tirto.id - Baru-baru ini dunia kesehatan digemparkan oleh kabar kematian puluhan anak di Gambia usai mengonsumsi obat batuk. Setelah diselidiki, biang masalahnya adalah kandungan parasetamol dalam obat batuk impor dari India. Saat parasetamol diserap tubuh, terjadi reaksi yang membuat anak-anak keracunan obat hingga berujung pada gagal ginjal dan kematian. Beruntung, obat batuk tersebut tidak beredar di Indonesia.
Namun, entah ada kaitannya atau tidak, Kementerian Kesehatan Indonesia juga mengonfirmasi kasus serupa seperti di Gambia. Tercatat ada ratusan anak yang mengalami gagal ginjal akut misterius. Meski tidak diketahui pasti penyebabnya, dugaan awal mengarah pada keracunan obat.
Kasus keracunan obat sebetulnya bukan pertama kali terjadi. Terdapat ribuan kasus yang pernah terjadi, salah satu yang paling menggegerkan terjadi di Amerika Serikat tahun 1982.
Kematian Mendadak
Semua bermula pada Rabu, 29 September 1982 di Chicago. Hari itu cuaca memang sedang tidak bersahabat, sehingga banyak orang jatuh sakit, entah itu pilek, demam, atau sakit badan. Maka, minum obat pereda flu atau nyeri adalah langkah awal terbaik yang bisa dilakukan.
Cerita pertama datang dari anak sekolah berusia 12 tahun bernama Marry Kellerman. Seusai bangun tidur, Marry meringis kesakitan karena pilek, sakit kepala, dan sakit tenggorokan. Ia lantas mengadukan hal ini kepada orangtuanya. Ayahnya pun segera mengambil Tylenol, obat pereda nyeri, yang telah dibeli kemarin malam, dan meminta untuk segera mengonsumsinya. Marry menurut. Ia lantas menelan satu kapsul Tylenol supaya sakitnya hilang.
Apa yang dilakukan Marry tak lama kemudian akan menjadi awal dari salah satu tragedi terbesar dalam dunia farmasi.
Tepat pukul 7, ia pergi ke toilet. Karena ke toilet di pagi hari adalah rutinitas, maka orangtuanya pun tidak berpikir maca-macam. Namun tak lama, terdengar suara batuk dan benda jatuh dari dalam kamar mandi. Ayahnya langsung memanggil dan menggedor-gedor pintu, tetapi tidak ada jawaban. Pintu pun langsung didobrak. Alangkah terkejutnya, Marry ditemukan terkapar dengan mata melotot dan napas tersengal-sengal seperti dicekik.
Dengan kondisi seperti itu, sang ayah langsung membawanya ke rumah sakit. Namun, usaha itu tidak membuahkan hasil. Marry dinyatakan meninggal. Kata dokter penyebabnya: pembuluh darah pecah.
Dua jam kemudian di wilayah berbeda di Chicago, terjadi kejadian serupa. Kali ini menimpa seorang petugas pos, Adam Janus (27). Kepada CNN,ingatan anak Adam, Kasia, masih tajam saat mengenang peristiwa kelam 40 tahun lalu itu.
Cerita bermula saat Adam dan Kasia mengendarai mobil. Adam mengeluh sekujur tubuh dan kepalanya sakit. Di tengah perjalanan, Adam berhenti dan berkunjung ke toko obat untuk membeli Tylenol sebagai pereda sakitnya. Sesampainya di rumah, Adam langsung menenggak dua kapsul sesuai dosis, dan beristirahat di kasur. Tidak ada keanehan apa pun saat itu.
Namun, beberapa menit kemudian terdengar suara teriakan ibunya dari dalam kamar. Adam ternyata tidak sadarkan diri dan langsung dibopong ke rumah sakit. Sayang, nyawanya tidak tertolong. Dokter menyebut kematiannya karena serangan jantung.
Sore harinya, setelah Adam berpulang dan tanpa tahu penyebab pasti kematiannya, dua saudara Adam, Stanley (25) dan adik ipar, Theresa (19) mengunjungi kediaman saudaranya itu. Di sana, keduanya lantas meminum Tylenol dari botol yang sama karena memiliki keluhan serupa. Tidak sampai 30 menit, keduanya tergeletak tidak sadarkan diri. Saat dibawa ke rumah sakit keduanya sudah dalam posisi meninggal. Dari sini, tim medis merasa aneh. Sebab, tidak mungkin satu keluarga meninggal akibat serangan jantung dalam waktu bersamaan.
Setelah diusut, barulah ditemukan benang merah kematian ketiganya, yaitu Tylenol. Temuan ini berlaku juga dalam kasus Marry.
Malam harinya, otoritas kesehatan langsung bertindak cepat. Karena penyebaran informasi masih minim dan cukup lambat, kepolisian berkeliling kota, bergerak dari pintu ke pintu, memberikan himbauan untuk tidak mengonsumsi obat tersebut. Namun, itu semua terlambat.
Keesokan hari, kasus serupa kembali terulang. Kali ini menimpa tiga orang yang berbeda usia dan kondisi kesehatan, tidak saling kenal, dan sama-sama berdomisili di Chicago. Mereka tercatat meninggal usai menelan Tylenol. Jadi, dalam kurun dua hari, ada tujuh orang meninggal mendadak dalam waktu hampir bersamaan. Catatan klinis dokter di IGD menunjukkan hasil serupa: pupil melebar, mulut berbusa, dan terindikasi kerusakan otak, yang semua ini merujuk pada keracunan.
Tercampur Sianida
Dalam laman resminya, Tylenol adalah merk dagang dari obat pereda sakit kepala, demam, dan flu yang sudah beredar sejak tahun 1955. Obat ini berisi kandungan acetaminophen (parasetamol) dan diproduksi oleh Johnson & Johnson. Di AS kala itu, obat ini adalah “obat warung”. Alias, obat yang mudah ditemukan dan menjadi konsumsi andalan masyarakat.
Mengutip Markel dalam “How The Tylenol Murders of 1982 Changed The Way We Consume Medication” (2014), pada tahun kejadian, Johnson & Johnson mencatat terdapat lebih dari 1 juta pengguna Tylenol, dan obat ini menduduki peringkat pertama sebagai obat nyeri terpopuler.
Secara persentase, Tylenol menguasai lebih dari 35 persen pasar obat nyeri di AS. Besarnya angka ini turut menyumbang keuntungan hingga 33 persen pada perusahaan. Kepopuleran ini didapat berkat para pengguna merasa ini obat manjur.
Namun, kasus keracunan karena Tylenol jelas menjadi pukulan telak. Meski saat kabar tersebar belum ada pengusutan berupa otopsi, tetapi publik sudah menduga Tylenol adalah penyebabnya. Harian New York Times kala itu menuliskan bahwa kematian para korban memicu gelombang ketakutan di seluruh negeri. Masyarakat beramai-ramai menghentikan konsumsi obat itu. Begitu juga toko-toko yang menyetop penjualan Tylenol.
Berselang 2-3 hari setelah kejadian, pihak kepolisian mengungkap hasil penyelidikan. Ternyata Tylenol yang dikonsumsi korban mengandung kalium sianida yang 10 kali lebih larut dibanding sianida pada umumnya. Ini adalah jenis sianida yang sama yang digunakan Hitler untuk membantai jutaan warga Yahudi di kamp kosentrasi.
Berdasarkan arsip Washington Post tanggal 11 Oktober 1982, temuan ini membuat produsen langsung menarik 31 juta botol di seluruh negeri, sekaligus menghentikan penayangan iklannya. Dari 31 juta botol senilai USD100 juta (atau sekitar USD281 juta pada 2021) tersebut, dilakukan pengujian terhadap 1,5 juta botol. Hasilnya, ada tiga botol belum terbuka yang terkontaminasi sianida. Johnson & Johnson rugi besar. Namun, catat koran itu, “ini adalah bentuk tanggungjawab untuk menjaga reputasi perusahaan.”
Jurnalis Emilie Le Beau Lucchesi memaparkan di Discover Magazine, studi metabolisme menunjukkan bahwa zat hydrogen cyanide dalam Tylenol bodong itu apabila diserap tubuh manusia dapat mematikan oksigen di semua jaringan hidup dan sumber energi utama fungsi tubuh. Dampaknya, “akan membuat korban mengalami sakit kepala, kejang, serangan jantung hingga meninggal dalam waktu kurang dari 45 menit.”
Waktu ini semakin cepat apabila konsumen berusia muda atau lansia, atau meminum dua kapsul sekaligus.
Fakta ini kemudian menjadi perbincangan hangat di Negara Paman Sam. Kasus yang bermula disebut “keracunan”, telah diubah ke “pembunuhan”. Berbagai spekulasi pun muncul. Mulai dari kelalaian produsen hingga sabotase. Namun, itu semua lambat laun mengerucut pada dugaan sabotase yang didasari persaingan usaha. Sebab, jika disebabkan oleh kelalaian Johnson & Johnson, maka kematian korban tidak hanya di Chicago.
Saat itu pengusutan bukan hal mudah. Sulit untuk menyelidiki peredaran puluhan juta obat di seluruh AS. Inilah yang menjadi sebab polisi dan FBI tidak berhasil mengungkap tersangka dari kasus ini sampai sekarang meski diiming-imingi hadiah besar.
Mengubah Kemasan Obat
Persoalan utama bukan saja terfokus pada dalang pembunuhan, melainkan keamanan obat. Mengutip Thomas D. Dodwell, dkk, dalam “The Tylenol Incident, Ensuing Regulation, and Stock Prices” (1992), Food and Drug Administration (FDA) menjadikan kasus ini sebagai bahan evaluasi untuk lebih memerhatikan keamanan kemasan, bukan hanya terfokus pada keamanan kimiawi obat saja.
Saat itu, obat-obatan memang tidak memiliki sistem keamanan kemasan yang baik, sehingga mudah dibobol orang tidak bertanggungjawab. Terlebih, usai kasus ini angka keracunan obat akibat rusaknya kemasan meningkat drastis.
Dari sinilah, tulis Manoj Shivaji, dkk, dalam “Tamper Evident Phamceutical Packaging” (2012), dunia mengenal konsep metode tamper-resistant packaging. Dimulai dari AS pada tahun 1983, pabrikan mulai mengemas obat secara ketat melalui metode tersebut.
Jika sebelumnya pembukaan botol obat seperti botol minuman yang hanya diputar tutupnya, maka di metode ini tidak lagi demikian. Jadi, untuk membuka kemasan, konsumen harus membuka cincin yang mengelilingi tutup kemasan. Setelahnya, konsumen juga harus membuka segel alumunium foil sebelum mengambil obat.
Ribet memang. Tapi, cara ini terbukti ampuh mengurangi resiko kerusakan obat sampai sekarang.
Editor: Nuran Wibisono