tirto.id - Modal minimalis berdampak pada hampir segala aspek dalam produksi film, termasuk promosi. Contohnya ada pada Tengkorak (2018), film bergenre fiksi ilmiah yang diperankan, ditulis naskahnya, dan disutradarai Yusron Fuadi.
Tengkorak sebenarnya sudah masuk seleksi resmi di beberapa festival film. Antara lain Jogja-NETPAC Asian Film Festival di Yogyakarta, Balinale International Film Festival di Bali, dan Cinequest International Film Festival di California, Amerika Serikat.
Sayangnya, tangga menuju pemutaran yang lebih luas agaknya susah didaki. Meski sudah mengumumkan tanggal pemutaran perdananya sejak beberapa waktu yang lalu, Tengkorak seakan tenggelam. Ia tidak jadi perbincangan luas di kalangan warganet, tidak pula viral di panggung media sosial.
Cinema 21 di Jakarta hanya menayangkannya di tiga bioskop pada hari pertama penayangan, Kamis (18/10/2018). Saya menontonnya di jam pemutaran pertama di Senayan City XXI, dan hanya ditemani oleh satu orang penonton lain.
Saya pribadi khawatir Tengkorak tidak akan bertahan lama. Padahal ia menawarkan sesuatu yang berbeda. Premis utamanya saja sudah bikin dahi berkerut: usai gempa mengguncang pada 2006, sebuah fosil manusia sepanjang 1.850 meter ditemukan di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ilmuwan, agamawan, hingga rakyat biasa di level lokal, nasional, dan internasional saling berdebat tak habis-habis. Hingga lebih dari satu dekade berselang, belum ada penjelasan yang jelas mengenai penemuan tersebut.
Tengkorak raksasa sukses membuat orang-orang merenungkan kembali akar kemanusiaan dan kepercayaan yang selama ini mereka pegang.
Yusron menggunakan banyak rekaman untuk menggambarkan silang pendapat di warung kopi atau laporan berita di televisi nasional maupun swasta. Ada rekaman yang menampilkan peristiwa atas yang benar-benar pernah terjadi masa lampau, ada juga yang berasal dari hasil syuting sendiri.
Yusron sendiri memerankan Yos, seorang pembunuh yang bekerja sesuai daftar calon korban yang diberikan pemerintah. Ia masuk ke Tim Kamboja yang kontroversial.
Indonesia mendapat tekanan dari komunitas internasional sebab tidak bersikap terbuka atas situs tengkorak. Semuanya serba tertutup, dan para ilmuwan atau wartawan bekerja di lokasi mesti dikawal oleh tentara bersenjata laras panjang.
Pada suatu hari grup WhatsApp Yos menunjukkan korban baru. Ia seorang perempuan muda bernama Ani (Eka Nusa Pertiwi). Ani magang di Badan Penelitian Bukit Tengkorak (BPBT). Ia dekat dengan salah satu peneliti senior asal luar negeri sebab sering diminta membeli kopi di kafe dekat markas BPBT.
Saat nama dan foto Ani baru muncul, Yos tiba-tiba lari dari kos-kosan kumuhnya di tengah perkampungan padat Kota Yogyakarta, menuju kos-kosan Ani.
Ani sedang kedatangan seorang perempuan. Perempuan ini sebenarnya berstatus anggota Tim Kamboja yang ditugasi untuk membunuh Ani. Sebelum rencana tersebut terlaksana, Yos tiba di lokasi terlebih dahulu untuk membunuh si perempuan secara brutal dengan menggunakan sebilah pisau.
Yos kemudian membawa kabur Ani ke daerah selatan yang masih hijau dan sepi. Ia menghindari perkampungan yang ramai. Ani lalu terlibat dialog-dialog dingin dengan Yos. Soal mengapa Yos menyelamatkannya, identitas asli Yos, sampai kenapa Yos seperti monster tak punya hati dalam menjalankan pekerjaannya.
Persoalan makin pelik sebab pengkhianatan Yos membuahkan penugasan sisa anggota Tim Kamboja untuk menghabisi nyawa Yos. Ani otomatis berada di pusaran konflik. Di sisi lain, muncul rencana pemerintah untuk menghentikan kerja BPBT serta menghancurkan seluruh fasilitasnya.
Tengkorak adalah film yang ambisius. Keterbatasan modal tidak menghalangi Yusron dan kru untuk bekerja secara maksimal. Hasilnya adalah kolaborasi bersama ratusan warga Gunung Kidul, Yogyakarta, mahasiswa, dan dosen Universitas Gadjah Mada (UGM).
Proses produksinya memakan waktu empat tahun. Lokasi syuting utamanya di Yogyakarta, plus empat kota lain. Kru mendapat dukungan penuh dari Laboratorium Multimedia D3 Komputer dan Sistem Informasi Sekolah Vokasi UGM. Hasilnya adalah berbagai efek, animasi 3D, dan miniatur gedung BPBT untuk kepentingan film.
Ada beragam teknik pengambilan gambar dalam Tengkorak. Selain montase rekaman, film menyorot adegan dalam sudut pandang lebar dan mengambil panorama dengan menggunakan drone.
Secara umum film ini menghasilkan sinematografi yang enak dipandang. Meski demikian pemotongan antar adegan berlangsung terlalu cepat. Agak kurang nyaman untuk penonton mengikuti alur cerita, akan tetapi cukup efektif untuk menampilkan adegan laga.
Beberapa waktu lalu, laman resmi UGM menurunkan berita terkait film ini dengan mengutip promosi Wikan Sakarinto selaku produser eksekutif. Wikan berkata Tengkorak menghadirkan efek visual yang bisa setara dengan film-film Amerika Serikat.
Pernyataan ini barangkali sesuai dengan prestasi Tengkorak yang masuk nominasi Best Film untuk kategori Science Fiction, Fantasy, dan Thriller pada ajang Cinefest 2018 di California, AS.
Kenyataannya: efek visual Tengkorak masih agak kasar, terutama saat menampilkan kepala tengkorak yang tersingkap di kaki bukit, atau ledakan granat saat Yos diburu Tim Kamboja.
Catatan penting lain tertuju untuk penata musik. Banyak adegan, terutama di awal hingga pertengahan, yang memakai scoring berlebihan. Seakan-akan pilihannya cuma dua: diam saat ada dialog, dan memakai musik pengiring saat tidak ada dialog. Hampir tak ada momentum sunyi untuk mengistirahatkan telinga.
Di antara kekurangan-kekurangan lain, termasuk akhiran skenario yang belum efektif untuk menjelaskan potongan-potongan misteri, kemunculan film Tengkorak tetap perlu untuk diapresiasi. Yusron dan kawan-kawan tergolong berani dalam bereksperimen di genre fiksi ilmiah.
Fiksi ilmiah amat jarang diangkat sebagai genre utama film oleh sineas Indonesia. Beberapa kali produser luar negeri syuting filmnya di Indonesia untuk fiksi ilmiah berbumbu laga. Sayangnya, rata-rata hanya mengambil eksotisme latar tempat, serta belum berupaya untuk menyuguhkan logika cerita yang masuk di kepala orang lokal.
Melalui Tengkorak Yusron ingin mewujudkan fiksi ilmiah yang lokal sekaligus membumi. Ia mencapainya melalui bahasa yang digunakan dalam dialog, pemakaian warga lokal sebagai pemeran pembantu, eksplorasi lokasi syuting, hingga jenis makanan dan minuman yang dinikmati oleh para pemeran.
Sekitar 60-70 persen komunikasinya memakai bahasa Jawa sebagai bahasa keseharian warga Yogyakarta. Sisanya memakai bahasa Indonesia, pun banyak yang disertai logat Jawa.
Pengumuman di awal film terpampang jelas: ini film khusus dewasa. Yusron memakai banyak jenis makian lokal, baik untuk katarsis marah maupun sekedar candaan antar-kawan.
Para elite pemerintah berdiskusi di angkringan sambil menikmati kopi, gorengan, serta menu khas lain. Para figuran bicara santai ke arah kamera terkait polemik tengkorak raksasa. Mereka memerankan profesi khas seperti tukang becak atau pedagang bakso.
Dosen-dosen UGM yang berbaju batik juga diajak berkontribusi. Mereka berperan sebagai ahli yang dimintai keterangannya untuk liputan televisi.
Sebagai pembunuh bayaran, Yos berusaha untuk tampil senatural mungkin di tengah-tengah masyarakat Jawa. Ia kerap memakai batik, atau sesekali memancing di bawah jembatan. Kearifan lokal makin mengental saat ia menunjukkan diri sebagai penikmat kopi, mulai yang khas Mandailing hingga biji asli Kintamani.
Pendeknya, Tengkorak adalah suguhan alternatif bagi penonton bioskop tanah air. Ia bisa menjadi penyegar di antara gelontoran film bergenre horor ecek-ecek yang masih mencoba peruntungan lewat popularitas Pengabdi Setan (2017), atau drama (percintaan) sekelas FTV yang menjual rumus “asal syutingnya di luar negeri”.
Editor: Windu Jusuf