tirto.id - Minggu ini, untuk pertama kalinya harga Bitcoin jadi lebih mahal dari harga satu ounce emas. Berdasarkan CoinDesk’s Bitcoin Price Index , harga satu Bitcoin setara dengan $1.276. Sementara menurut pengecer logam mulia APMEX, 1 ounce emas setara dengan $1.234. Kenaikan harga mata uang digital ini sudah berlangsung sejak awal tahun, hingga akhirnya bisa melebihi harga emas di awal Maret.
Vinsensius Sitepu seorang dosen sekaligus pengamat Bitcoin mengaku tak terkejut sama sekali dengan perkembangan ini. Vinsen yang sejak 2009 mulai mengikuti perkembangan mata uang Bitcoin dan teknologi Blockchain itu, memang sudah sejak lama meramalkan kalau popularitas Bitcoin bisa meroket dan akan jadi komoditas yang bernilai tinggi.
Bitcoin adalah uang elektronik yang bisa ditransfer tanpa perlu melalui perantara apa-apa termasuk bank, sehingga biaya transaksi jadi jauh lebih murah. Meski demikian, banyak juga kalangan yang merespons negatif Bitcoin sejak pertama kali diluncurkan 2009 lalu.
Sejumlah negara bahkan terang-terangan mengeluarkan aturan yang menolak penggunaan mata uang digital ini di negaranya. Misalnya Rusia, yang Februari 2014 lalu melarang warganya menggunakan Bitcoin. Menurut pemerintahan Rusia, penggunaan Bitcoin dapat jadi sumber bencana karena bisa digunakan untuk pembiayaan terorisme.
"Setiap sistem untuk pembayaran anonim dan mata uang siber yang dalam sirkulasi besar, termasuk yang paling dikenal Bitcoin, adalah bukan uang dan tidak bisa digunakan oleh individu atau entitas legal mana pun," kata Kejaksaan Agung Rusia seperti dikutip dari Antara.
Amerika Serikat (AS), melalui otoritas keuangannya, Komisi Sekuritas dan Bursa (SEC) pada Mei 2014 juga mengeluarkan peringatan untuk investor agar tidak menggunakan mata uang virtual seperti Bitcoin.
Dua bulan kemudian, Bank Sentral Latvia meminta warganya untuk tidak menggunakan Bitcoin, sebab mereka tidak mengganggap Bitcoin sebagai alat tukar yang sah. Sebelumnya, Jepang juga melakukan hal serupa pada Maret 2014.
Seperti dilansir dari Antara, Pemerintah Jepang juga sempat tegas menolak Bitcoin dianggap sebagai mata uang. Semua negara ini punya alasan sama, bahwa Bitcoin punya efek buruk yang lebih banyak dalam perputaran uang dan bisnis.
Namun, sebagian di antara mereka mulai berubah pikiran dan perlahan-lahan menerima kehadiran Bitcoin. Jepang salah satunya. Februari lalu, pemerintahnya mulai mengakui keberadaan Bitcoin dan teknologi Blockchain. SEC AS juga sudah memasukkan Bitcoin dalam kategori komoditas, menyamakannya dengan emas.
Kontroversi memang masih mewarnai penggunaan Bitcoin. Dalam survei yang dilakukan The Street pada 2014 silam, sebanyak 76 persen respondennya tidak familiar dengan Bitcoin. Sementara 79 persen malah tidak pernah memakai bitcoin dan tak berniat akan memakainya. Sebanyak 38 persen yakin kalau Bitcoin berdampak buruk pada dolar, dan 80 persen orang lebih ingin punya emas daripada Bitcoin.
Sedangkan mereka yang masih muda, berusia 18 hingga 24 tahun, sebanyak 33 persennya yakin kalau Bitcoin bisa membantu dolar, dan 15 persen ingin punya Bitcoin daripada emas.
Angka ini menunjukkan kalau di awal kemunculannya, orang-orang yang lebih tua tidak melihat masa depan cerah dalam Bitcoin. Sementara anak-anak muda, menunjukkan sikap sebaliknya.
Salah satu yang optimistis adalah Vinsensius. Ia bilang, kemajuan teknologi seharusnya dimaknai positif, termasuk dalam memaknai eksistensi Bitcoin. Menurutnya, ketakutan banyak negara itu harus bercermin pada Singapura yang sudah mengadopsi teknologi Blockchain—sistem transaksi Bitcoin—dalam sistem perbankannya. Singapura memang sudah mengklaim diri sebagai negara pertama yang menerapkan teknologi Blockchain dalam sistem perbankannya di ASEAN, November 2016 lalu.
Selain punya kelemahan-kelemahan, menurut Vinsen, Bitcoin juga punya banyak faedah. Teknologi Blockchain nyatanya memang membuat transaksi transfer lebih cepat daripada yang digunakan bank saat ini. “Kalau transfer luar negeri bahkan bank butuh 2 sampai 3 hari. Pakai Blockchain cuma dalam hitungan detik,” kata Vinsen pada Tirto.
Dalam tulisan berjudul “Babak Baru Bitcoin” yang terbit di Analisa, Vinsen juga optimistis kalau penggunaan Bitcoin pada masa depan mau tak mau akan terus meningkat. Seiring dengan sistem pembayaran lewat mobile (mobile payment) yang juga semakin meningkat.
“Pemerintah Indonesia sendiri kayaknya lima tahun ke depan masih belum bisa menyamai teknologi Blockchain Singapura. Tapi mau enggak mau, pemerintah pasti akan menyesuaikan diri,” prediksi Vinsen.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti