Menuju konten utama

The Bajau dan Dilema Dandhy Laksono

The Bajau cukup berbeda dari film-film Watchdoc lainnya. Dihantui dilema etis. 

The Bajau dan Dilema Dandhy Laksono
Avatar Eric Sasono

tirto.id - Dandhy Laksono kembali merilis film. The Bajau, demikian judulnya, berkisah tentang orang Bajo, sebuah suku pengembara laut di perairan sekitar Sulawesi. Ada banyak bahan untuk mengetahui sejarah dan kehidupan masa kini Suku Bajau—selain tentu saja dari film ini.

Saya menonton film ini dalam bentuk screener, bukan dalam pemutaran publik. Pembahasan saya akan berfokus pada narasi di dalam film alih-alih peristiwa pemutaran. Tentu ada masalah di sini, karena saya mengesampingkan momentum ketika dokumenter bertemu penontonnya—satu perihal yang sangat penting karena film dokumenter hari ini biasanya ia diniatkan untuk memantik diskusi dan menjadi alat advokasi. Dan “pembacaan” film dokumenter ketika berinteraksi dengan publiknya bisa jadi sama atau lebih penting ketimbang narasinya sendiri.

Selain itu, pembahasan akan lebih banyak berupa The Bajau (Dandhy Laksono, 2020) sebagai film dokumenter, bukan pada subyek film itu sendiri yaitu Suku Bajo.

Berdasarkan hasil menonton screener, ditambah wawancara yang saya lakukan dengan Dandhy pada 2017 dan 2020, saya ingin membahas beberapa poin seputar The Bajau sebagai film dokumenter dari sudut pandang seorang peneliti budaya dokumenter yang cukup akrab dengan film-film Watchdoc.

Saya mengalami beberapa keheranan kecil ketika menyaksikan The Bajau.

Penyu dan Etika

Keheranan pertama timbul setelah menyaksikan adegan penyu yang disakiti dalam upacara Suku Bajo ini. Tentu saja adegan menyakiti penyu ini menimbulkan perdebatan soal akuntabilitas etis, dan ini adalah bagian dari filmmaking (apalagi film dokumenter yang mengaku merekam kenyataan dan dibuat dalam kerangka advokasi). Saya termasuk yang turut bertanya soal ini.

Seakan menjawab soal itu, Dandhy dalam cuitannya membandingkan adegan itu dengan 17 ekor penyu yang jadi korban pencemaran PLTU Bengkulu.

Cuitan Twitter Dandhy Laksono

Cuitan Twitter Dandhy Laksono tentang penyu yang mati berturut-turut di PLTU Bengkulu. twitter/@Dandhy_Laksono

Dandhy menggunakan kesempatan itu untuk menagih akuntabilitas etis kepada perusahaan besar seperti operator PLTU. Ini konsisten dengan apa yang dilakukannya selama ini dengan film-filmnya. Namunjawaban Dandhy tidak menggugurkan pertanyaan seputar etika visual dalam filmnya, yaitu ketika ia menggambarkan kekerasan terhadap binatang itu dengan cukup detil. Gambaran ini berpotensi mengganggu bagi sebagian orang, seperti saya misalnya.

Selain ada etika pembunuhan penyu, juga ada etika visual yang melekat pada pembuat film. Sebagai aktivis sekaligus filmmaker, Dandhy sulit menghindar sepenuhnya dari dilema seperti ini. Apakah sebuah kampanye bertujuan mulia bisa menggugurkan etika yang “minor” demi mencapai tujuan etis yang lebih besar?

Soal dilema etis seperti ini adalah pertanyaan seumur hidup dalam film dokumenter. Meski paham akan keberadaan dilema semacam itu, para pembuat film dokumenter kerap mengambil satu sikap saja. Namun, hingga kini belum ada tulisan mengenai perdebatan dilema etika pembuat film dokumenter yang melibatkan pembuat film dan dan publik Indonesia. Saya bayangkan ini bisa jadi bahan diskusi yang sangat hangat karena sudah menimbulkan banyak sekali lontaran (dengan atau tanpa mention) di media sosial.

Gambar Gelap

Keheranan kedua adalah gambar yang gelap. Dandhy mengambil gambar orang-orang suku Bajo di Torosiaje, Gorontalo di malam hari dengan penerangan seadanya. Saya cukup kaget karena ini seperti menyempal dari kredo yang ia sutradarai (atau produseri) di Watchdoc seperti Rayuan Pulau Palsu (Rudi P. Saputro), Jakarta Unfair (Sindy Anastasia dan Dhuha Ramadhani) dan Sexy Killer (Dandhy Laksono) yang serba terang dengan grafis jelas dan huruf tegas.

Dalam wawancara tahun 2017, Dandhy menyatakan bahwa pilihan itu (gambar terang dan grafis jelas) diambilnya karena ia membayangkan film-filmnya lebih banyak ditonton di layar tancap, dengan proyektor yang terkadang seadanya, dan dalam ‘ruang’ yang tidak mutlak gelap. Maka informasi di layar (termasuk informasi visual) harus jelas dan sampai dengan baik kepada penonton, bahkan ketika harus bersaing dengan tukang es krim atau tahu bulat goreng dadakan yang lewat saat pemutaran.

Dalam wawancara 2017 itu saya menyimpulkan bahwa kondisi material (lingkungan fisik, peralatan dan segala macam yang mempengaruhi kesadaran penonton) ikut mempengaruhi pilihan estetika Watchdoc. Pilihan ini sangat sadar kelas karena film-film Watchdoc ditujukan bukan bagi kelas menengah yang takzim menonton film di bioskop dengan sound system sekurangnya Dolby 5.1 (bahkan Dolby 7.1 atau bahkan Dolby Atmos).

Filmografi Watchdoc menghendaki sebuah cara menonton yang menjadikan lingkungan sekitar bagian dari persoalan yang diajukan dalam film. Menonton bukan sebuah peristiwa steril, melainkan—mengikuti Foucault—semacam “penempatan” (emplacement) dan penciptaan sebuah ruang-diskursus berbeda di tengah kondisi yang dominan. Sebuah ruang ideal alternatif terbayangkan (heterotopia) yang diciptakan dengan prosedur dan kriteria tertentu untuk menghadirkan wacana liyan (discourse of alterity), yang berbeda dari arus utama.

Gambar gelap di The Bajau relatif tidak cocok dengan kredo yang Dandhy bicarakan pada 2017. Ketika saya menanyakannya tiga tahun kemudian, Dandhy menyatakan gambar gelap itu memang diambilnya karena menyesuaikan dengan perangkat teknis yang dibawanya ketika syuting—yang memang tidak memadai untuk mendapatkan gambar yang terang. Ia menggunakan headlamp yang milik para nelayan Suku Bajo di Torosiaje itu, ditambah beberapa lampu di telepon genggam yang disorotkan untuk menerangi perahu tempat mereka duduk. Dengan penerangan yang disebutnya natural light seperti itu, ia mendapatkan gambar gelap yang tidak biasa ditemukan dalam film-film Watchdoc.

Menurut Dandhy, gambar gelap ini memang merupakan bagian dari kehidupan keseharian Suku Bajo. “In real life, memang segelap itu interaksi mereka,” kata Dandhy. Maka bagi saya, Dandhy masih setia, tidak hanya pada kebenaran fotografis (photographical truth, yang menjadi fondasi film pada umumnya di dunia ini—bahkan untuk film animasi), tetapi juga setia pada apa yang dalam istilah film dokumenter disebut sebagai afilmic truth, kebenaran ketika tidak ada kamera yang merekam.

Dokumenter Observasional?

Keheranan ketiga adalah bagian film yang mirip dokumenter observasional. Dokumenter observasional ini adalah istilah yang dicetuskan Bill Nichols ketika melihat perkembangan film dokumenter yang bermula pada 1960-an. Dokumenter observasional menekankan pentingnya urusan langsung dengan kehidupan sehari-hari subyeknya yang diamati dengan kamera yang tidak menarik perhatian (Bill Nichols, Introduction to Documentary: Third Edition, 2017, hal. 22).

Banyak adegan dalam The Bajau—terutama di bagian Torosiaje—dibuat dengan mode observasional ini, yaitu ketika kamera berada pada ketinggian sejajar dengan mata para subyek dan merekam mereka ketika melakukan percakapan dan kegiatan sehari-hari. Moda seperti ini memang secara umum lebih menantang, terutama ketika digunakan untuk keperluan kampanye lantaran model kekisahannya terasa mengurangi besaran dampak konflik dan lebih banyak menghadirkan drama-drama kecil (micro-drama). Yang terpenting, mode observasional seringkali meninggalkan banyak informasi di luar layar, dan harus dicari sendiri oleh penonton untuk bisa membuat hubungan antara gambar-gambar di layar dengan persoalan dalam kehidupan nyata.

Pilihan Dandhy ini agak mengherankan buat saya lantaran pada wawancara tahun 2017 ia mengungkapkan bahwa film-filmnya memiliki narasi yang tertutup. Artinya seluruh informasi yang dibutuhkan oleh penonton untuk memahami persoalan sudah ada dalam film itu. Bahkan ia juga memilihkan jawaban dalam filmnya itu (lihat misalnya pada Sexy Killers (2019) atau pada karya terbaru, seri Jakarta Kota Air di kanal YouTube Watchdoc). Pendekatan ini dipilih karena menurut Dandhy infrastruktur informasi di Indonesia belum berkembang dengan baik. Dibandingkan kebanyakan negara Eropa, misalnya, pendidikan belum mampu menyediakan pengetahuan dan cara berpikir yang logis, sumber informasi berbahasa Indonesia masih terbatas dan seterusnya. Maka agar bisa lebih banyak dipahami oleh penduduk Indonesia dari berbagai latar belakang pendidikan dan budaya, Dandhy sengaja memilih film-film dokumenternya bernarasi tertutup, dengan segala informasi yang dibutuhkan sudah ada dalam film.

Jika diamati baik-baik, film-film Watchdoc sebelum ini memang merupakan film dokumenter ekspositori (expository documentary) yang, masih dari Bill Nicholls, “menitikberatkan komentar voice-over, struktur masalah-pemecahan, logika agumentatif, dan editing berlandaskan pembuktian” (Introduction to Documentary: Third Edition, 2017, hal. 22). Film dokumenter seperti ini bertujuan mengundang penonton menjadi juri dari persoalan yang menimpa subyek-subyek filmnya yang bersaksi di dalam film, alias sebagai publik yang bersaksi. Publik yang bersaksi—atau witnessing public menurut akademisi Leshu Torchin (2012) mengajak penonton untuk ikut serta memutuskan posisi moral mereka, dan berpartisipasi dalam proses persidangan terhadap persoalan sosial, dan ekonomi politik yang disuguhkan. Maka posisi individu saat menonton film dokumenter memang tidak pernah “netral” secara moral.

Namun, beberapa hal dalam The Bajau tidak sesuai dengan prinsip dokumenter observasional, misalnya sudut pandang mata burung (bird’s eye view), gambar peta Sulawesi, dan beberapa bagian ketika wawancara ditempel di adegan keseharian yang menimbulkan suara yang tidak sinkron dengan gambar (yang lebih banyak dipakai di dokumenter ekspositori), serta banyaknya ilustrasi musik yang merupakan intrusi non-diegetic sound (suara yang tak ada padanan sumbernya di dalam layar) ke dunia orang-orang suku Bajo ini.

Sudut kamera mata burung menempatkan pembuat film lebih tinggi daripada subyeknya—melihat posisi subyek di tengah-tengah lingkungan mereka—sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh subyek kepada sang pembuat film. Pendekatan ini biasanya dihindari ketika pembuat film dokumenter observasional ingin sejajar dengan subyek dan menghindar hubungan yang hirarkis.

Demikian pula keberadaan peta. Peta bukan bagian dari keseharian melainkan sebuah penilaian geografis oleh pembuat terhadap posisi subyek, karena posisi geografis adalah imajinasi sekaligus narasi yang ada di dalam subyek yang belum tentu cocok dengan peta hasil administrasi negara yang digunakan oleh pembuat film.

Namun, sekali lagi, pengingkaran dari prinsip-prinsip observasional ini adalah rangkaian dari pilihan estetika dan etika visual yang perlu disadari saja, dan bukan harga mati. Bagi film dokumenter Watchdoc yang selama ini berada pada posisi advokasi demi mempengaruhi opini dan kebijakan, biasanya metode ekspositori memang lebih sering digunakan demi memperjelas argumen dan sasaran kebijakan.

Pada wawancara tahun 2020 Dandhy mengakui bahwa pilihan estetika yang mendekati observasional itu dilandasi adanya permintaan dari produser film, Pasar Hamburg. Pasar Hamburg sendiri adalah sebuah festival budaya yang diselenggarakan di kota Hamburg, Jerman, untuk mempromosikan budaya Indonesia. Pasar Hamburg meminta dua hal: membuat film bertema maritim (yang merupakan tema festival Pasar Hamburg 2019) dan film dokumenter yang bisa bertahan lama di luar pemutaran Pasar Hamburg sendiri. Dengan demikian, dokumenter ini menghindari model ekspositori yang membutuhkan penjelasan rumit atas sebuah kasus, dan memilih metode observasional yang bisa tampil lebih artistik dan punya kemungkinan siklus hidup yang lebih panjang.

Bagaimanapun, The Bajau tetap merupakan film kampanye yang menyodorkan gambaran ketegangan ekonomi-politik yang menimpa orang-orang terpinggirkan dalam negara-bangsa bernama Indonesia. Dokumentasi di awal film menegaskan sekali posisi The Bajau di hadapan negara dan posisi Dandhy sebagai pembuat film yang berada bersama suku Bajo. Dandhy mengaku bahwa penonton masih menganggap film ini bagian dari filmografi Watchdoc dan penonton tetap terpaku menontonnya—sekalipun ritme film terasa lambat dan durasinya cukup panjang. Ini perlu dikonfirmasi secara terpisah.

Pilihan estetika pada film dokumenter memang tak bisa terlepas dari situasi produksi yang menghasilkannya, sekalipun itu bukan pengaruh tunggal. Sejauh ini saya melihat niatan untuk mencoba model observasional pada The Bajau merupakan sesuatu yang cukup menyegarkan karena membuka kemungkinan baru: kampanye dengan menggunakan film dokumenter bergaya observasional, alih-alih semata-mata ekspositori. Efektivitasnya sebagai materi kampanye membutuhkan penyelidikan lebih lanjut.

Sampai 20 Januari lalu, donasi yang terkumpul untuk Suku Bajo dari rangkaian pemutaran film ini mencapai sekitar Rp20 juta. Apakah nilai donasi akan lebih besar apabila bentuk film ini adalah ekspositori seperti Sexy Killers yang menunjuk hidung orang-orang Istana, misalnya?

Pertanyaan hipotetis ini tentu mustahil terjawab. Namun, memikirkan kemungkinannya saja sudah cukup menyegarkan mengingat kenyataan bahwa dunia film dokumenter selama ini cuma beredar di pinggiran dan tidak mendapat perhatian yang cukup.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.