tirto.id - Ada begitu banyak kegiatan dan tradisi selama Bulan Ramadan, seperti yang dilakukan di Kampung Kenjeran IV Surabaya, Jawa Timur, mereka menggelar kompetisi sepak bola api untuk meramaikan suasana bulan Ramadan pada Sabtu (17/6/2017) malam, kompetisi ini juga sekaligus sebagai upaya melestarikan permainan tradisional Indonesia itu.
"Permainan ini biasanya digelar di pondok-pondok pesantren. Para santri kerap bermain sepak bola api untuk mengisi waktu senggang sembari menunggu waktu makan sahur," ujar warga setempat, Mustofa Sam, penggagas Kompetisi Sepak Bola Api di Kampung Kenjeran IV C Surabaya.
Dia mengatakan permainan sepak bola api sebenarnya tak ubahnya seperti olahraga sepak bola pada umumnya. Bedanya hanya terletak pada bolanya yang disulut api hingga menyala.
"Kami memakai bola dari tempurung kelapa, dilapisi minyak gas, agar menyala ketika disulut api. Bola dari tempurung kelapa ini pula yang dulu biasa dipakai oleh para santri ketika memainkan permainan ini," ujarnya.
Mustofa menyiapkan sepuluh tempurung kelapa untuk kompetisi sepak bola api di kampungnya. Kompetisi berlangsung di lapangan kawasan pinggir rel Kampung Kenjeran IV C Surabaya, diikuti oleh 30 pemuda asal kampung setempat, yang dibagi menjadi delapan tim.
"Kami pakai kompetisi sistem gugur. Tim yang menang langsung melaju ke babak berikutnya, begitu seterusnya hingga babak final. Semuanya berlangsung dalam satu malam ini saja," ucapnya.
Tiap pertandingan berlangsung selama lima menit, masing-masing terdiri dari dua babak.
Seluruh pemain tampak antusias bermain bola api. Mereka bertelanjang kaki menggiring, mengoper dan menendang bola api ke arah gawang lawan. Beberapa gol tercipta di setiap pertandingan. Penonton pun bersorak ikut senang.
Sering kali bola api yang terbuat dari tempurung kelapa pecah di tengah permainan saat pemain melayangkan tendangan yang cukup keras, sehingga harus diganti dengan bola api yang baru. Terkadang api padam di tengah permainan sehingga harus disulut kembali.
Siswanto, salah seorang pemain, kedua kakinya tampak lecet. Namun dia tampak senang. "Sakitnya baru terasa usai pertandingan," katanya, saat dikonfirmasi usai pertandingan.
Menurut dia, kakinya lecet karena harus bermain dengan bertelanjang kaki di tengah lapangan yang penuh kerikil dan geragal.
"Kalau bolanya hanya terasa panas di awal-awal saja saat pertama kali menggiring. Lama-lama terbiasa sampai tidak terasa panasnya," ujarnya.
Ke depan, Mustofa ingin menjadikan kompetisi bola api di kampungnya sebagai agenda rutin di setiap bulan Ramadan. "Agar salah satu jenis permainan tradisional ini tetap lestari," kata alumnus Politeknik Elektronika Negeri Surabaya ini, yang sejak setahun terakhir mendirikan komunitas "Kampoeng Dolanan" di kampungnya.
Penulis: Yandri Daniel Damaledo
Editor: Yandri Daniel Damaledo