tirto.id - The Medium (2021) adalah hasil kolaborasi antara veteran dunia perfilman horor Asia yang sangat memuaskan. Sang Sutradara, Banjong Pisanthanakun, telah berjasa membesarkan horor Thailand pada awal 2000-an berkat film seperti Shutter dan Alone. Di kursi penulis naskah sekaligus produser, Na Hong-jin (The Wailing, Chasers), kembali membuktikan reputasi sebagai Master of Ambiguity asal Korea Selatan. Hong-jin dikenal dengan naskah-naskah kuat yang berfokus pada motivasi karakter dan selalu mengelabui ekspektasi penonton. Almarhum Roger Ebert menyamakannya dengan Alfred Hitchcock, sang Master of Suspense.
The Medium menggambarkan sekelompok kru film yang mengerjakan proyek dokumentasi kehidupan sehari-hari Nim, seorang dukun titisan dewa kepercayaan bernama Bayan, di sebuah desa di Isan, Thailand. Nim mewarisi jabatan dukun dari leluhur perempuannya. Dia memiliki dua saudara kandung, laki-laki dan perempuan. Dari awal film Nim digambarkan tidak terlalu dekat dengan saudarinya, Noi.
Dinamika hubungan Nim dan Noi menjadi inti plot film yang dikupas pelan-pelan hingga akhir. Puncak konflik keduanya diungkapkan dalam sebuah twist di penghujung film.
Film dibuka dengan narasi singkat Nim yang menjelaskan bahwa dalam kebudayaan Thailand, semua benda termasuk hewan, tanaman, hingga rumah bisa memiliki roh yang dipanggil dewa. Pemaparan Nim dijabarkan lewat voice-over yang berdampingan dengan montase shot benda-benda keseharian seperti kaus yang sedang dijemur, pepohonan, hingga lipan yang sedang merayap.
Setelah diawali upacara pemakaman suami Noi yang meninggal karena penyakit, 15 menit pertama The Medium membeberkan tanda-tanda kesurupan anak perempuan Noi, Mink. Mink adalah satu-satunya anggota keluarga inti Noi yang masih hidup. Sepanjang film, Nim, si tante sekaligus dukun desa, digambarkan dengan segala daya upaya mengusir roh dalam tubuh Mink--yang awalnya dikira perwujudan Dewa Bayan.
Cerita The Medium tak seperti film-film Hong-jin lain yang mempermainkan ekspektasi penonton lewat plot yang sulit diduga. Namun, The Medium masih menjajaki praktik-praktik okultisme Asia dengan menunjukkan betapa tipisnya batas antara kekuatan spiritual yang jahat dan yang baik karena bergantung pada interaksi manusia dengan keduanya. Tema ini sudah dihadirkan Hong-jin di The Wailing (2016) yang juga ia sutradarai. Karakter pendukung The Wailing adalah dukun yang dibayar mahal untuk melakukan pengusiran setan. Namun, di balik ongkos setinggi langit itu, ia telah membuat perjanjian dengan iblis agar merasuki manusia.
Plot ala Hong-jin ini juga hadir dalam sejumlah film horor kiwari yang mengkritik praktik-praktik keagamaan seperti The Unholy yang diproduseri oleh Sam Raimi, dan serial Midnight Mass karya Mike Flanagan. Keduanya menghadirkan karakter-karakter Kristen garis keras yang bersekutu dengan iblis untuk menghadirkan mukjizat bagi orang-orang beriman tapi dibayar dengan nyawa orang-orang “kafir”.
Tapi Hong-jin tampaknya tidak terlalu tertarik mengomentari betapa korupnya para pemuka agama. Keputusan Hong-jin menjajaki okultisme Asia menghasilkan cerita-cerita yang bisa menjangkau audiensi lebih luas karena berkaitan dengan persepsi moral soal apa yang “benar” dan yang “salah” tanpa batasan keyakinan agama-agama arus utama.
Dalam wawancara dengan Korea Herald, Pisanthanakun mengaku mengeluarkan usaha ekstra untuk benar-benar memahami visi horor dalam naskah Hong-jin meski akhirnya berhasil dilakukan. Belum lagi kerepotan karena bekerja di tengah pandemi Covid-19, di mana penyempurnaan naskah sepenuhnya mereka lakukan dari jarak jauh karena Hong-jin tidak dapat terbang langsung ke Thailand.
Pada 2004, Pisanthanakun menyutradarai Shutter yang menghadirkan hantu-hantu yang tak sengaja tertangkap kamera. Hubungan kamera dan horor ini pula yang diolah dalam The Medium. Kru film dokumenter yang dihadirkan Pisanthanakun bukanlah kru amatiran beranggotakan mahasiswa studi film seperti dalam Blair Witch Project (1999), alih-alih kru dokumenter profesional sekelas National Geographic. Mereka menggunakan perlengkapan kamera luar biasa canggih yang bisa melakukan ultra zoom untuk menghasilkan establishing shot yang jernih, terkomposisi dengan baik, dan kaya warna.
Pada awal film, kita dimanjakan oleh adegan potret kehidupan perdesaan sederhana dan tenang dengan langit cerah dan hamparan ruang-ruang hijau. Penonton juga turut mengikuti karakter-karakter cerita saat mereka berkunjung ke kota untuk mencari makan di bawah sorot lampu neon estetik.
Di pertengahan film, segala keindahan ini dibalik menjadi pemandangan mengerikan dengan permainan color grading, pergerakan kamera dari stabil ke berantakan, dan juga perubahan soundscape. Tim pencari lokasi patut diapresiasi karena berhasil memilih tempat yang bisa disulap dari cantik dan memukau ke mencekam.
The Medium dibentuk oleh bahasa visual kuat, efektif, dan ada kalanya metaforik. Misalnya, seekor capung yang berusaha berenang di air mendadak tenggelam saat sedang ditatap oleh Mink yang mulai menunjukkan tanda-tanda kesurupan.
Saking efektifnya, sinematografer Naruphol Chokanapitak (Pee Mak, Handle Me With Care) bisa menonjolkan kengerian dalam objek-objek keseharian. Di pertengahan film, saat seorang dukun tandingan melihat banyak sekali roh yang merasuki Mink, kita disuguhkan medium shot dengan zoom-in lambat ke pohon tua besar. Diiringi efek suara teriakan, shot ini menghasilkan efek pareidolia; kita seolah-olah melihat wajah mengerikan di batang pohon yang jamak ditemukan di berbagai tempat.
Cara yang sama ditempuh oleh Patrick Strickland dalam Berberian Sound Studio (2012) yang menghasilkan efek ngeri hanya dengan shot sayuran di atas meja.
Menjelang tiga perempat film, kamera canggih para kru dokumenter yang dilengkapi teknologi night vision dimanfaatkan untuk menangkap aktivitas Mink pada malam hari. Hasilnya adalah shot filter warna kehijauan gelap yang biasa muncul dalam film dokumenter hewan malam hari. Mata Mink terlihat menyala dalam kegelapan rumah layaknya sorot predator di malam hari. Shot dalam night vision ini, menurut Marcus Goh, adalah puncak segala kengerian dalam The Mediumyang hampir bisa dipastikan akan membekas pada benak penonton.
Atas itu semua, The Medium pantas diusung sebagai salah satu film horor paling seram dan paling dinantikan sepanjang 2021.
Penulis: Pia Diamandis
Editor: Rio Apinino