulis Dean.
Pertunjukan dimulai pukul 3 sore. Di tengah-tengah pertunjukan, Alexander sering melempar hadiah ke depan panggung. Anak-anak girang dan berebut, sedangkan yang ada di balkon cuma bisa mendegut ludah karena iri.
"Tenang saja," kata Alexander, "kalian akan dapat hadiah ketika keluar nanti."
Ketika pertunjukan selesai, entah siapa yang menyebar kabar, tiba-tiba saja banyak anak di balkon yang percaya bahwa hadiah akan dibagi di dekat pintu keluar. Sontak, sekitar seribuan anak di balkon yang takut tak kebagian hadiah semburat menuruni tangga ke arah pintu keluar.
Sedihnya, pintu keluar menuju galeri dikunci dan disisakan terbuka sekitar 56 centimeter, atau hanya cukup bagi satu anak. Karena dorongan kuat dari belakang, anak-anak di depan mulai berjatuhan, terhimpit, sedangkan anak-anak di belakang tak tahu apa yang terjadi di depan.
Sore itu, terjadilah salah satu tragedi paling menyesakkan dalam sejarah dunia hiburan. Dalam waktu 5 menit, 183 nyawa melayang, dan 100 lainnya terluka parah. Sebagian besar dari korban berusia tujuh hingga sepuluh tahun, tapi ada dua korban yang usianya baru tiga tahun.
Kabar lelayu ini menyebar ke seluruh penjuru Inggris, membuat banyak orang terhenyak dan berduka. Donasi dari seluruh Inggris berdatangan, jumlahnya kala itu mencapai 5 ribu Poundsterling, atau sekitar 530 ribu Poundsterling di era sekarang.
Dana itu dipakai untuk menyelenggarakan pemakaman para korban. Ratu Victoria turut berduka, dan mengirim surat yang lantas dibacakan di pemakaman yang tersebar di beberapa titik.
Suffer little children to come unto me, for of such is the Kingdom of God...
Duka yang Mendorong Perubahan
Sejarah mencatat: tragedi seringkali melahirkan revolusi.
Dalam konteks Victoria Hall, revolusinya berupa diciptakannya emergency push door, pintu dorong yang juga sering disebut sebagai crash bar. Saat itu pemerintah Inggris mendorong regulasi tentang keamanan di tempat-tempat yang dipakai untuk menyelenggarakan event.
Pelan-pelan, pemerintah Inggris menerapkan aturan hukum bahwa venue harus punya sejumlah pintu yang bisa dibuka dengan cara didorong keluar, sekaligus bisa dikunci dari dalam. Secara teknis, pintu dorong ini lebih bisa mencegah terjadinya gencetan.
Selain itu, jika ada arus orang keluar, pintu dorong juga tidak menghambat kecepatan orang-orang bergerak, hingga pada akhirnya pintu ini dianggap lebih aman dibanding pintu konvensional.
Arsitek bernama Robert Alexander Briggs kemudian membuat desain yang disebut panic bolt setelah mendengar tragedi Victoria Hall ini. Hasil rancangannya ini kemudian dapat paten di Inggris pada Agustus 1892.
Desainnya berupa gembok selebar dua pintu kanan kiri, bisa dibuka dengan mudah dari dalam, dan jika gembok dibuka maka pintu akan mudah didorong, sekaligus tetap aman untuk mencegah orang dari luar masuk.
Namun kebijakan emergency push door ini tidak serta merta diikuti oleh semua negara. Setelah tragedi Victoria Hall, tragedi serupa juga terjadi di Iroquois Theater, Chicago yang menyebabkan 602 orang tewas. Penyebabnya: pagar besi yang menghalangi pintu keluar.
Bahkan pada 1929, nyaris 4 dekade setelah panic bolt dipatenkan, terjadi tragedi gencetan di Skotlandia yang menyebabkan tewasnya 71 anak-anak, disebabkan karena asap yang membuat panik dan mereka tak bisa keluar karena pintu digembok.
Sekarang, konsep panic exit sudah dipakai secara luas di banyak gedung pertunjukan maupun gedung fasilitas publik di seluruh dunia. Desain pintu dorong darurat ini juga sudah melewati berbagai tahap penyempurnaan desain.
Pintu dorong sudah dianggap sebagai upaya terbaik dalam memastikan tak akan ada lagi tragedi seperti Victoria Hall.
Editor: Irfan Teguh Pribadi