tirto.id - Prediksi Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengenai anggaran Pilkada serentak meleset. Ia mengira, melalui Pilkada serentak anggaran bisa lebih ditekan karena pemungutan suara dilakukan secara bersamaan. Namun faktanya, anggaran membengkak hampir 200 persen.
Ditemui setelah menjadi pembicara dalam Seminar Nasional XXVI Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada Kamis (27/4/2017), Tjahjo mengungkapkan permohonan maaf.
“Waktu awal-awal saya jadi menteri tahun 2015, di bayangan saya Pilkada serentak akan hemat, tapi mohon maaf ternyata lebih membengkak, sampai hampir 200 persen,” katanya.
Menurut Tjahjo, berdasarkan laporan yang ia terima dari KPU, anggaran ini membengkak karena meningkatnya harga logistik selama lima tahun terakhir. Namun Tjahjo juga mengatakan anggaran ini membengkak karena dimanfaatkan pihak lain.
“Alasan KPU harga pembelian logistik selama lima tahun meningkat, tapi juga dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain. Misalnya, kalau dulu kendaraan bisa pinjam Pemda, sekarang beli mobil, jadi efisiensinya tidak ada. Nah 2015 juga sama, masih membengkak dibandingkan dengan kalau kita tiap hari Pilkada,” tambah Tjahjo.
Namun politikus dari PDI Perjuangan ini mengatakan ukuran suksesnya suatu kegiatan politik memang tidak bisa dinilai dengan uang. Biaya politik diakuinya memang besar sekali, bisa sampai triliun, untuk jadi anggota DPR saja bisa miliaran. Ada hal-hal yang menurut Tjahjo juga penting dari Pilkada serentak, misalnya membangun hubungan tata kelola pemerintah pusat dan daerah.
“Yang penting partisipasi masyarakat, tidak ada politik uang, ada jaminan kebebasan untuk menyampaikan pendapat. Bagi kami pemerintah, kalau bisa serentak itu akan membangun hubungan tata kelola pemerintah pusat dan daerah,” kata Tjahjo.
Menurut Ketua KPU RI Arief Budiman anggaran yang relatif besar itu disebabkan oleh pada 2018 mendatang daerah yang menyelenggarakan Pilkada memiliki jumlah pemilih relatif banyak seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Papua, Sulawesi Selatan dan Bali.
Dana sebesar itu, menurut Arif salah satunya digunakan untuk rekrutmen Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS).
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra