Menuju konten utama

Tragedi 65 Sebuah Ilusi Soliteris

Melihat diri sepenuhnya sebagai yang paling revolusioner setelah melihat si lain yang tidak sejalan dengan dirinya sebagai semata-mata kontra revolusioner adalah bentuk dari—meminjam kata-kata Amartya Sen—penunggalan identitas (ilusi soliteris). Inilah yang terjadi praOktober 1965 dan celakanya ilusi yang sama pula yang terjadi pascaOktober 1965.

Tragedi 65 Sebuah Ilusi Soliteris
Avatar Kuncoro Hadi

tirto.id - Dalam salah satu kalimatnya Jean Paul Sartre pernah menyebut, seperti yang dikutip Amartya Sen, “Yahudi adalah seseorang yang dipandang oleh orang lain sebagai Yahudi…kaum anti-Semitlah yang membuat orang Yahudi”. Di sini nampak jelas bahwa identitas seseorang atau sekelompok orang, (seringkali) dibentuk bukan oleh dirinya sendiri melainkan oleh orang atau sekelompok orang lain. Lalu apa risikonya? Tentu saja jika stigma buruk dimunculkan atas identitas kelompok “liyan” itu, maka dengan mudah kekerasan bisa ikut merayapinya.

Kira-kira, dengan mengutip analogi Sartre inilah, kita bisa melihat bahwa sesungguhnya identitas “orang-orang komunis” di Indonesia pascaOktober 1965 dibentuk oleh orang atau sekelompok orang lain itu (terutama negara/militer). Mereka tiba-tiba menjadi “liyan”. Mereka menjadi setan, menjadi musuh bersama, di mana segala sumpah serapah, kesalahan, kegagalan dan bahkan kemiskinan kala itu ditumpahkan kepada si “liyan” ini karena orang-orang sekelilingnya memandang dan melihatnya demikian, akibat (tentu saja) propaganda.

Jika kita bisa kembali ke masa lalu dan menjadi bagian dari masa itu. Tepat di tengah-tengah “gegeran 65” dan tiba-tiba segalanya berubah berkebalikan, maka mungkin kita akan tahu dan merasakan apa jadinya misalnya saja kita menjadi seorang pelajar belasan tahun, yang karena iklim politiknya menghendaki gerak semangat revolusioner sebelum Oktober 1965, lalu memilih menjadi anggota bahkan pengurus Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) di kota Klaten misalnya. Selama beberapa waktu merasa menjadi pemuda/pemudi revolusioner yang gagah/anggun, lalu dalam hitungan hari saja selepas 1 Oktober 1965, identitasnya telah berubah 180 derajat. Sebelumnya menjadi bagian dari pelajar revolusioner lalu tiba-tiba orang-orang lain secara kolektif melihatnya sebagai “setan” pengkhianat negara. Sangat banyak yang mengalami demikian. Tentu hal ini sangat mengerikan.

Ilusi Soliteris

Kita tahu apa yang terjadi selepas Oktober 1965 adalah pembalikan-pembalikan atas apa yang terjadi sebelumnya. Tak bisa dipungkiri bahwa kondisi sosial politik praOktober 1965 telah menunjukkan apa yang Kuntowijoyo sebut sebagai “politik aliran”. Polarisasi-polarisasi terbentuk berdasar atas afiliasi-afiliasi politik yang saling berbenturan, terkadang lunak tetapi menjelang Oktober 1965 menjadi begitu keras. Di wilayah-wilayah yang menjadi basis komunis, situasi politiknya memerah pekat. Partai Komunis Indonesia—yang sangat jelas mendapat jatah distribusi kewibawaan Soekarno dalam porsi berlebih—tak bisa jauh-jauh dari kredo Soekarno tentang “kaum revolusioner” berikut antitesisnya “kaum kontra revolusioner”. Dalam dua istilah itulah, orang-orang komunis menjalankan politik identitasnya.

Kawan ketua PKI, D.N. Aidit, pernah menegaskan dua identitas politik itu dalam pidato di tengah hangatnya aksi kaum tani Klaten akhir April 1964. “peningkatan aksi-aksi sepihak kaum tani berarti bahwa partai-partai politik, organisasi dan pegawai pemerintah tidak bisa lagi bersikap netral. Proses seleksi dan kristalisasi muncul dalam semua partai politik dan diantara semua pegawai pemerintah, (untuk) memastikan siapa yang revolusioner sejati karena berada di sisi kaum tani dan siapa yang revolusioner gadungan karena memusuhi kaum tani”.

Secara umum, Aidit ingin menegaskan dengan sejelas-jelasnya bahwa hanya ada dua identitas yang perlu disematkan pada orang-orang, siapapun mereka: menjadi kaum revolusioner sejati atau kebalikannya, kaum kontra revolusioner (revolusioner gadungan). Dan hanya dalam dua identitas itu orang atau sekelompok orang dikategorikan. Celakanya, orang-orang komunis mendaku diri merekalah yang paling revolusioner dan berbarengan dengan itu mulai membentuk identitas si “liyan” yang kontra revolusioner di semua tempat, dalam identitas turunannya: “tujuh setan desa”, “tujuh setan pantai” dan “tiga setan kota”. Siapapun orang-orang yang memenuhi syarat untuk masuk dalam formasi 7-7-3 itu, maka bisa dipastikan mereka kontra revolusioner. Mereka patut untuk diganyang dan hadirlah kekerasan.

Melihat diri sepenuhnya sebagai yang paling revolusioner setelah melihat si lain yang tidak sejalan dengan dirinya sebagai semata-mata kontra revolusioner adalah bentuk dari—meminjam kata-kata Amartya Sen—penunggalan identitas (ilusi soliteris). Inilah yang terjadi praOktober 1965 dan celakanya ilusi yang sama pula yang terjadi pascaOktober 1965. Orang-orang—entah anggota entah simpatisan partai komunis atau entah anggota entah simpatisan ormas yang dianggap kiri atau bahkan orang-orang yang dicurigai kiri—langsung dimasukkan dalam identitas kontra revolusioner. Istilah itu kemudian, seiring waktu, diubah-ubah namanya tetapi maknanya tetap sama. Mereka adalah setan pengkhianat yang telah memberontak terhadap negara. Militer (dalam hal ini Angkatan Darat) yang sedang murka dengan sejelas-jelasnya menunjuk siapapun orangnya, jika pantas disebut komunis, maka dialah pengkhianat negara dan orang-orang seperti ini layak untuk diganyang sampai ke akar-akarnya. Penunggalan identitas sekali lagi dipertunjukkan.

Penegasan-penegasan tentang kaum komunis sebagai si “liyan” yang memberontak dan berkhianat dan secara otomatis bersalah, telah dilakukan sejak dini. Tanpa menghiraukan kata-kata Soekarno untuk tetap tenang dan tidak memperkeruh suasana, di beberapa wilayah militer (AD) segera membekukan PKI. Lanjutannya, secara sproradis, terjadi banjir “pembubaran diri” PKI dan ormas-ormas yang terkait. Dalam proses ini, puluhan bahkan ratusan orang (dipaksa) datang untuk berkerumun di satu tempat lalu disaksikan oleh banyak orang, berikrar membubarkan partai atau ormas mereka disertai dengan pembakaran segala atribut partai atau ormas mereka. Di sini sudah nampak jelas, bagaimana posisi mereka di tengah-tengah orang-orang yang memandang mereka sebagai “liyan” dalam identitas tunggal, kaum pengkhianat.

Secara simbolik, ritual pembakaran atribut partai dan ormas menjadi semacam—meminjam istilah Paul Connerton—repressive erasure. Tindakan itu bisa bermakna penghapusan dan upaya pelupaan ingatan tentang PKI beserta ormas-ormas yang terkait praOktober 1965. Masyarakat secara luas—bahkan termasuk para kader, anggota serta simpatisan PKI dan ormas-ormas yang sejalan—tak perlu lagi mengingat partai dan ormas itu sebagai entitas politik yang mempunyai peran penting dalam ruang politik Demokrasi Terpimpin-nya Soekarno. Kini, mereka pengkhianat, pemberontak dan musuh negara paling utama. Dan identitas inilah yang perlu diingat-ingat oleh publik selamanya. Pengingatan ini terbukti masih disimpan dalam pikiran banyak orang hingga sekarang.

Pengubahan “Warna Moral” Kekerasan

Kita semua telah tahu bahwa selepas penunggalan identitas atas orang-orang komunis dan yang dituduh komunis sebagai “setan pengkhianat”, yang terjadi kemudian adalah munculnya rangkaian kekerasan secara bergelombang di pelbagai wilayah. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kekerasan antikomunis menyeruak dengan luas dan dalam durasi begitu lama? Wijaya Herlambang—meminjam konsepsi Johan Galtung tentang cultural violence—telah menjelaskan bagaimana produk-produk budaya bisa digunakan sebagai wahana ideologis untuk membolak-balikkan “nilai” atau mengawetkan wacana dalam proses yang panjang. Yang menarik dari penjelasan Galtung adalah soal “pengubahan warna moralitas” atas kekerasan. Tak perlu melihat proses panjang dalam kekerasan budaya untuk melihat pengubahan itu. Sejak awal, dalam pembantaian-pembantaian militer dan milisi antikomunis, “pengubahan warna moral” kekerasan telah berlangsung berkat propaganda efektif militer (AD).

Dengan demikian, tidak heran jika kita (bahkan sampai sekarang) mendengar akrab istilah “darah komunis halal ditumpahkan” atau “membunuh orang komunis tidaklah salah”. Kekerasan antikomunis dipandang sebagai bukan seperti kekerasan pada umumnya. Ia menjadi kekerasan yang dimaklumi. Ia menjadi pengecualian karena maknanya telah bergeser. Membunuh komunis adalah tugas suci karena komunis adalah setan pengkhianat. Bahkan menonton pembunuhan itu menjadi kewajaran bagi orang-orang yang melihat orang-orang komunis sebagai “liyan” yang layak untuk dihabisi.

***

Pada 2008, dalam satu wawancara dengan satu saksi pembunuhan di Kali Simping Klaten, saya menyaksikan raut muka yang datar ketika saksi itu menyampaikan proses pembantaian. Ia mengaku tak mengalami ketakutan. Selama empat malam, hampir berturut-turut, ia menyaksikan pembantaian itu. Ia memang berangkat dari rumah untuk menyaksikan pembantaian, seperti layaknya setiap sore menonton pertandingan sepakbola antar kampung. Saya membayangkan raut muka yang sama pada wajah-wajah antikomunis yang berkerumun pada 1 Desember 1965 di kota Boyolali saat menyaksikan bupati Soeali Dwijosoekarto beserta kolega-kolega komunisnya diarak lalu dibantai dan dikuburkan di Sonolayu. Orang-orang komunis ini, telah dipandang sebagai “liyan” yang pantas mati. Mereka dilepaskan dari kemanusiaannya dan dipandang sebagai arketipe setan. Itulah mengapa kekerasan terhadap mereka menjadi kekerasan yang dimaklumi. Pembunuhan itu (dianggap) wajar. “warna moral” kekerasan telah diubah dengan sesungguh-sungguhnya.

Sialnya, beberapa orang sampai sekarang masih sering—jika bukan terbiasa—memakai standar ganda dalam melihat kekerasan antikomunis ini atau bahkan mengingkarinya, atau justru melakukan politik memori dengan menyebut-nyebut kekejaman PKI pada “Madiun 48”, yang jelas terpisah dengan tragedi 65. Sialnya lagi, mereka ini tak mudah untuk diajak dialog, seolah “antikomunis harga mati”. Dan lebih sial lagi, mungkin banyak orang tak tahu dan tak peduli dengan tragedi 65.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.