tirto.id - Rasisme di Indonesia terlihat lewat putusan-putusan pengadilan, kata Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Theo Hesegem kepada reporter Tirto, Minggu (7/6/2020). "Pelaku rasisme dituntut minim, tapi pemrotes rasisme dituntut belasan tahun," tambahnya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua Emanuel Gobay mengatakan ini adalah bentuk "ketidakadilan dan diskriminasi dari aparat penegak hukum." Dan itu, katanya, "melanggar surat edaran Jaksa Agung tentang pedoman penyusunan tuntutan yang menyebutkan jangan ada disparitas tuntutan."
Pernyataan Emanuel dan Theo terbukti lewat beragam putusan yang dihimpun Tirto dari berbagai dokumen pengadilan. Umumnya pelaku rasisme atau yang terkait itu dihukum lebih ringan ketimbang mereka yang mengadvokasi antirasisme.
Terdakwa penyebaran ujaran kebencian Andria Adiansyah (26) divonis 10 bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya, awal Februari lalu. Ia ditetapkan bersalah karena menyebarkan video hoaks tentang kericuhan di asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019.
"Itu dapat mendorong opini masyarakat bahwa kerusuhan terjadi di asrama mahasiswa Papua di Jalan Kamasan, Surabaya," kata Kabid HumasPolda Jawa Timur Kombes Pol Frans Barung Mangera saat menangkap Andria.
Kasus asrama mahasiswa Papua di Surabaya sendiri kelak memicu demonstrasi besar-besaran di Papua. Ketika itu ada kabar para penghuni asrama, yang jumlahnya 43 orang, merusak bendera merah putih. Mereka sempat dibawa ke kantor polisi, tapi dilepaskan karena tuduhan tak terbukti.
Tapi kabar 'perusakan bendera oleh mahasiswa Papua' kadung menyebar. Si penyebar salah satunya bernama Tri Susanti alias Susi. Ia membikin narasi bahwa mahasiswa asal Papua merobek dan mematahkan tiang bendera. Tidak hanya itu, ia juga memprovokasi dan menghimpun massa dengan hoaks: mahasiswa Papua melawan warga dengan senjata tajam.
Jaksa menuntutnya hukuman satu tahun penjara, tapi awal Februari lalu hakim memvonisnya tujuh bulan saja.
Salah satu orang yang saat itu datang mengepung asrama adalah Syamsul Arifin, seorang PNS di Pemkot Surabaya. Saat itu ia mengumpat "monyet" ke para mahasiswa. Ia terbukti dengan sengaja menunjukkan kebencian kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan dihukum lima bulan penjara dan denda Rp1 juta. Vonisnya lebih ringan tiga bulan dibanding tuntutan jaksa.
Ada pula seorang tentara bernama Serda Unang Rohana yang saat pengepungan berteriak-teriak dan menendang pagar asrama. Oditur militer menuntut Unang tiga bulan penjara, tapi vonisnya satu bulan lebih ringan.
Vonis lebih berat dijatuhkan terhadap Arina Elopere, Dano Anes Tabuni, Paulus Suryanta Ginting Surya, Ambrosius Mulait, dan Charles Kossay. Karena peristiwa asrama tersebut, mereka berdemonstrasi damai dengan tuntutan utama menolak rasisme, tapi malah dituding makar dan harus mendekam sembilan bulan penjara.
Tudingan makar saat berekspresi antirasisme juga dijatuhkan kepada Sayang Mandabayan karena ia kedapatan membawa ribuan bendera bintang kejora kecil--simbol kultural orang-orang Papua--yang rencananya akan dibagikan kepada para demonstran. Ia tak terbukti makar, tapi tetap divonis sembilan bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Manokwari.
Mirip seperti Suryanta Dkk, di Balikpapan Kalimantan Timur, tujuh orang juga ditahan setelah menggelar demonstrasi menentang rasisme pertengahan tahun lalu. Mereka adalah Buchtar Tabuni, Agus Kossay, Steven Itlay, Alexander Gobay, Irwanus Uropmabin, Feri Kombo, dan Hengky Hilapok. Bedanya mereka masih menjalani persidangan. Agenda terakhir adalah pembacaan vonis.
Dalam agenda pembacaan tuntutan, mereka dituntut hukuman penjara dengan durasi beragam. Tuntutan terendah lima tahun, bahkan 15 tahun untuk Agus Kossay dan Steven Itlay, serta 17 tahun untuk Buchtar Tabuni.
Paranoia Papua
Tudingan-tudingan makar ini sempat dipersoalkan oleh Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati. "Aksi di Papua dan oleh orang Papua, apa pun isunya, akan dituduh makar, padahal aksi dari kelompok lain ya aksi saja," katanya. "Watak rasis tersebut membuat aparat terbiasa mencari-cara kesalahan yang sebenarnya tak pernah ada," tambahnya.
Sementara menurut Rivanlee Anandar, Kepala Biro Penelitian dan Dokumentasi Kontras, LSM yang fokus mengadvokasi isu-isu HAM, apa yang menimpa orang-orang Papua atau yang berpihak kepada mereka itu "berbahaya bagi demokrasi."
"Mengekspresikan pendapat tidak selalu dikaitkan dengan makar. Ini soal hak warga negara yang harusnya dijamin, bukan diberangus," kata Rivanlee kepada reporter Tirto, Minggu (7/6/2020). "Pemidanaan dengan pasal makar menunjukkan negara diskriminatif terhadap Papua."
Rivanlee mengatakan semestinya sejak awal polisi menghentikan penangkapan dan penahanan terlebih dengan mengenakan pasal makar. Penindakan hukum semacam ini justru memperkeruh situasi Papua.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino