tirto.id - Sekitar tahun 1997, seorang bapak dua anak bernama Marc Randolph berniat mendirikan perusahaan. Masalahnya, ia tidak tahu harus mendirikan perusahaan seperti apa dan akhirnya membuat daftar ide-ide bisnis yang ideal. Dan seorang kawan bernama Reed Hastings diminta memberikan tanggapan, apakah ide-ide yang dicetuskannya masuk akal atau tidak.
Randolph berpikir mendirikan perusahaan pasta gigi. Hastings, melalui analisis bisnisnya, berkata tidak. Di lain kesempatan, Randolph ingin mendirikan perusahaan pembuat tongkat baseball. Hastings, menolaknya. "Enggak bakal berhasil," tegas Hastings. Ucapan yang sama terlontar untuk 114 usulan Randolph mulai dari shampo khusus, makanan anjing berformula, hingga papan seluncur custom.
Suatu ketika, setelah terjaga semalaman karena harus menemani anaknya menonton film Aladdin, Randolph mencetuskan ide penyewaan kaset film via website dan dikirim via pos pada Hastings. Bukannya bilang "itu tidak akan berhasil," Hastings malah curhat. Ia mengaku "baru saja didenda USD 50 oleh rental video Blockbuster gara-gara telat mengembalikan kaset film". Hastings terhenti sejenak, merenung, lalu berkata "mungkin" pada ide Randolph itu.
Bagi Randolph, ide bisnis yang diberi label "mungkin" oleh Hastings belum memperteguh hatinya. Walhasil, untuk memperoleh opini berbeda, Randolph mendatangi kawan lainnya, Alexandre. Sialnya, bukan opini baik yang diterima, Randolph malah diejek.
"Ah, tai," kata Alexandre. Baginya, kemunculan internet dan lahirnya Napster membuat kaset mulai ditinggalkan. Menyalurkan film langsung ke penonton via internet adalah bisnis yang seharusnya dijalankan Randolph. Masalahnya, di akhir 1990-an, internet masih belia dan "menyalurkan film langsung ke penonton via internet" atau kita kenal dengan istilah "streaming" belum bisa tercapai mengingat keterbatasan teknologi.
Tapi Randolph nekat dan kenekatan itu dimodali Hastings sebesar USD 10 juta. Sebagaimana ditulis Randolph dalam That Will Never Work: The Birth of Netflix and the Amazing Life of an Idea (2019), ide yang awalnya diberi nama "kibble" ini akhirnya menjadi Netflix. Perusahaan penyewaan kaset film via pos itu berlabuh menjadi penguasa streaming film.
Netflix membuat siapapun dapat menyaksikan film tanpa harus beranjak dari kamar. Pada 2011, Netflix memiliki 21 juta pelanggan berbayar, yang meningkat menjadi 77 juta pelanggan berbayar pada 2016. Tatkala bioskop di seluruh dunia tutup karena pandemi COVID-19 pada 2020, jumlah pengguna berbayar Netflix melonjak menjadi 210 juta.
Keunggulan tersebut membuat banyak perusahaan mengikuti jejak Netflix, misalnya Amazon Prime Video, Hulu, Viu, bahkan GoPlay. Studio-studio Hollywood juga tak mau kalah. The Walt Disney Company akhirnya merilis Disney+. Karena belum diketahui secara pasti kapan pandemi Corona berakhir, Warner Bros, studio pemilik Harry Potter dan Batman, akhirnya terjun ke ranah streaming film. Langkah ini kelihatan serius--paling tidak untuk tahun 2021 mendatang.
HBO Max: Maksimal secara Harga dan Konten, Maksimal Pula Ditentang Sineas
Menginjak 2020, Tenet menjadi salah satu film yang paling dinanti. Lupakan aktor-aktornya. Nama Christopher Nolan, sang sutradara, adalah jaminan mutu bahwa Tenet adalah film luar biasa. Di tangan Nolan, genre superhero yang acapkali diejek sebagai filmnya anak-anak akhirnya bertransformasi menjadi fikarya sinematik lm luar biasa melalui trilogi The Dark Knight. Nolan pun sanggup membuat mimpi Leonardo DiCaprio sangat membingungkan sekaligus mengasyikan. Lihat saja ramuan tangan Nolan untuk Following, Memento, Insomnia, The Prestige, hingga Interstellar. Sangat mengagumkan.
Masalahnya, Tenet hendak diputar di tahun terburuk dalam sejarah modern umat manusia. Warner Bros, studio penghasil Tenet, awalnya merencanakan memutar film ini pada 17 Juli 2020. Karena Corona masih merajalela, pemotaran diundur ke tanggal 31 Juli. Karena badai Corona belum usai, jadwal dimundurkan lagi ke 31 Juli, dan 12 Agustus. Nahas, Corona masih bercokol. Akhirnya, di tengah-tengah ancaman Corona, Tenet diputar sejak September lalu di Amerika Serikat.
Mudah ditebak, Tenet gagal di pasaran karena sedikitnya bisokop yang buka. Di minggu pertama, Tenet hanya mendulang pendapatan sebesar USD 9,4 juta, dan melompat menjadi USD 57 juta hingga saat ini. Angka tersebut sangat kecil jika dibandingkan biaya produksi "Tenet," yakni USD 200 juta.
Film-film unggulan milik Warner Bros lainnya bernasib serupa. Namun, studio yang telah berumur 97 tahun tersebut bergerak cepat. Akhir November, sebagaimana dilaporkan Brooks Barnes untuk The New York Times, Warner Bros memanggil dua agensi terbesar Hollywood, William Morris Endeavor dan Creative Artists, yang mewakili Gal Gadot dan Petty Jenkins. Dalam pertemuan itu, Warner Bros "minta izin" kepada Gadot, aktor utama, dan Jenkins, sang sutradara, agar Wonder Woman 1984 diluncurkan di layanan streaming film milik Warner Bros, HBO Max, dengan catatan: berbarengan dengan jadwal tayang di bioskop. Tindakan ini menyalahi tradisi studio Hollywood, di mana film ditayangkan 90 hari lebih cepat sebelum tersedia di layanan streaming film atau keping DVD.
Gadot dan Jenkins setuju dengan syarat utama: kompensasi untuk masing-masing pihak senilai lebih dari USD 10 juta. Kompensasi besar itu diberikan untuk mengobati skema pendapatan tradisional ala sineas Hollywood. Secara tradisional, sineas memperoleh dua jalur pendapatan: uang muka dan bonus. Uang muka nilainya tetap dan langsung dapat dinikmati sineas. Sementara bonus diterima jika film sukses di pasaran dengan indikator utama penjualan tiket bioskop. Ketika suatu film langsung dirilis via streaming, bonus seketika menguap, karena indikator kesuksesan streaming adalah jumlah pelanggan. Namun, jumlah pelanggan yang besar tidak dapat dirujuk melalui satu atau dua film.
Usai disetujui Gadot dan Jenkins, CEO WarnerMedia, anak usaha Warner Bros yang menaungi HBO Max, mengumumkan bahwa 17 film unggulan Warner Bros seperti sekuel Suicide Squad, Godzilla vs. Kong, Dune, The Matrix 4, In the Heights, Cry Macho, Conjuring terbaru, Space Jam: A New Legacy, dan The Many Saints of Newark, akan diluncurkan melalui HBO Max pada 2021 mendatang.
Alih-alih mutlak meniru skema Netflix, Warner Bros akan merilis film-film unggulan di HBO Max selama satu bulan sejak jadwal rilis masing-masing film tiba. Usai satu bulan, film akan diedarkan dengan cara konvensional, yakni dikirim untuk dikemas menjadi keping DVD atau dijual secara digital melalui iTunes. Tak hanya itu, Warner Bros membuat skema bisnis "aneh", yakni memaksa HBO Max membeli lisensi film-film tersebut dengan biaya minimum USD 10 juta atau 25 persen dari biaya produksi.
Agar HBO Max menarik hati masyarakat, Warner Bros memasukkan pula konten-konten milik Cartoon Network, TNT, hingga CNN yang memang dimilikinya. Tercatat, HBO Max menawarkan lebih dari 10.000 jam tayang acara. Sayangnya, besarnya konten ini harus ditukar dengan harga berlangganan sebesar $15, harga yang paling mahal jika dibandingkan dengan biaya berlangganan Netflix dan Disney+ ketika digabungkan.
Tak seperti Gadot, banyak sineas Warner Bros melakukan perlawanan. Aktor-aktor seperti Denzel Washington, Margot Robbie, Will Smith, Keanu Reeves, Hugh Jackman, dan Angelina Jolie menyatakan kekecewaan. Mereka protes karena hanya Gadot yang diajak berdiskusi. Masih merujuk laporan Brooks Barnes, sutradara Warner Bros yang tergabung dalam Directors Guild of America berencana melakukan boikot dan mulai mengejek Warner Bros sebagai "Former Bros".
Yang paling keras tentunya Christopher Nolan. Ia menyebut HBO Max "layanan streaming paling buruk yang pernah ada".
Dalam wawancaranya dengan jurnalis RecodePeter Kafka, Kilar menyebut bahwa Warner Bros memutuskan mengalihkan film-filmnya ke streaming karena keterpaksaan.
"Menurut saya, jika Anda memilih di antara tiga skenario, tentu saja siapa pun akan memilih salah satu yang paling disukai mereka. Lingkungan saat ini, dalam pandemi, tidak memungkinkan pilihan seperti itu," tutur Kilar.
Edmund Lee, dalam analisisnya untuk The New York Times, menyebut bahwa alasan utama mengapa Warner Bros nampak serius masuk ke dunia streaming bukan karena Corona, tetapi karena strategi bisnis AT&T, perusahaan provider telekomunikasi yang menjadi pemilik Warner Bros.
AT&T ingin menjadikan HBO Max sebagai bonus agar pelanggan-pelanggannya tetap setiap berlangganan internet. HBO Max pun menjadi daya tawar AT&T memperoleh pelanggan baru. Skema bisnis ini mirip seperti PT Telkom menawarkan Indihome, bukan sekedar internet tetapi juga TV digital. Jika 0,01 persen saja pelanggan AT&T tetap setia (karena diiming-imingi HBO Max), pendapatan senilai $100 juta mengucur.
HBO Max menggiurkan, tapi juga kontroversial.
Editor: Windu Jusuf