tirto.id - Pandemi COVID-19 mengubah segalanya. Bukan hanya masalah kesehatan, tapi juga sektor ekonomi, hukum, politik, sosial, hingga hiburan. Rencana-rencana Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang sudah ditata untuk lima tahun ke depan pun banyak yang terhambat.
"Pandemi ini turut memengaruhi berbagai rencana dan program,” kata Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Selasa (20/10/2020).
Sejak awal pandemi COVID-19 merebak banyak masyarakat gamang menilai apakah pemerintahan Jokowi mampu membendung wabah berkepanjangan. Dan nyatanya sejak Maret sampai Oktober 2020 belum ada tanda-tanda penyebaran COVID-19 di Indonesia akan berhenti.
Kendati demikian, Jokowi berusaha menyebarkan optimisme. Dalam pidato kenegaraan di peringatan hari ulang tahun RI ke-75, Jokowi mengatakan momen pandemi ini harusnya dimanfaatkan untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dari negara-negara maju.
“Kita harus bajak momentum krisis ini. Kita harus serentak dan serempak memanfaatkan momentum ini. Menjadikan Indonesia setara dengan negara-negara maju. Menjadikan Indonesia maju yang kita cita- citakan,” kata Jokowi.
Menyuarakan optimisme memang wajar bagi seorang presiden di tengah situasi pandemi saat ini. Tapi optimisme belaka tanpa disertai kinerja yang baik adalah janji kosong. Dalam setahun pemerintahan di periode keduanya, administrasi Jokowi-Ma'ruf masih memperlihatkan kepayahan untuk mengurusi hal-hal penting.
1. Kepayahan Menghadapi COVID-19
COVID-19 pertama kali terdeteksi di Indonesia pada 2 Maret 2020. Ketika kasus pertama COVID-19 belum terdeteksi, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto beberapa kali menerima pertanyaan dari wartawan mengenai kesiapan Indonesia menghadapi virus ini. Dalam suatu kesempatan pada Februari 2020, sebagaimana dikutip Detik, dengan mudah Terawan menjawab, "Secara medis, doa. [Virus corona belum masuk Indonesia] Semua karena doa."
Ia kemudian menambahkan, "Saya yakin doalah yang membuat kita begitu [bebas dari virus corona]. Sambil berdoa bersama semoga tidak ada yang masuk virus Corona, mudah-mudahan diridai bangsa ini tidak ada yang masuk dan saya yakin doa bangsa Indonesia diridai dan mempunyai berkah dari Tuhan Yang Maha Esa."
Terawan bahkan meyakinkan masyarakat Indonesia agar tidak merasa khawatir berlebihan, yakni menduga orang yang batuk dan memiliki gejala seperti flu terjangkit COVID-19. Jika demikian, ia khawatir dana yang akan dikucurkan pemerintah tidak sedikit.
“Kita ini bangsa yang sangat rasional dan efisiensi. Jadi jangan sampai terjadi inefisiensi budgeting, kalau semua yang pakai masker ini katanya batuk harus saya periksa, mau tidak? Budgetnya bagaimana? Inefisien budgeting namanya, harus menunjukkan tanda-tanda dia habis melakukan perjalanan ke mana, kontaknya siapa saja itu yang diperiksa, tapi jangan membabi buta. Itu namanya irasional,” kata Terawan pada bulan yang sama, seperti dikutip Republika.
Indonesia saat itu belum membatasi penerbangan dari dan ke luar negeri. Industri pariwisata dan perjalanan beraktivitas seperti biasa. Padahal Indonesia belum mempunyai alat tes yang memadai untuk mendeteksi apakah seseorang tertular COVID-19 atau tidak.
Alhasil pada 2 Maret 2020, ketika pasien pertama teridentifikasi, pemerintah seperti kalang kabut dan tidak segera mengeluarkan imbauan menjaga jarak atau keluar rumah. Pemerintah juga tidak bisa melakukan pengetesan secara masif. Ada pula masalah tracing pasien terjangkit COVID-19 yang tidak transparan.
Selain itu, transportasi umum, baik darat, udara, laut pun masih banyak yang beroperasi seperti biasa.
Sekarang jumlah kasus mencapai 389.712 per 25 Oktober 2020 yang tersebar di seluruh Indonesia. Dengan kata lain, di bawah kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf, Indonesia berhasil menyulap 2 pasien COVID-19 menjadi hampir 400.000 dalam kurun 8 bulan.
Pada 4 Oktober 2020, dalam akun Facebook resminya, Joko Widodo mengunggah video yang meminta publik untuk “bicara fakta dan data” soal penanganan COVID-19. Dalam video itu Jokowi juga hanya menonjolkan hal-hal yang positif, tanpa menyebutkan fakta lain yang menunjukkan kekurangan Indonesia dalam penanganan pandemi.
Misalnya saja soal rasio tes Indonesia yang paling sedikit dibandingkan negara-negara maju yang ia jadikan pembanding dalam indikator “jumlah kasus” dan “jumlah kesembuhan” selama pandemi.
Amerika Serikat memiliki rasio tes paling banyak, yakni 339,3 per 1.000 penduduk. Dilanjutkan dengan Brazil (84,0), Kolombia (77,0), India (58,5), dan Meksiko (15,4). Sedangkan Indonesia sendiri hanya berada di angka 12,8.
Satu lagi yang perlu diperhatikan, hingga sekarang, dengan berbagai pencapaian yang tidak dapat dikatakan cemerlang, Jokowi tak juga melakukan kocok ulang kabinet. Padahal sejak Juni 2020 ia sudah mengeluarkan ancaman reshuffle karena tidak ada kemajuan dalam penanganan COVID-19.
2. Kepayahan Fokus soal Undang-Undang
Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf tidak memperjuangkan mati-matian RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan malah mencabutnya dari Prolegnas 2020. Padahal dalam program kerja untuk peningkatan kualitas manusia, Jokowi-Ma’ruf menerakan tentang “menguatkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.”
Di samping itu, Jokowi mendorong partai politik agar mendukung pengesahan UU Cipta Kerja Omnibus Law yang kemudian ditentang berbagai kelompok masyarakat.
Dalam masalah transparansi dan ketidakjelasan UU Ciptaker ini, pemerintah dan DPR sama-sama berandil. DPR mengaku sudah transparan dalam melakukan pembahasan, tapi kenyataannya pembahasan tersebut banyak tak diketahui publik dan dilakukan di hotel-hotel. Minimnya partisipasi publik juga jadi masalah lain.
Pemerintah yang mengikuti rapat tak menganggapnya masalah. Bahkan ketika naskah final UU Ciptaker terus berubah selepas disahkan, pemerintah tidak mengakui pembahasan UU Ciptaker ini memang belum matang.
Setelah sampai ke meja presiden sekalipun, ada satu pasal yang mesti dihapus. Padahal biasanya, setelah pembahasan tingkat II di DPR, naskah itu tidak mengalami perubahan apapun kecuali teknis pengetikan dan format dokumen. Pemerintah beralasan, penghapusan tak mengubah substansi UU Ciptaker sama sekali.
Jokowi kemudian mengakui sendiri bahwa komunikasi pemerintah yang buruk mengakibatkan polemik terkait UU Ciptaker, termasuk demonstrasi besar-besaran. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebut pemerintah berusaha memperbaiki diri.
"Kami diberitahu oleh Presiden bahwa komunikasi publik kita sungguh sangat jelek. Untuk itu, ini masukan dari luar maupun teguran dari presiden kita segera berbenah diri untuk perbaikan ke depan [agar] lebih baik," kata Moeldoko.
Tentu ini menjadi pekerjaan rumah Jokowi dalam empat tahun sisa periode kepemimpinannya.
3. Kepayahan Menjaga Demokrasi & Memberantas Korupsi
Dalam salah satu poin misinya, Jokowi-Ma’ruf berusaha menegakkan "sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya." Sudah setahun revisi UU KPK disahkan oleh pemerintah dan DPR. Sejak itu, jumlah operasi tangkap tangan (OTT) kian menurun. Ketua KPK Firli Bahuri menyebut alasan penurunan itu disebabkan lembaga antirasuah fokus pada pencegahan. Padahal menurut peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola, pencegahan itu sendiri belum maksimal.
Di bawah kepemimpinan Firli KPK juga dirundung pelbagai masalah internal. Mulai dari puluhan pegawai yang mengundurkan diri hingga Firli yang divonis melanggar kode etik karena menggunakan helikopter demi keperluan pribadi. Ia justru mempertontonkan gaya hidup jet set pejabat.
Lembaga antirasuah melempem, penegakan hukum tanpa korupsi juga semakin jauh dari harapan. Keputusasaan ini ditambah dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD.
Dia mengakui bahwa penegakan hukum sekarang sangat buruk di mata masyarakat. Dalam praktiknya lembaga penegakan hukum seperti Polri dan Kejaksaan bisa mencari-cari celah untuk memperkarakan seseorang, meski faktanya belum tentu demikian.
"Saya tidak bisa melakukan apa-apa, presiden tidak bisa melakukan apa-apa, karena semua punya batasan kewenangan. Karena itu perlunya pembinaan dan moralitas," kata Mahfud melalui rilis, Kamis (17/9/2020).
Sedangkan untuk masalah demokrasi, peneliti asal Australia, Ben Bland, dalam analisis yang diterbitkan seminggu sebelum pencoblosan Pilpres 2019, menyatakan jika Jokowi menang lagi, Indonesia tetap akan sulit melakukan reformasi hukum, politik, dan ekonomi. Sebabnya, Jokowi lebih banyak melakukan kompromi daripada melawan kepentingan berbagai pihak.
Ketika mendapat kritik, Jokowi juga sering kali membiarkan polisi mengambil alih. Penangkapan politikus Ahmad Dhani pada periode pertama kepemimpinannya menjadi contoh bagaimana Jokowi mulai memakai aparat hukum untuk menindak para pengkritiknya.
“Meski penangkapan ini bersikap reaktif, bukan sesuatu yang direncanakan, tindakan tersebut telah merusak demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia,” catat Bland dalam tulisan berjudul "Politics in Indonesia: Resilient Elections, Defective Democracy"(2019).
Benar saja, setelah Jokowi-Ma’ruf menjabat setahun, hasil jajak pendapat yang dilakukan Indikator Politik Indonesia menunjukan 36 persen responden menganggap Indonesia kurang demokratis. Sedangkan mereka yang menganggap Indonesia lebih demokratis hanyalah 17,7 persen dari 5.614 responden.
Memang sejak periode pertama, bagi Bland, apa yang dilakukan Jokowi banyak menjelma sebagai “langkah-langkah mundur seperti pada tahun kepemimpinan Soeharto.”
Belakangan, aktivis memang ramai menilai kepemimpinan Jokowi seperti Orde Baru. Di sisi lain, ada juga yang tidak setuju. Salah satu aktivis yang pernah ditangkap Orde Baru, Ken Ndaru, melalui akun Twitter-nya menilai aktivis sekarang terlalu menyederhanakan kepemimpinan Jokowi sama dengan Soeharto.
Presiden Indonesia memang terlampau sedikit. Meski umur Republik sudah 75 tahun, kita hanya punya presiden sebanyak 7 orang. Salah satu penyebabnya karena hampir separuh umur Indonesia hanya dikuasai oleh satu nama, Soeharto.
Di masa kepemimpinan Soeharto situasi memang jauh lebih ekstrem. Ada pembantaian manusia, pemberedelan media, dominasi militer, hingga korupsi yang masif. Seperti penilaian Ken Ndaru, menyejajarkan Jokowi dengan Soeharto tentu tidak seimbang. Kepemimpinan Jokowi masih jauh lebih terbuka daripada Soeharto.
Tapi Soeharto adalah contoh diktator terburuk yang memimpin Indonesia. Sampai sekarang, Soeharto masih menjadi patokan pemimpin “buruk”. Setiap kali ada kecenderungan kepemimpinan otoriter di Indonesia, orang akan menyandingkannya dengan Soeharto atau Orde Baru.
Tidak ada lagi yang bisa menjadi pembanding kepemimpinan Jokowi yang bagi sebagian orang menyalahgunakan aparat negara untuk membungkam kritik. Mau tidak mau, orang menyamakan Jokowi dengan Soeharto.
Imaji seperti ini masih melekat kepada Jokowi setelah setahun menjabat di periode kedua. Yang harus kita tunggu: Apakah Jokowi akan terus dilekati citra seperti ini dalam sisa kepemimpinannya?
==========
KONFRONTASI adalah ulasan serta komentar atas isu sosial-politik yang sedang menghangat di Indonesia. Sajian khusus ini ditayangkan setiap Senin dan diasuh oleh penulis politik Felix Nathaniel.
Editor: Ivan Aulia Ahsan