Menuju konten utama
Sidang Ahok

Tokoh NU: Tabbayun Tak Cukup dengan Hanya Menonton Video

Ahmad Ishomuddin berpendapat tabbayun mutlak dilakukan tidak cukup dengan hanya menonton video Ahok. Tabayyun itu sangat diperlukan untuk mentaati perintah ayat Alquran.

Tokoh NU: Tabbayun Tak Cukup dengan Hanya Menonton Video
Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (ketiga kiri) berdiskusi dengan tim kuasa hukumnya saat menjalani sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama di PN Jakarta Utara, Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (21/3). Pada sidang kelimabelas tersebut masih mengagendakan mendengarkan keterangan tiga saksi ahli dari pihak penasehat hukum. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja.

tirto.id - Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Ahmad Ishomuddin yang dihadirkan sebagai saksi oleh pengacara Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjelaskan bahwa tabbayun tidak cukup hanya dengan menonton video.

Kesaksian itu disampaikan Ishomudin saat menjawab pertanyaan anggota tim pengacara, Humprey Djemat dalam sidang penodaan agama di Auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa (21/3/2017).

“Ada orang yang mengatakan tidak perlu tabayyun dengan orang yang bersangkutan, katanya cukup dari video saja?” tanya Humphrey kepada Ishomuddin.

Dosen Fakultas Syariah dari IAIN Lampung itu menjawab bahwa apa yang dimaksud dengan perkataan Humphrey tersebut bukanlah salah satu jenis tabayyun, melainkan menonton video. Ia berpendapat bahwa seharusnya tetap dilakukan tabayyun kepada yang bersangkutan.

“Tabayyun itu sangat diperlukan untuk mentaati perintah ayat Alquran,” jelas Ishomuddin.

Bagi Ishomuddin, apabila memang tidak memungkinkan melakukan tabayyun kepada pihak yang bersangkutan, seharusnya tabayyun atau klarifikasi dilakukan ke lokasi di mana seseorang tersebut dianggap telah melakukan pelanggaran.

“Kalau seseorang tidak melakukan tabayyun kepada orangnya atau kepada lokasi di tempat perbuatannya kepada orang lain maka kemungkinan untuk merugikan orang lain atau untuk kezoliman itu lebih dekat kepadanya daripada rasa keadilan. Oleh karena itu tabayyun mutlak perlu dilakukan dalam setiap pengambilan keputusan,” terang Ishomuddin.

Humphrey mencecar lagi.“Ada yang bilang tabayyun itu hanya dilakukan kalau sesama muslim, kalau bukan muslim atau non-muslim tidak perlu tabayyun. Mohon dijelaskan,” pinta Humphrey.

“Pernyataan tersebut bertentangan dengan semangat dan roh agama Islam sendiri. Karena agama Islam adalah agama keadilan. Rasa benci kepada orang lain pun tidak boleh menghilangkan keadilan. Kebencianmu pada suatu kaum jangan membuat kamu tidak adil. Dan tabayyun itu merupakan perangkat untuk mencapai keadilan,” jawab Ishomuddin.

“Dan tanpa tabayyun tidak mungkin seseorang menghukum seseorang dengan adil,” jelas Ishomuddin lagi.

Pertanyaan-pertanyaan Humprhrey tersebut sebenarnya pernah ditanyakan kepada saksi ahli agama Miftachul Akhyar, yang didatangkan JPU di persidangan Ahok ke-11 pada 21 Februari 2017.

Saat itu, Humphrey bertanya kepada Miftachul tentang pendapatnya sebagai saksi ahli agama yang menilai bahwa tabayyun hanya perlu dilakukan melalui video.

Miftachul saat itu menjawab, bahwa video pidato Ahok di Kepulauan Seribu itu asli sehingga sudah cukup tanpa perlu melakukan tabayun ke orang yang menyaksikan langsung.

Ketika Humphey menanyakan sebanyak 2 kali perlunya tabayyun kepada pihak non-muslim, Miftachul tetap bersikukuh dengan pendiriannya bahwa “Tabayyun­-nya ke masyarakat yang Muslim.”

[Baca: Ahli Agama PBNU: Tabayun Hanya Berlaku bagi Muslim]

Sementara itu, ketika ditemui pewarta usai persidangan, Ishomuddin menampik bila pendapatnya disebut kontra dengan pernyataan Miftachul. “Tidak kontra, tapi lebih tepat disebut berbeda. Karena kontra itu kesannya menantang orang lain. Saya kira perbedaan pendapat ini penting untuk menjadi masukan dari hakim, kira-kira mana argumentasi ilmiah agama yang lebih kuat,” jelas Ishomuddin.

Ishomuddin menerangkan, apa yang dikatakannya tidak bermaksud untuk menyinggung pihak manapun. Ia berpendapat bahwa keterangan yang diberikannya hanya bertujuan untuk menambah pengetahuan para majelis hakim untuk membuat keputusan yang adil.

“Tidak patut warga negara Indonesia menjadi hakim berdasar maksudnya masing-masing. Hakim lah yang berhak memutuskan dia bersalah. Kalau salah ya harus dihukum,” ujar dia lagi.

Baca juga artikel terkait SIDANG AHOK atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Agung DH