tirto.id - Tim sinkronisasi yang dibentuk pasangan dan wakil gubernur terpilih Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dikabarkan mulai bekerja. Dikutip dari Antaranews, Sandi menjelaskan bahwa tim ini "Tugasnya teknis, mereka tidak menyusun program, hanya menerjemahkannya, untuk sinkronisasi program kami dengan APBD”.
Keberadaan tim transisi mulai dikenal publik Indonesia pasca-kemenangan Jokowi-Jusuf Kalla dalam pemilu presiden 2014. Tugas tim transisi saat itu mempersiapkan hal-hal strategis untuk pemerintahan terpilih: rancangan APBN, pembahasan teknis program, hingga rencana pembentukan kabinet. Tercatat Rini Soemarno mengepalai kepala staf tim transisi, dengan anggota Anies Baswedan, Hasto Kristiyanto, Akbar Faizal, dan Andi Widjojanto.
Tim sinkronisasi Anies-Sandi —di luar perbedaan semantik— akan menjalani fungsi yang sama, yang tentu berbeda cakupan dari tim transisi presiden. Dikepalai oleh Sudirman Said. Mantan menteri dalam kabinet Jokowi ini akan memimpin tim selama kurang lebih enam bulan.
"Kepemimpinan yang kami harapkan dari Pak Sudirman, adalah beliau punya latar belakang sebagai akuntan, jadi auditor BPKP dan berada di birokrasi cukup panjang. Terakhir sebagai menteri ESDM dan sebelumnya berada di BUMN sebagai pimpinan PINDAD,” kata Anies Baswedan di Rumah Aspirasi Anies-Sandiaga, Jalan Borobudur No.2, Menteng, Jakarta Pusat (baca alasan Anies memilih Sudirman Said sebagai kepala Tim Sinkronisasi).
Transisi Pemerintahan di Amerika
Amerika Serikat memiliki riwayat panjang dalam transisi kepemimpinan di Gedung Putih. Bahkan Amerika memiliki Undang-Undang khusus mengenai hal ini yaitu UU Transisi Kepresidenan yang disahkan Kongres Amerika pada 1963.
Saat UU itu disahkan, Amerika sedang dipimpin oleh John F Kennedy. Terbunuhnya Kennedy dan naiknya Lyndon Baines Johnson sebagai wapres menjadi presiden, yang diikuti kemenangan Johnson pada pemilu berikutnya, membuat UU itu belum dipraktikkan. UU tersebut baru dipraktikkan pada 1968 saat Richard Nixon memenangkan pemilihan presiden untuk menggantikan Johnson.
Kendati punya tradisi panjang dalam transisi pemerintahan secara demokratis, namun transisi di Amerika tidak selalu berjalan mulus. Sisa-sisa kebencian pasca-pemilihan, konflik personal, dan ekspektasi perbedaan arah kebijakan, turut menyumbang kesulitan tersebut. Tak ada presiden yang ingin meninggalkan warisan buruk sebagaimana presiden terpilih ingin mengawali masa jabatannya tanpa beban.
Transfer kekuasaan dari Obama ke Trump terbilang mulus, apalagi jika dibandingkan transisi berkepanjanjangan di tengah permulaan Perang Sipil dari Presiden Buchanan ke Presiden Lincoln (1960) yang menyebabkan presiden terpilih terlambat dilantik selama dua bulan. Transisi dari Bush ke Obama juga tak mengalami masalah berarti jika dibandingkan transisi dari Clinton ke Bush (2000) yang diwarnai drama penghitungan suara ulang antara kandidat Bush dan Al Gore. Atau, jika menoleh pada zaman yang lebih klasik lagi, antara John Adams ke Thomas Jefferson (1800), di mana Adams menolak hadir dalam pelantikan presiden terpilih.
Namun demikian, presiden yang masih menjabat biasanya menahan diri untuk membuat keputusan-keputusan strategis yang akan berdampak pada pemerintahan baru, termasuk kebijakan yang boleh diputuskan tanpa pertimbangan Kongres--kendati ia boleh memberikan sinyal-sinyal kebijakan yang akan ditempuh.
Tim transisi Obama mendesak Bush agar merilis bailout sebesar $25 milyar untuk menyelamatkan industri otomotif AS dari kebangkrutan pada 2008. Permintaan ini ditolak. Anggaran bailout baru turun setelah melewati proses panjang di Kongres.
Dalam beberapa kasus, kebiasaan ini kadang berdampak buruk. Contohnya dalam transisi dari Buchanan ke Lincoln, ketika Buchanan berdiam diri di saat negara-negara bagian selatan yang pro-perbudakan memisahkan diri dan bergabung dalam Konfederasi sehingga Perang Sipil tak terhindarkan lagi.
72 Hari Transisi
Tim transisi bekerja sejak pengumuman pemenang hingga hari pelantikan, rata-rata selama 72 hari.
Periode transisi seringkali dinilai sebagai periode yang paling berbahaya dalam pemerintahan demokratis. Transisi diadakan untuk mengantisipasi respons yang diperlukan atas kondisi-kondisi darurat nasional, entah itu yang berhubungan dengan cuaca hingga terorisme. Menurut UU Transisi Kepresidenan 1963, “Setiap gangguan yang disebabkan oleh pengalihan kekuasaan eksekutif dapat merusak keselamatan dan kesejahteraan Amerika Serikat beserta seluruh tumpah darahnya.”
Pemerintah federal (pemerintah pusat) baru secara resmi menyokong dan mendanai kebutuhan operasional transisi pada 2010. Sebelumnya, ongkos ditanggung pribadi. Pemerintah federal juga menanggung biaya komunikasi, pos, transportasi, dan keamanan personel. Setelah pembunuhan Kennedy pada 1963, seluruh kandidat presiden mendapat pengamanan sejak kampanye.
Pembentukan tim transisi biasanya terjadi jauh sebelum kemenangan, menjelang kampanye misalnya, bahkan sebelum seorang politikus resmi dicalonkan sebagai kandidat partai. Obama (2008) dan Romney (2012) adalah contohnya. Clinton terlambat menunjuk tim transisi, yang baru terbentuk ketika ia resmi memenangkan tiket kandidat presiden dari partai Demokrat (Agustus 2016). Dikutip dari CNN, pada 2012, Mitt Romney mengorganisir lebih dari 400 staf ke dalam pos-pos perancang kebijakan guna mendesain teknis program 200 hari pertama pemerintahan Romney. Ketika Romney diumumkan kalah, tim ini dibubarkan.
Sebagian besar pekerjaan tim transisi presiden terpilih di antaranya dialokasikan untuk berkomunikasi dengan Kongres, GSA (Administrasi Pelayanan Umum, badan yang menangani departemen-departemen federal), FPI, dan OPM (Jawatan Manajemen Personalia AS, badan yang mengurusi mengelola pegawai sipil pemerintahan federal). Orang-orang di pucuk pimpinan tim transisi berhak mendapatkan seluruh informasi dari administrasi yang masih berkuasa. Karena itu, relasi yang hangat antara kedua presiden diperlukan sebagai prasyarat.
Demikian pula dengan kandidat yang kalah. Ketika berkuasa seorang presiden bakal membutuhkan dukungan partai pesaing untuk memuluskan kebijakan, tim transisi juga mengatur pertemuan antara kandidat pemenang dan kandidat. Dikutip dari dokumen Presidential Transition Guide (2017), pada 17 November 2008, sekitar dua minggu setelah pemilihan presiden, presiden terpilih Obama mengadakan pertemuan dengan bekas lawannya, Senator John McCain, untuk membahas isu-isu penting seperti Teluk Guantanamo dan perang di Afghanistan.
Proses transisi pada level kepemimpinan negara bagian AS kurang lebih serupa. Yang membedakan adalah cakupan program (yang tentu saja tidak menyangkut keamanan nasional dan hubungan luar negeri, serta urusan-urusan yang dipegang pemerintah federal), serta lebih banyak melibatkan tim ahli di tingkatan lokal, asosiasi profesi (termasuk perwakilan pekerja) dalam sektor-sektor terkait.
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Zen RS