tirto.id - Pekerja migran Indonesia di Cina mengalami persoalan yang sangat serius, di antaranya mereka bahkan ada yang dijadikan wanita penghibur, demikian menurut Duta Besar RI untuk Cina dan Mongolia Soegeng Rahardjo.
Menurut Soegeng, hal itu sekaligus menandai meningkatnya modus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Cina.
"Ada dua modus operandi yang saat ini marak digunakan. Pertama, pekerja migran Indonesia yang bermasalah di Hong Kong dan tidak memiliki kontrak baru, pergi ke Makau," kata Soegeng di Beijing, Jumat (25/8/2017).
Selanjutnya, kata dia, buruh yang pernah bekerja di Taiwan dan Hong Kong sering diiming-imingi pekerjaan dengan gaji besar, hal inilah yang menyebabkan mereka sering terperangkap dalam perdagangan manusia.
"Kedua modus tersebut sering kali ditemukan. Namun, sebenarnya yang lebih membahayakan adalah modus prostitusi dan perkawinan," kata Soegeng dikutip dari Antara.
Dia mengungkapkan, sebagian besar pekerja Indonesia yang diselundupkan ke daratan Cina dijadikan wanita penghibur. Sedangkan yang lainnya menjadi buruh kasar di pabrik atau di daerah pertanian.
"Yang sulit dilindungi itu justru modus tawaran bekerja di spa. Kadang-kadang mereka dipaksa, disuruh jadi pekerja seks komersial. Kemudian, ada lagi pekerja wanita yang dibawa dan dikawinkan di sini,” ungkapnya.
Bahkan, kata dia, agen penyalurnya ada di Indonesia. “Calonya ada di Indonesia," kata Soegeng.
Bahkan, Soegeng mengatakan bahwa sejumlah perempuan Indonesia yang didatangkan ke Cina akan dikawini penduduk setempat. Hal itu, menurutnya adalah modus baru.
Namun, menurut dia, perdagangan orang terjadi akibat faktor kemiskinan dan rendahnya kualitas pendidikan korban.
"Satu satunya cara adalah kualitas pendidikan harus ditingkatkan. Setelah ini mereka harus diberikan semacam pernyataan agar tidak mudah percaya dengan iming-iming gaji tinggi dan hidup enak," kata Soegeng.
Soegeng juga menyayangkan sanksi untuk pelaku perdagangan orang sangat sulit diterapkan karena harus ada pembuktian korban dipaksa atau atas kemauannya sendiri.
"Maka menurut kami lebih baik meningkatkan pencegahannya. Korban tidak tahu apa-apa. Yang harus dihukum dengan tegas itu, ya agen-agen penyalur," ujarnya.
Untuk itu, Soegeng mendukung upaya Diretorat Jenderal Imigrasi menunda keluarnya paspor dan peraturan deposit minimum Rp15-20 juta bagi yang ingin membuat paspor.
"Untuk mencegah penggunaan paspor Indonesia yang sudah di luar kendali," ujar Soegeng.
Sebelumnya Konsulat Jenderal RI di Hong Kong dan Makau menemukan tenaga kerja asal Indonesia yang bekerja di Cina dan Australia atas perintah majikannya di Hong Kong secara ilegal karena dalam kontrak kerja dicantumkan bahwa pekerja hanya boleh bekerja di satu alamat.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto