tirto.id - Meski salah satu tugas utamanya adalah melakukan supervisi, mantan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Agun Gunandjar Sudarsa membantah jika anggota DPR terkait mengetahui secara detail anggaran pengadaan KTP berbasis elektronik (e-KTP) 2011-2012 pada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), terkait kasus korupsi e-KTP.
Agun yang menjalani pemeriksaan sebagai saksi di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut mengaku bahwa DPR pada saat itu lebih fokus pada pengawasan politik, bukan detail angka anggaran yang diajukan.
"Pada saat mekanisme [anggaran] yang dilakukan [bersama] pemerintah, dibahas di banggar [badan aanggaran] ke komisi lalu ke banggar lagi. Itu ada mekanisme yang sudah standar. Tapi jujur saja saya mengatakan, apakah kita mampu melihat detail sampai satuan angka, saya tanya apakah APBN seluruh anggota DPR sampai tahu satuan angka di Kementerian? Tentu tidak akan tahu detail," kata Agun seusai diperiksa, Selasa (11/10/2016).
Pada periode 2009-2014, Agun adalah Anggota Komisi II DPR yang menjadi mitra Kementerian Dalam Negeri dalam pengadaan proyek KTP elektronik tersebut.
"Kami lebih pada pengawasan politik. Komisi II harus mengawal karena ini program nasional, harus sukses, kalau gagal, perencanaan pembangunan kita akan terus bermasalah. Di luar itu, silakan proses sesuai dengan aturan hukum yang berlaku," ungkap Agun.
Oleh karena itu, lanjut Agun, ia mengaku tidak tahu mengenai jumlah anggaran e-KTP saat itu meski termasuk sebagai orang di Komisi II yang mendorong segera diselesaikannya proyek e-KTP ini untuk melengkapi data masyarakat dalam pemilu dan kebutuhan lainnya.
"Kami melihat proyek e-KTP adalah proyek nasional yang harus sukses. Kita mendorong untuk dilakukan proses, bahkan di awal 2012 saya memimpin, dalam proyek pengadaan tender keputusannya harus melibatkan KPK, BPK dan institusi lain agar proses itu bisa dipertanggungjawabkan, dan itu kesimpulannya," jelas Agun.
Agun mengaku hanya tahu proses pengadaan pada e-KTP sedangkan pembahasan pembahasan anggaran dilakukan pada 2009-2011.
"Saya jawab dengan jujur dan apa adanya karena proses pembahasan di 2009, 2010, 2011 saya tidak terlalu terlibat," ungkap Agun.
Tersangka dalam kasus ini adalah mantan Dirjen Dukcapil Irman yang juga Kuasa Pengguna Anggaran proyek pengadaan e-KTP dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen proyek e-KTP Sugiharto.
Berdasarkan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kerugian negara akibat kasus korupsi e-KTP itu adalah Rp2 triliun karena penggelembungan harga dari total nilai anggaran sebesar Rp6 triliun.
Irman dan Sugiharto disangkakan pasal ayat 1 atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP. Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
Irman diduga melakukan penggelembungan harga dalam perkara ini dengan kewenangan yang ia miliki sebagai Kuasa Pembuat Anggaran (KPA).
Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Nazaruddin, melalui pengacaranya Elza Syarif pernah mengatakan bahwa proyek e-KTP, dikendalikan ketua fraksi Partai Golkar di DPR yaitu Setya Novanto, mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang dilaksanakan oleh Nazaruddin, staf dari PT Adhi Karya Adi Saptinus, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri dan Pejabat Pembuat Komitmen.
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara