tirto.id - Dunia teknologi selalu dihubungkan dengan modernitas. Teknologi juga identik dengan kota-kota metropolitan yang terang benderang di kala malam tiba. Namun, sesungguhnya teknologi pun tidak hanya berada di perkotaan. Warga di wilayah pedalaman yang sangat susah diakses pun menggunakan teknologi. Bahkan, teknologi adalah bagian yang tak terpisahkan untuk mempertahankan hidup para penggunanya di wilayah pedalaman.
Di Indonesia, tepatnya di pedalaman Kalimantan Timur, sebuah desa bernama Setulang yang dihuni orang-orang Dayak memanfaatkan teknologi. Tepatnya, mereka menggunakan drone atau pesawat tanpa awak untuk memetakan wilayah teritorial mereka.
Tentu, orang-orang Dayak tersebut tidak dengan sendirinya mampu memanfaatkan drone untuk digunakan memetakan wilayah. Aksi tersebut dibantu oleh seseorang bernama Irendra Radjawali yang merupakan seorang geografer.
Diwartakan Slate, aksi orang Dayak di Desa Setulang tersebut dilakukan karena mereka mengalami pertentangan dengan perusahaan kayu dan kelapa sawit. Di tahun 2009, perusahaan-perusahaan kayu dan kelapa sawit memasuki wilayah mereka tanpa permisi sama sekali. Untuk melawan balik, mereka perlu memetakan wilayah-wilayah adat milik mereka.
Memetakan menggunakan drone adalah pilihan paling rasional. Aksi memetakan wilayah yang dilakukan orang Dayak di Desa Setulang, terutama untuk wilayah-wilayah yang termasuk pada “tanah ulen” atau teritorial adat milik mereka.
Drone, yang awalnya merupakan perangkat yang digunakan oleh militer mengalami lonjakan pemakaian umum yang cukup tinggi. Di tahun 2015, sebagaimana dipacak di Statista, lebih dari 6,4 juta drone dikapalkan di seluruh dunia. Di tahun 2020, diprediksi lebih dari 48,3 juta drone akan dikapalkan.
Sebenarnya, perusahaan-perusahaan kayu dan sawit telah ada di wilayah mereka sejak 1974. Namun, perkembangan teknologilah yang mampu membuat orang Dayak di Desa Setulang tersebut, kini melakukan perlawanan.
Menurut laporan The Washington Post, Paiter Surui, suatu suku pedalaman di Amazon yang memiliki lebih dari 1.300 orang anggota juga memanfaatkan teknologi untuk mengamankan wilayah mereka. Suku Surui memanfaatkan smartphone Android, perangkat GPS, dan memanfaatkan layanan Google Earth Outreach untuk melakukan pengawasan terutama terhadap pembalakan kayu ilegal dan memetakan wilayah adat mereka.
Suku Surui juga melakukan pemetaan melalui satelit melalui Google Erath Outreach untuk suatu proyek yang mereka sebut sebagai “etno-mapping”. Proyek tersebut bertujuan untuk memetakan wilayah pertempuran adat, wilayah agraria, desa, dan kuburan leluhur mereka dalam bentuk tiga dimensi.
Aksi tersebut bukan tanpa alasan. Sang kepala suku bernama Almi Surui bukan merupakan kepala suku yang tak mengenyam pendidikan formal. Ia lulusan perguruan tinggi. Dengan pengetahuannya, Almi Surui mempersuasi rakyatnya untuk memanfaatkan teknologi guna melestarikan kekayaan yang mereka miliki.
Rebbeca Moore, manager teknik Google Earth Outreach mengatakan, “Dia [Almi Surui] mempresentasikan ide yang canggih tentang bagaimana orang Surui bisa membaurkan antara pengetahuan tradisional dan teknologi modern, seperti Google Earth dan internet, untuk mempertahankan hutan hujan.”
Selain itu, suku Surui juga menggunakan telepon selular mereka untuk merekam aksi-aksi yang mereka lakukan. Misalnya aksi protes, memergoki pembalakan liar, atau aksi-aksi lainnya. Rekaman tersebut kemudian diunggah ke internet. Alasannya adalah untuk mengabarkan pada dunia bahwa mereka ada dan harus diperhatikan, terutama oleh pemerintah.
Surui yang berbaur dengan teknologi memiliki alasan lain yang lebih ekonomis. Menjaga hutan hujan menggunakan teknologi, artinya bisa menjual cadangan oksigen bagi pemerintah atau perusahaan. Suku Surui berharap mereka memperoleh pendapatan hingga $1 juta per tahun dari tindakan mereka menjaga hutan hujan. Almir Surui mengetakan, “ini merupakan potensi ekonomi yang besar yang hutan miliki.”
Selain Surui, suku pedalaman Amazon lain juga merupakan hal yang cukup sama. Suku Ka’apor, suatu suku dengan 2.200 anggota membuat suatu pasukan yang mereka namai “panjaga hutan”. Pasukan tersebut memanfaatkan busur, panah, serta tak ketinggalan perangkat GPS dan kamera perangkap. Sesuai dengan nama pasukannya, sebagaimana diberitakan The Guardian, pasukan tersebut melakukan aksi perlawanan terhadap pembalakan kayu ilegal.
Penebangan kayu ilegal merupakan salah satu masalah utama yang dialami wilayah-wilayah di pedalaman. Data dari Fern mengungkapkan bahwa di tahun 2001, 80 persen kayu yang ditebang merupakan tindakan ilegal. Di Indonesia, persentasenya mencapai angka 73 persen. Memetakan wilayah dan memukul mundur perusahaan-perusahaan kayu ilegal adalah langkah yang benar-benar mendesak untuk dilakukan demi menyematkan alam yang mereka tinggali.
Di sebuah desa terpencil di luar kota Jhansi di India, sebagaimana diwartakan Techcruch, teknologi juga menjadi semacam penyelamat bagi mereka, terutama bagi kaum perempuan. Suatu kelompok aktivis yang tergabung dalam Accredited Social Health Activists atau ASHAs memanfaatkan aplikasi bernama mSaki. Aplikasi mSaki digunakan untuk mengedukasi perempuan tentang kehamilan dan perawatan bayi.
Aplikasi mSaki dibuat oleh Qualcomm dan dikembangkan oleh IntraHealth International. Aplikasi tersebut telah menjangkau lebih dari 16.000 perempuan di India. Aplikasi tersebut, dirancang untuk bisa digunakan dalam jaringan yang berkoneksi internet rendah.
Aplikasi mSaki merupakan satu dari 2,6 juta aplikasi yang ada di Google Play Store menurut Statistadi bulan Desember 2016.
Hampir mirip dengan apa yang terjadi oleh suku-suku di atas, para peneliti juga memanfaatkan teknologi untuk “mengawasi” suku-suku pedalaman. Live Science menulis, umumnya peneliti memanfaatkan teknologi satelit yang jauh lebih murah bila dibandingkan dengan menggunakan pesawat atau helikopter. Melakukan penelitian langsung juga kurang disukai lantaran para peneliti karena akan menyebarkan penyakit pada orang-orang yang tak terjamah dunia luar tersebut.
“Saya selalu menginginkan mempelajari dalam cara yang aman dan penginderaan jauh menawarkan hal demikian,” ujar Robert Walker, Antropolog Universitas Missouri. Ia pun menambahkan, “kami bisa menemukan desa yang terisolasi dengan penginderaan jauh dan melakukan pembelajaran setiap saat. Kami bisa bertanya, apakah mereka berkembang? Apakah mereka bermigrasi?”
Teknologi, yang identik dengan hingar-bingar kota metropolitan, ternyata memberikan dampak yang cukup besar bagi orang-orang di pedalaman.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Maulida Sri Handayani