tirto.id - Namanya Uzair. Banyak ulama berpendapat namanya memang Uzair, meski Alquran tidak pernah menyebut namanya. Hal ini diyakini karena beberapa kisah israilliyat (cerita dari bani Israil) kalau nama yang bersangkutan punya kronologi yang mirip dengan apa yang tercantum dalam Alquran.
Semua diawali sebuah pertanyaan sederhana: “Bagaimana Tuhan menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?”
Pertanyaan itu terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 259. Pertanyaan itu muncul setelah Uzair memakan bekal makan siangnya. Ia baru saja menambatkan tali keledainya dan merebahkan diri di bawah pohon yang teduh.
Uzair yang baru saja berjalan dari ladangnya untuk berkebun itu melihat di hadapannya puing-puing bangunan yang porak-poranda. Sepertinya telah terjadi bencana dahsyat di perkampungan itu.
Uzair sendiri merupakan seorang Yahudi. Namun ia bukan sembarangan Yahudi karena dikisahkan hapal isi kitab Taurat. Beberapa orang meyakini bahwa ia adalah seorang nabi untuk kaum Yahudi, dalam Al-Bidayah wa an-Nihayah juz 2 Ibnu Katsir pun meyakini bahwa Uzair juga termasuk nabi bagi bani Israil. Bahkan karena begitu istimewa mukjizat yang didapatkannya, Uzair juga disebut “Putra Tuhan” oleh beberapa orang pada masanya. Hal yang juga disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 30-31.
Sebagai pribadi yang taat. Uzair tentu saja meyakini benar perihal hari kebangkitan di hari akhir. Untuk itulah, dalam pikirannya, muncul pertanyaan nakal. Bagaimana cara Tuhan membangkitkan orang-orang yang sudah mati bertahun-tahun, seperti perkampungan yang porak-poranda di hadapannya?
Pertanyaan manusiawi atas dasar penasaran saja sebenarnya.
Tak lama setelah pertanyaan itu muncul di benaknya, mendadak rasa kantuk yang begitu luar biasa menyerang Uzair. Karena sudah tidak lagi mampu menahan kantuk, Uzair pun tertidur.
Uzair merasa tidur tidak terlalu lama, hanya sekejap saja. Dalam pikirannya, Uzair tertidur paling lama sehari semalam, atau berangkali cuma setengah hari. Hanya saja di hadapannya, pemandangan sudah banyak yang berubah.
“Berapa lama kamu tinggal di sini?” tiba-tiba muncul pertanyaan dari Uzair.
Uzair yang kebingungan atas pertanyaan itu menjawab apa yang ia rasakan. “Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari,” jawab Uzair.
Sosok yang bertanya ini pun melanjutkan penjelasannya, “Ketahuilah, sebenarnya kamu berada (tertidur) di sini selama seratus tahun lamanya.”
Awalnya, Uzair pun ragu dan enggan untuk percaya. Sampai kemudian sosok di hadapannya ini kembali menjelaskan.
“Engkau tidur selama seratus tahun. Tuhan telah mematikanmu dan kemudian menghidupkanmu lagi agar engkau mengetahui jawaban dari pertanyaanmu ketika engkau merasa heran dengan kebangkitan orang-orang yang mati,” kata sosok ini.
“Dan lihatlah kepada keledaimu itu, ia telah menjadi tulang-belulang.”
Uzair memerhatikan apa yang dimaksud. Di samping tempatnya tidur, ada tulang-belulang seekor keledai. Diperhatikan dengan seksama, memang di sanalah posisi Uzair terakhir kali menambatkan kedelainya sebelum berteduh di pohon.
Lalu dengan ajaib, tulang-tulang kedelai tersebut disusun ulang layaknya puzzle. Tulang dirangkai sesuai posisinya, dibalut dengan daging di setiap sendi dan lapisannya. Kemudian otot yang dibungkus dengan kulit lalu bulu-bulu halus menutupi setiap jengkal otot dan daging. Sampai kemudian keledai yang dikenal Uzair kembali muncul dalam keadaan hidup.
“Kami akan menjadikanmu tanda kekuasaan kami bagi manusia,” kata suara yang memberitahunya. Sebuah dialog yang termasuk juga dalam rangkaian pada surat Al-Baqarah ayat 259.
Barulah Uzair menyadari ia memejamkan mata begitu lama.
Di sisi yang lain, ketika Uzair dinyatakan menghilang dari muka bumi, penduduk desa tempat Uzair tinggal mencari-cari keberadaanya karena berhari-hari tidak kembali. Kekhawatiran ini tentu ada alasannya. Sebab Uzair adalah satu-satunya tokoh terkemuka yang hapal isi kitab Taurat di daerah tersebut.
Beberapa penduduk desa mencari di kebun tempat terakhir Uzair terlihat. Sayangnya, baik Uzair maupun keledainya, tidak ditemukan. Berminggu-minggu sampai berbulan-bulan penduduk desa mencari Uzair.
Menyadari melakukan pencarian sia-sia karena yang dicari tak kunjung ditemukan, penduduk desa pun menyerah. Uzair pun dilupakan. Tidak hanya wajahnya, melainkan juga namanya. Ia seperti lenyap dalam sejarah.
Meskipun begitu, tidak semua penduduk desa melupakan Uzair. Masih ada seorang anak Uzair yang saat ayahnya tertidur masih berusia sangat belia dan seorang perempuan yang bekerja di rumah Uzair. Keduanya masih ingat betul pada ayah dan majikannya.
Untuk itulah, ketika bangun dari tidurnya, Uzair pun menaiki keledainya bermaksud pulang ke rumahnya untuk menemui anak dan perempuan tersebut. Begitu sampai di desanya, karuan saja Uzair terkejut. Keadaan sudah banyak berubah. Keadaan jauh lebih ramai, banyak bangunan baru yang ia tak kenal. Dan anehnya, ia tak kenal satupun dari penduduk desa. Pun dengan sebaliknya. Penduduk desa heran dengan kedatangan Uzair.
Sudah tentu tatapan penduduk desa adalah tatapan penuh pertanyaan menyelidik. Siapa gerangan orang yang datang ke desa mereka ini?
Dalam perjalanan menuju rumahnya—atau barangkali lokasi yang dikira Uzair dulu merupakan rumahnya—Uzair melihat ada seorang perempuan tua yang sudah buta dan lumpuh. Dengan ragu-ragu Uzair mendekat.
“Apakah di sini tempat tinggal Uzair?”
Perempuan tua dan buta ini mencari sumber suara. Lalu menjawab dengan sedih, “Semuanya telah lupa dengan Uzair. Tak ada satu pun penduduk desa yang mengenalnya.”
Dengan hati-hati Uzair kembali bicara, “Aku adalah Uzair. Tuhan telah mematikanku selama seratus tahun lalu menghidupkanku kembali.”
Tentu saja perempuan tua ini tidak percaya begitu saja. “Uzair yang dulu aku kenal doanya selalu mustajab. Dan kami telah kehilangan selama seratus tahun. Jika benar kamu adalah Uzair, doakanlah kesembuhan untukku,” kata perempuan tua ini merujuk kepada dua matanya yang buta.
Uzair pun berdoa untuk perempuan tersebut, dan atas kekuasaan Tuhan perempuan tua ini bisa melihat dan menyaksikan wajah Uzair yang dikenalnya.
“Betul, aku bersaksi engkau benar-benar Uzair,” kata perempuan tua yang sudah berusia 120-an tahun lebih ini.
Tak pelak, berita pun menyebar ke seluruh desa. Meskipun sempat dicurigai sebagai seorang penipu, penduduk desa akhirnya percaya karena orang yang mengaku sebagai Uzair ini benar-benar hapal isi Taurat. Celakanya, sebagian besar penduduk desa malah menyembah Uzair karena dianggap mendapatkan dan/atau mengalami keajaiban yang luar biasa istimewa.
Setiap hari sepanjang Ramadan, redaksi menurunkan naskah yang berisi kisah, dongeng, cerita, atau anekdot yang, sebagian beredar dari mulut ke mulut dan sebagiannya lagi termuat dalam buku/kitab-kitab, dituturkan ulang oleh Syafawi Ahmad Qadzafi. Melalui naskah-naskah seperti ini, Tirto hendak mengetengahkan kebudayaan Islam (di) Indonesia sebagai khazanah yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Naskah-naskah ini tayang di bawah nama rubrik "Daffy al-Jugjawy", julukan yang kami sematkan kepada penulisnya.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS