tirto.id - Rabu 30 April 1980, Kedutaan Besar Iran di London seperti biasa menerima banyak kunjungan masyarakat yang hendak mengurus dokumen keimigrasian. Mula-mula, semuanya berjalan lancar sebagaimana mestinya. Namun, sekitar pukul 11.30 waktu setempat, suasana berubah. Sekelompok pengunjung tiba-tiba mengeluarkan senjata dan granat dari dalam koper. Tak lama berselang, letusan senjata dan bunyi ledakan pun langsung terdengar.
Mereka terus menembakkan senjata sembari berteriak, “jangan bergerak!” kepada orang-orang yang masih berada di dalam gedung dan menyuruhnya meletakkan tangan di atas kepala. Seketika, situasi berubah menjadi sangat mencekam. Kedutaan Besar Iran dikuasai pasukan bersenjata tak dikenal. Para pelaku menyandera 26 orang yang terdiri dari 17 staf kedutaan, 8 pengunjung, dan seorang polisi yang saat itu sedang bertugas mengamankan pintu gerbang kedutaan.
Situasi ini segera diketahui oleh Scottland Yard--markas pusat kepolisian yang bertanggung jawab atas keamanan London--usai anggotanya yang bernama Traver Lock mengirimkan sinyal darurat sesaat sebelum ia disandera. Jalan depan gedung kedutaan langsung dipenuhi mobil polisi dan pasukan anti-teror. Sementara para jurnalis dan warga langsung berkerumun untuk melihat langsung kejadian penyanderaan.
Pemimpin kelompok itu bernama Oan Ali Muhammed. Dia mengumumkan bahwa mereka adalah anggota Front Revolusioner Demokratik untuk Pembebasan Arabistan atau Democratic Revolutionary Front for the Liberation of Arabistan (DRFLA). Tuntutan utama mereka adalah pembebasan wilayah basis DRFLA, Khuzestan, dari Iran. Juga menuntut agar 91 orang beretnis Arab yang ditahan di penjara Khuzetsan, Iran, dibebaskan. Selain itu, para penyandera juga meminta disediakan pesawat untuk keluar dari Inggris. Mereka memberi batas waktu hingga keesokan harinya agar semua tuntutan segera dipenuhi. Apabila melewati batas waktu yang ditentukan, mereka tidak segan untuk membom seluruh gedung kedutaan bersama 26 orang sandera.
Penyanderaan itu memang tidak lepas dari semakin memanasnya situasi di Iran yang dilanda pemberontakan orang-orang Arabistan atau biasa disebut Khuzestan. Mereka berupaya melepaskan diri dari Iran dan membentuk pemerintahan sendiri karena sikap diskriminasi yang dilakukan pemerintah seiring naiknya Ayatulloh Khomeini pada 1979.
Para pemberontak kecewa dengan sikap pemerintah yang cenderung mengucilkan penduduk Khuzestan yang mayoritas beretnis Arab. Padahal wilayah tersebut sangat menguntungkan karena menyumbang pendapatan negara lewat perdagangan minyak. Mereka akhirnya melakukan pemogokan dan penghentian suplai minyak sehingga pendapatan negara menurun. Namun, aksi mereka tak terlalu berhasil menarik perhatian pemerintah. Hingga akhirnya mereka menyerang Kedutaan Besar Iran di London.
Menurut Gregory Fermont-Barnes dalam Who Dares Wins: The SAS and The Iranian Embassy Siege 1980 (2009), penyerangan Kedutaan Besar Iran di London adalah upaya untuk memublikasikan perjuangan mereka sehingga mendapatkan perhatian dunia internasional, khususnya negara-negara Barat.
Operasi Penyelamatan
Pemerintah Inggris bertindak cepat. Atas nama Perdana Menteri Inggris saat itu, Margareth Thatcher, Menteri Dalam Negeri William Whitelaw mengadakan rapat kabinet darurat bersama menteri pertahanan, panglima angkatan bersenjata, kepala kepolisian, kepala badan intelijen, dan berbagai otoritas layanan publik. Pemerintah Inggris berada di posisi sulit karena peristiwa penyanderaan ini juga menyangkut kepentingan negara lain. Apalagi penyanderaan terjadi di dalam gedung kedutaan, yang secara hukum internasional: Inggris tidak berhak mengotak-atik kedutaan negara lain.
Hasil rapat disepakati bahwa pemerintah Inggris akan mengedepankan negosiasi agar hal terburuk tidak menimpa para sandera. Akan tetapi, pemerintah Inggris juga tidak menutup kemungkinan menggelar opsi militer untuk mengambilalih kedutaan apabila terdapat sandera yang dibunuh. Secara bersamaan, pemerintah Inggris juga berdialog dengan Iran. Namun, negara yang dipimpin Ayatulloh Khomeini itu tidak kooperatif dan tidak mau memenuhi tuntutan penyandera. Iran malah menuduh Inggris dan Amerika Serikat melakukan tengah bersekongkol untuk memojokkan Iran. Kala itu, hubungan AS-Iran tengah memanas setelah Kedutaan Besar AS di Teheran diduduki oleh warga Iran.
Margareth Thathcer akhirnya mengambil langkah tegas. Dalam Go! Go! Go!: The Definitive Inside Story of The Iranian Embassy (2010) karya Will Pearson, dkk. disebutkan, "Si Perempuan Besi" itu mengatakan bahwa penyelesaian penyanderaan akan dilakukan di bawah hukum Inggris. Artinya, Inggris berhak melakukan tindakan berlandaskan hukum negara tersebut, meskipun wilayah kedutaan secara aturan diplomatik internasional adalah wilayah ekstrateritorial yang menganut hukum dari negara asli.
Selain itu, ia juga melarang para penyandera keluar dari Inggris dengan alasan apapun. Dan yang terpenting, imbuh Thatcher, “harus menyelesaikan krisis secara damai, tanpa membahayakan nyawa sandera dan memastikan bahwa terorisme harus dikalahkan”. Akhirnya, dialog dengan para teroris pun dilakukan melalui sambungan telepon. Menjelang malam, mereka membebaskan satu sandera bernama Frieda Mozaffarian karena sakit.
Hari berikutnya, 1 Mei 1980, pasukan militer dari satuan khusus, Special Air Service (SAS), melakukan penyadapan dan pengecekan lokasi. Menjelang siang, teroris kembali melepaskan seorang sandera yang sakit. Hal itu dimanfaatkan polisi untuk menggali informasi tentang para penyandera. Diketahui, mereka berjumlah enam orang. Tidak lama setelah itu, polisi bernegosiasi untuk memundurkan batas waktu, yakni keesokan harinya. Polisi juga menghiraukan ancaman peledakan gedung karena yakin teroris tidak memiliki bom berdaya ledak tinggi.
Dari tanggal 1 sampai 4 Mei 1980, ketegangan terus terjadi. Para penyandera menuntut agar duta besar-duta besar negara-negara Arab membuka dialog dengan teroris dan mempersiapkan skenario bagi para penyandera untuk keluar dari Inggris dengan aman. Mereka juga meminta agar tuntutannya disiarkan di televisi BBC, berharap seantero dunia mengetahuinya.
Polisi menuruti permintaan itu dengan menyiarkan tuntutan mereka di BBC. Di saat yang bersamaan, kementerian luar negeri Imggris mengontak duta besar Yordania, Kuwait, Lebanon, Suriah, dan Qatar. Namun, semuanya sepakat untuk tidak menuruti kemauan teroris.
Keesokan harinya, situasi semakin memanas. Para penyandera marah karena tuntutannya tidak segera dipenuhi. Mereka mengancam akan membunuh Abbas Lasavani, kepala pers kedutaan dan pendukung setia Ayatulloh Khomeini, jika tuntutan dialog dengan duta besar negara-negara Arab tidak terpenuhi dalam waktu 45 menit.
Pemerintah Inggris akhirnya membuka opsi lain, yakni meminta SAS mempersiapkan diri untuk menyerang teroris, baik jika sandera dibunuh ataupun tidak. Pasalnya, negosiasi tidak menemui kata sepakat dan penyanderaan sudah berlangsung hampir seminggu.
Setelah beberapa menit, para teroris marah besar akibat tuntutannya tidak dipenuhi. Mereka menembak Lasavani dan menjatuhkannya ke luar gedung dari lantai 2. Pemerintah langsung meminta SAS segera menyerang kedutaan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. SAS melakukan penyerangan pada pukul 7.23 waktu setempat, tanggal 5 Mei 1980, tepat hari ini 41 tahun lalu.
Pasukan yang bergerak dalam operasi bersandi "Nimrod" ini menyerang dari atap, memecahkan kaca, mendobrak pintu, melemparkan granat, dan memasuki gedung. Ledakan terdengar kencang, asap langsung membubung tinggi. Baku tembak tak terhindarkan. Setelah 17 menit melakukan serangan, SAS berhasil melumpuhkan para teroris. 5 dari 6 orang penyandera tewas. Meski demikian, terdapat seorang sandera yang tewas ditembak teroris sesaat sebelum pasukan SAS menyerang.
Keesokan harinya, Washington Post mengabarkan, keenam teroris masuk ke Inggris menggunakan paspor Irak dan sudah tiba sebulan penyanderaan. Mereka menyelundupkan senjata menggunakan tas diplomatik Irak sehingga tidak bisa terdeteksi otoritas Inggris. Selain itu, pihak kepolisian Inggris juga mencari orang ketujuh yang bertugas menyediakan penginapan para teroris di London.
Terkait keterlibatan Irak dalam tragedi ini memang patut dicurigai. Sebab ketika terjadi pemberontakan etnis Arab di Khuzestan, Irak secara terbuka membantu militan yang bentrok dengan pasukan Iran. Tidak menutup kemungkinan apabila Irak berada di balik penyanderaan. Apalagi beberapa bulan setelahnya, Iran dan Irak terlibat konflik berkepanjangan.
Editor: Irfan Teguh Pribadi