Menuju konten utama

Rusuh di Papua Barat karena Rasisme, Bukan yang Lain

Polisi menyebut kerusuhan di Papua dipicu provokasi konten media sosial, padahal ulah rasisme itu memang nyata, sampai Gubernur Jawa Timur meminta maaf.

Rusuh di Papua Barat karena Rasisme, Bukan yang Lain
Massa melakukan aksi di Jayapura, Senin (19/8/2019). ANTARA FOTO/Gusti Tanati/wpa/ama.

tirto.id - Situasi mencekam menyelimuti Manokwari, Senin (19/8/2019). Sejumlah jalan protokol diblokir mahasiswa dan masyarakat. Mereka protes karena tak terima dengan rasisme dan persekusi terhadap sejumlah mahasiswa asal Papua yang sedang belajar di Jawa Timur, Jumat (16/8/2018).

Wakil Gubernur Papua Barat Muhammad Lakotani menyebut, massa sempat membakar Gedung DPRD. Mereka juga merusak sejumlah fasilitas dan membuat lalu lintas di Manokwari jadi semerawut.

“Massa cenderung beringas, sehingga kami tak bisa mendekat, Gedung DPRD provinsi sudah dibakar,” kata Lakotani dalam program Breaking News KompasTV, Senin pagi.

Lakotani mengaku pemerintah provinsi tak reaksioner menanggapi demonstrasi tersebut. Ia tahu, pangkal soal kemarahan warga bersumber dari tindakan diskriminatif nan rasis di Surabaya dan Malang.

“Kami mengimbau massa menahan diri, karena Insya Allah segalanya kita komunikasikan dengan baik, supaya tidak mengganggu aktivitas masyarakat dan pembangunan daerah,” ucap dia.

Ia pun dijadwalkan bertemu massa bersama Kapolda Papua Barat Brigjen Herry Rudolf Nahak dan Pangdam Kasuari Joppye Onesimus Wayangkau. Pertemuan tersebut sempat diwarnai kericuhan sehingga Kapolda Papua Barat dan Pangdam Kasuari sempat dievakuasi. Sore hari, pertemuan dilanjut dan akhirnya massa membubarkan diri usai bertemu dengan wagub, pangdam, dan kapolda.

Massa di Jayapura Ikut Berdemo

Selain di Manokwari, rasisme yang dilakukan sejumlah orang dan aparat keamanan Indonesia terhadap mahasiswa asal Papua di Surabaya dan Malang, juga bikin warga di Jayapura, Papua, jengah. Ratusan orang--mungkin ribuan orang--turun ke jalan.

Dikutip dari Antara, warga longmarch dari berbagai kawasan di sekitar Waena, Abepura, dan Kotaraja menuju Kantor Gubernur Papua yang berada di Dok 2 Jayapura.

Di depan kantor gubernur, warga menyampaikan aspirasi mereka yang merasa kecewa atas insiden yang terjadi di Surabaya. Akibat unjuk rasa ini, pertokoan yang berada di sekitar kantor gubernur, tutup.

“Anggota terus mengawal para pendemo,” kata Kapolres Jayapura AKBP Gustav Urbinas kepada Antara.

Sementara itu, advokat dari Perkumpulan Advokasi Hak Asasi Manusia Papua, Gustaf Kawer yang ikut dalam demonstrasi itu menerangkan, unjuk rasa di Kantor Gubernur Papua ini bertujuan mengutuk tindakan persekusi dan diskriminasi ras terhadap mahasiswa Papua yang ada di Malang, Surabaya dan Semarang.

“Meminta Pemerintah memberi jaminan keamanan dan perlindungan bagi mahasiswa yang kuliah di wilayah Jawa, meminta pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap aparat TNI/Polri serta ormas reaksioner yang melakukan tindakan persekusi terhadap mahasiswa Papua,” kata Gustaf Kawer kepada reporter Tirto.

Polisi Coba Salahkan Medsos, Tapi Dibantah Wiranto

Saat kerusuhan masih berlangsung, Karopenmas Polri Brigjen Dedi Prasetyo memberikan keterangan pers kepada wartawan. Dalam pernyataannya, Dedi menyebut kerusuhan di Papua Barat dipicu provokasi penyebaran konten di sosial media.

“Mereka cukup terprovokasi dengan yang disebar akun di sosmed,” kata Dedi di Mabes Polri, Senin siang.

Ia tak menyebut kerusuhan tersebut dipicu ulah rasis aparat dan masyarakat di Surabaya. Menurutnya demo ini tak perlu terjadi karena kejadian di Surabaya sudah ditangani.

Karena itu, Dedi bilang Tim Siber Bareskrim akan melakukan profiling dan mengecek pemilik akun. Jika terbukti melanggar hukum, mereka akan ditindak, katanya.

“Yang terpenting masyarakat kami imbau tidak terprovokasi, tetap tenang dan bersama jaga situasi kondusif,” imbuh Dedi.

Sementara itu, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebut kerusuhan yang terjadi di Papua memang dipicu represi aparat terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang. Namun, Tito mencoba “menghaluskan masalah” dengan menyebut kerusuhan dipicu kesalahpahaman.

“Kemarin ada kesalahpahaman, kemudian mungkin ada yang membuat kata-kata kurang nyaman, sehingga mungkin saudara kita terusik di Papua,” ucap Tito di Surabaya, Senin siang.

Tito bahkan menyebut, masalah ini diperparah dengan kemunculan hoaks. “Muncul hoaks mengenai ada kata-kata yang kurang etis, mungkin dari oknum tertentu,” ucap dia.

Menko Polhukam Wiranto menampik alasan yang dikemukakan Tito Karnavian dan anak-anak buahnya. Meski tak menyebut kerusuhan dipicu rasisme aparat, Wiranto mengaku kerusuhan itu dipicu pernyataan negatif sejumlah pihak--termasuk aparat dan masyarakat--usai insiden pelecehan bendera Merah Putih.

“Pemerintah menyesalkan adanya insiden yang saat ini sedang berkembang tentang pelecehan Bendera Merah Putih di Jawa Timur yang disusul dengan berbagai pernyataan negatif oleh oknum-oknum yang memicu aksi di beberapa daerah terutama di Papua dan Papua Barat yang nyata-nyata mengganggu kebersamaan dan persatuan kita sebagai bangsa,” kata Wiranto dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Senin siang.

Meski begitu, Wiranto tak menyebut dengan jelas siapa oknum yang dimaksud. Ia malah mengapresiasi langkah para kepala daerah dalam menyelesaikan kericuhan berkaitan dengan etnis Papua.

Gubernur Jatim dan Walkot Surabaya Meminta Maaf

Sama seperti Wiranto, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa juga tampak membantah keterangan Tito. Khofifah yang malah meminta maaf atas ulah sejumlah pihak termasuk masyarakat Jawa Timur yang berbuat rasis terhadap mahasiswa Papua.

Menurut Khofifah, rasisme tersebut merupakan tindakan personal dan tidak mencerminkan sikap warga Jawa Timur. “Atas nama komitmen berindonesia, mari kita tempatkan satu sama lain dengan saling menghormati dan menghargai. Saya tadi bertelepon dengan Gubernur Papua, meminta maaf karena sama sekali, kalau [ular rasis] itu bukan mewakili suara Jatim,” kata Khofifah, Senin siang.

Pun demikian dengan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Ia juga meminta maaf atas tindakan sejumlah orang yang berbuat rasis terhadap mahasiswa di Asrama Papua. Meski begitu, ia menampik jika ada pengusiran terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.

“Kalau ada kesalahan kami mohon maaf, tapi tak benar kami mengusir,” kata Risma, Senin siang.

Baca juga artikel terkait KONFLIK PAPUA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Mufti Sholih