tirto.id - Tingkat ketimpangan antara penduduk miskin dan kaya (gini ratio) di Indonesia pada Maret 2018 tercatat sebesar 0,389. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat capaian tersebut hanya mengalami penurunan sebesar 0,002 poin dibandingkan gini ratio pada September 2017 yang sebesar 0,391.
Sementara itu apabila dibandingkan secara year-on-year, yakni dengan gini ratio pada Maret 2017 yang sebesar 0,393, penurunannya terjadi sebesar 0,004 poin.
“Upaya untuk menurunkan ketimpangan ini tidak mudah, karena perlu adanya kebijakan yang dimensional,” kata Kepala BPS Suhariyanto dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta pada Senin (16/7/2018).
Dalam menghitung gini ratio, BPS membagi penduduk Indonesia jadi tiga kelompok, yakni penduduk 40 persen terbawah, penduduk 40 persen menengah, dan penduduk 20 persen teratas.
Menurut BPS, faktor yang menyebabkan ketimpangan dalam kurun waktu September 2017-Maret 2018 ialah karena kenaikan pengeluaran per kapita kelompok bawah secara nasional, baik di perkotaan maupun pedesaan, yang lebih cepat. Kendati demikian, BPS menemukan bahwa kenaikan pengeluaran per kapita kelompok bawah di pedesaan masih lebih lambat ketimbang kelompok teratasnya.
Saat disinggung mengenai tren yang berlangsung, Suhariyanto menilai bahwa penurunan ketimpangan terjadi secara signifikan. Meski ia tidak menampik apabila upaya untuk menurunkan gini ratio itu sangat susah, namun persentase penduduk miskin Indonesia pada Maret 2018 misalnya, ternyata berhasil ditekan sampai 9,8 persen.
“Beberapa tahun lalu memang lamban sekali. Pak Presiden pun bertanya-tanya. Namun kita lihat pada September 2017 itu turunnya signifikan. Kalau ditanya apa sudah sesuai harapan? Belum. Tapi saya pikir ada perkembangannya,” jelas Suhariyanto.
Selain mengimbau agar ketimpangan dapat dimaknai sebagai persoalan yang multidimensional, Suhariyanto juga mewanti-wanti agar pemerintah tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Menurut Suhariyanto, ketimpangan itu dapat dibereskan salah satunya dengan menjamin kualitas dari pertumbuhan ekonomi tersebut.
“Saya akan lebih pilih idealnya, pertumbuhan ekonomi tinggi tapi berkualitas. Artinya sektor-sektor yang padat karya seperti pertanian, industri, dan perdagangan itu mampu tumbuh tinggi. Kalau itu terjadi, pertumbuhan ekonomi bisa dinikmati lebih banyak [orang],” ujar Suhariyanto.
Masih dalam kesempatan yang sama, Suhariyanto turut menilai program pemerintah seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP), serta bantuan sosial dapat efektif mengurangi ketimpangan. Ia menyebut upaya tersebut sebagai pemberian kesempatan yang sama dan merupakan bentuk keberpihakan.
Berdasarkan data BPS yang dirilis hari ini (16/7/2018), sebanyak 8 provinsi masih memiliki gini ratio yang di atas gini ratio Indonesia.
Adapun gini ratio tertinggi tercatat di Daerah Istimewa Yogyakarta (0,441). Berturut-turut setelahnya, ada Sulawesi Tenggara (0,409), Jawa Barat (0,407), Gorontalo (0,403), Sulawesi Selatan (0,397), Papua Barat (0,394), Sulawesi Utara (0,394), dan DKI Jakarta (0,394).
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Yantina Debora