tirto.id - Amnesty International merilis laporan berjudul "Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati" yang menyebut bahwa Polri dan TNI terlibat hampir 100 korban pembunuhan rakyat Papua. Selain itu, Amnesty juga menilai proses hukum kepada anggota Polri dan TNI yang terlibat dalam pembunuhan itu cenderung tertutup.
Menanggapi hal ini, Kapuspen TNI Mohamad Sabrar Fadhilah mengaku siap melakukan peradilan yang transparan pada publik. Sabrar menegaskan, seluruh petinggi TNI sudah bersepakat agar proses hukum terhadap anggotanya dapat dibuka pada publik.
"Begini, peradilan militer Panglima TNI, Komandan, Kepala Staf sudah meyakinkan proses peradilannya silakan diikuti dengan terbuka. Silakan. Kami berikan data-datanya, tapi jangan mengikuti secara sepihak," tegas Sabrar Fadhilah kepada Tirto, Kamis (5/7/2018).
Sabrar berpendapat, tidak mungkin TNI melakukan pembunuhan warga Indonesia di sana. Sehingga, ia menilai Amnesty International adalah organisasi yang punya tujuan tertentu untuk memecah belah Indonesia dan menyasar daerah Papua.
"Siapa dia Amnesty international ini? Dia pasti punya agenda tertentu untuk mengganggu kedaulatan kita. Salah satunya di Papua. Bagaimana mungkin tuduhan seperti itu. TNI yang bertugas menjaga kedaulatan rakyat kok bertindak seperti itu," sanggahnya.
Menurut Sabrar, apabila ada pembunuhan di luar proses hukum, maka ia mengatakan bukan TNI yang memulai kontak senjata tersebut. Ia juga menantang Amnesty International membuktikan tuduhannya tersebut.
"Mana datanya? Kan sesuatu yang enggak mungkin lah TNI berada di sana untuk melakukan pembunuhan dengan sengaja," ungkapnya.
Amnesty International dalam laporannya berjudul "Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati" mencatat, ada 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum yang dilakukan oleh pasukan keamanan di Papua selama Januari 2010 sampai Februari 2018, dengan menelan 95 korban jiwa.
Menurut Amnesty, ada 34 kasus pembunuhan yang pelakunya berasal dari kepolisian, dalam 23 kasus pelaku berasal dari militer dan dalam 11 kasus kedua aparat keamanan itu diduga terlibat bersama-sama.
Selain itu, satu kasus tambahan juga melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), lembaga di bawah pemerintah daerah yang ditugaskan untuk menegakan peraturan daerah. Sebagian besar korban, 85 dari mereka, merupakan warga etnis Papua.
Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, Papua adalah lubang hitam bagi Indonesia."Penelitian kami menemukan hampir 100 orang telah dibunuh di luar hukum dalam waktu kurang dari delapan tahun," tegasnya dalam rilis yang diterima Tirto.
Menurut Usman, walau banyak korban berjatuhan akibat penembakan di luar proses hukum, tapi aparat berwenang tidak pernah diproses hukum hingga tuntas.
Usman menilai, tak satu pun pelaku diadili dan diproses hukum secara independen. Sebaliknya, mereka berlindung dengan dalih impunitas dan hanya mendapat sanksi atau diproses tertutup melalui peradilan militer.
"Sangat mengkhawatirkan melihat fakta bahwa polisi dan militer menerapkan taktik kejam dan mematikan yang mereka gunakan terhadap kelompok bersenjata pada aktivis kelompok damai. Semua pembunuhan di luar hukum, melanggar hak untuk hidup," tegasnya lagi.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Alexander Haryanto