tirto.id - M (20) digiring keluar dari kontrakannya bersama sang pacar, R (27). Hampir tengah malam, sekitar pukul 23.30. M tidak mengenakan alas kaki, tinggal g-string dan kaos oblong saja yang menyelimuti tubuhnya. Dengan kondisi demikian M diarak warga menuju salah satu jalan raya di Cikupa, Tangerang, Banten, 100 meter dari kontrakannya.
Dari sana, M dan R diboyong ke rumah Ketua RW 03, G. Sekitar 200-an meter dari jalan raya, keduanya berhenti di depan sebuah rumah toko (ruko) yang memang belum pernah buka. R dipaksa jongkok di sekitar ruko itu. Dia dijambak sambil diteriaki oleh Ketua RT berinisial T. Sementara warga yang sejak di kontrakan berkerumun, beramai-ramai mengabadikan momen itu dengan kamera gawai.
M memohon semua itu dihentikan, tapi warga justru makin beringas. Warga yang seluruhnya laki-laki, berusaha melucuti kaos M. M pun mati-matian menahannya. Dia meronta sejadi-jadinya. Namun, usahanya gagal. Tenaganya kalah oleh seorang lelaki yang paling bernafsu, mengenakan rompi hitam dan topi merah. Pakaian M dilucuti, tapi tidak ada yang berusaha menolong. Warga beradu dekat mengambil foto dan video, lainnya menonton.
Melihat kekasihnya dianiaya seperti itu, R, yang dari tadi jongkok sambil menutupi muka dan kepala, mengambil kaos M yang sudah jatuh ke lantai toko dan mengenakannya kepada M. Warga menahan agar R tidak melakukan itu. Namun kali ini R yang menang. M akhirnya berhasil menutupi tubuhnya dengan kaos birunya. Namun M dan R tidak begitu saja lolos. Keduanya kembali diarak hingga ke depan rumah G.
M dan R dituduh melakukan tindakan asusila.
Baca juga:Aksi Persekusi Pasangan di Tangerang Bisa Kena Pidana Berlapis
Pekerja Pabrik dari Bengkulu
Ruko yang menjadi tempat persekusi itu adalah tempat M dan R biasa bertemu sehari-hari. Hampir setiap hari pukul 18.00, M biasa menunggu R menjemputnya pakai motor di sebelah ruko, sebuah warung kelontong yang terbiasa buka dari pagi hingga malam hari, sekitar pukul 21.00.
M bekerja di sekitar situ, persisnya di pabrik sol sepatu, dibatasi oleh toko meubel yang lokasinya persis di seberang ruko. Pabriknya sudah berdiri dua tahun. Sementara M sudah kerja di sana dua bulan. Dan selama itu pula, ia bekerja di bagian trimming, tanggung jawabnya merapikan sisa sol. Menurut Risma Wati, penanggung jawab pabrik, hasil kerja M selalu baik.
M bekerja 5 hari dalam seminggu, dengan upah cuma Rp70 ribu per hari. Tentu upah sebesar itu kurang, makanya M kerap lembur hingga pukul 21.00-22.00. Kerja ekstra ini membuatnya bisa mengantongi Rp800 ribu per bulan, sebanyak Rp 500 ribu untuk sewa kontrakan, sisanya untuk makan.
Sejak kejadian tersebut, M tidak pernah lagi masuk kerja. Risma sempat mengontak M untuk kembali bekerja. Namun, M mengatakan masih belum pulih. Risma sendiri tidak mempermasalahkan tudingan warga. "Kalau dia mau kerja juga kita masih mau pakai," kata Risma, Selasa (14/11/2017).
Baca juga:Pimpinan MUI Sebut Aksi Persekusi Tak Sesuai Ajaran Agama
Menurut penuturan Wina, seorang warga yang sehari-harinya berjualan seblak di kawasan kejadian, M dan R setidaknya telah berpacaran selama 4 bulan terakhir. Warung seblak Wina hanya berjarak 20-an langkah dari gang kontrakan M. Wina sendiri mengenal M karena adiknya bekerja di pabrik yang sama. Wina juga sempat menampung M selama 10 hari, tanpa menagih sewa sama sekali.
Dari sana, perempuan 31 tahun ini tahu bahwa M adalah anak rantau, yatim piatu, dan tidak punya saudara sama sekali.
Meski Wina mengizinkan rumahnya ditempati, tapi suatu ketika ia bilang bahwa sebaiknya M mencari tempat sendiri, agar lebih mandiri. M pun akhirnya pindah. Dan sejak itu, M tidak lagi menjalin kontak dengan Wina.
Sampai kemudian seorang penjaga kontrakan M bertanya ke Wina soal status pengontrak barunya itu.
M sempat mengatakan kepada penjaga kontrakan bahwa R, yang kerap berkunjung hingga larut malam, adalah kakaknya. Penjaga kontrakan itu ingin memastikan status keduanya. Wina jelas menjawab apa yang ia ketahui, bahwa keduanya bukan kakak-beradik, tapi sepasang kekasih.
Penjaga kontrakan itu kemudian mengabarkan hal ini ke warga. Dan terjadilah persekusi itu.
Baca juga:Polisi Buru Tersangka Lain Pelaku Persekusi
Tindakan Sewenang-wenang
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengecam keras tindakan main hakim sendiri ini. Maidina Rahmawati, peneliti ICJR, mengatakan bahwa apa yang dilakukan warga jelas melanggar hukum.
"Tindakan warga yang main hakim sendiri atau persekusi tersebut dapat diganjar dengan pidana berlapis, salah satunya Tindak Pidana Kesusilaan di depan umum Pasal 282 ayat (1) KUHP dan Pasal 35 UU Pornografi tentang menjadikan orang lain objek atau model yang bermuatan pornografi," kata Maidina, dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto.
Kapolresta Tangerang, AKBP Sabilul Alif, Juga mengatakan hal serupa, bahwa tindakan persekusi adalah perbuatan melanggar hukum. Sejauh ini Polresta Tangerang sudah menahan enam orang tersangka, termasuk Ketua RT dan Ketua RW. Beberapa di antaranya sudah menyerahkan diri pada hari Sabtu setelah disarankan oleh Bhayangkara Pembina Kamtibmas (Bhabinkamtibmas) setempat.
"Ketua RT/RW ini memprovokasi, memanggil warga," kata Sabilul, menjawab mengapa perangkat desa ini juga dijadikan tersangka.
Apalagi, diketahui kemudian bahwa keduanya tidak sedang melakukan tindakan asusila ketika digrebek. Jumat (10/11), sekitar pukul 22.00, M meminta R untuk membelikannya makanan. R lalu datang dan masuk ke kontrakan, dengan kondisi pintu tidak ditutup rapat. Tiba-tiba pintunya digedor Ketua RT dan langsung memaksa pasangan keluar dan terjadilah persekusi.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino